Dalam sekejap rumah Suroso dikerubungi warga. Pak RT bersama dua orang tetangga bergegas masuk dan terkejut mendapati apa yang telah terjadi. Mereka yang tidak kuat menyaksikan kondisi mayat Suroso segera keluar sambil menahan mual. Tidak ada yang berani mendekati apalagi menyentuh mayat Suroso. Mayatnya masih berada dalam posisi yang sama seperti ketika ditemukan oleh keluarganya: terbujur kaku, mata melotot, mulut menganga seakan-akan malaikat kematian telah meninggalkan jejak penderitaan dan kesakitan tiada tara.
“Dahlia, katakan, siapa yang sudah membunuh Papa?” tanya Hendi mendesak Dahlia agar bicara.
Hendi sukar memercayai bahwa Dahlia, perempuan berparas bak bidadari itu sanggup melakukan sebuah pembunuhan sadis seorang diri. Munurutnya, Dahlia tidak punya motif yang kuat. Dahlia baru saja menikahi Suroso dan sedang berbahagia dengan calon bayi yang sedang dikandungnya.
Tubuh Dahlia gemetar, wajahnya sedemikian pucat hingga nyaris seperti mayat itu sendiri. Dia menggelengkan kepala. “A-aku enggak tahu, Mas Suroso sudah begitu saat aku bangun.”
“Waktu kamu tidur, mosok, kamu enggak dengar apa-apa? Langkah kaki orang, atau apa saja? Papa enggak mungkin diam saja, pasti ada perlawanan. Papa juga enggak mungkin bunuh diri! Kamu ingat-ingat lagi yang betul, Dahlia!” Hendi mencengkeram bahu Dahlia, mengguncangkannya keras-keras, berharap dengan cara itu jawaban yang dia cari akan dia dapatkan.
“Aku enggak tahu! Aku enggak tahu!” jerit Dahlia putus asa.
“Bohong, kamu!” Nurlaila yang sudah siuman dan berhasil mengatasi syoknya, berjalan terhuyung-huyung mendekati Dahlia. “Pembunuh! Kembalikan suamiku! Dasar sundaaal!!”
Nurlaila menampar pipi Dahlia berkali-kali. Dahlia tidak mampu membalas selain terus berteriak bahwa dia bukanlah pelakunya. Nurlaila semakin terbawa emosi, dia menjambak rambut Dahlia, memukul, menendang seperti orang kesetanan.
“Ampun, Bu, ampun. Jangan!” Dahlia bergelung di lantai, berusaha melindungi perutnya dari amukan Nurlaila. Dia ingat ada bayi dalam rahimnya yang harus dia jaga.
Menyaksikan itu semua, Hendi menengahi. Dahlia bisa-bisa menyusul menjadi mayat berikutnya jika dia membiarkan ibunya lepas kendali.
“Mah, tenang dulu! Kita tunggu polisi datang, biar mereka yang menangani, jangan main hakim sendiri.” ujar Hendi.
“Hen, kamu lihat sendiri, toh, mayat Papa? Papa sudah dibunuh secara brutal! Keji! Dan, kita semua tahu di kamar itu hanya ada mereka berdua, pintunya dikunci dari dalam. Jadi, siapa lagi pelakunya kalau bukan sundal itu?”
“Bukan aku! Bukan aku!” Dahlia melolong. “Tadi malam Mas Suroso masih baik-baik saja. Kami pergi tidur seperti biasa. Aku terbangun karena ada yang basah di ranjang. Ternyata, itu darah! Banyak darah! Darah di mana-mana!” Dahlia mengangkat tangannya yang masih berlumuran darah. Matanya membulat penuh kegilaan, menatap tangannya sendiri. Dia kembali menjerit-jerit histeris sebelum akhirnya jatuh pingsan.
“Halah! Pintar sekali sundal ini berakting! Pakai pura-pura pingsan segala!” Nurlaila kembali akan menendangi Dahlia, tetapi terhenti oleh suara sirine dari mobil polisi dan ambulan yang baru saja tiba.
Tidak lama kemudian garis polisi dipasang, Dahlia diamankan. Polisi juga berhasil menemukan barang bukti berupa sebilah pisau dapur berlumuran darah di sudut kamar.
Di kantor polisi, Dahlia diinterogasi.
“Kenapa kamu bunuh suamimu, Suroso?”
Sudah tidak terhitung berapa kali Dahlia mendapatkan pertanyaan itu dari penyidik, tetap dia bersikukuh dengan jawaban yang sama, “Bukan aku.”
“Ada sidik jari kamu di pisau ini. Masih enggak ngaku, hah?” Penyidik melempar barang bukti itu ke atas meja di depan Dahlia.
Dahlia menatap ngeri ke arah pisau bernoda darah itu, pisau yang sudah merobek-robek perut Suroso tanpa ampun. “Aku pakai pisau itu untuk kupas apel. Mas Suroso suka makan apel sebelum tidur.”
Sekeras apa pun Dahlia berdalih, polisi tetap memutuskan Dahlia sebagai tersangka utama pembunuhan dan akan memeriksa kejiwaan Dahlia.
“Aku bukan orang gila! Aku masih waras! Aku bukan pembunuh!” Dahlia meronta-ronta ketika petugas menyeretnya ke dalam sel penjara.
*
Beberapa bulan sudah berlalu sejak kematian Suroso. Nurlaila memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar, tempat di mana Suroso terbunuh, dan melarang orang lain masuk. Nurlaila sendiri hampir tidak pernah masuk. Sekadar melewati kamarnya saja, dia sudah tidak tahan. Aroma busuk yang dulu diciumnya setiap memasuki kamar Suroso, makin bertambah anyir semenjak Suroso meninggal. Padahal kamar itu sudah dibersihkan berkali-kali, lantainya disikat dengan cairan karbol pembersih, bahkan ranjang dan seprei yang ternoda darah sudah disingkirkan jauh-jauh.
Bukan hanya Nurlaila, tetapi siapa saja orangnya yang melintas di depan kamar Suroso juga bisa membaui anyir darah di udara, meski tipis-tipis saja tetapi masih bisa membuat bulu kuduk berdiri, seakan-akan di dalam kamar itu masih tersimpan jasad Suroso, atau barangkali rohnya yang gentayangan ingin menuntut balas.
Pada malam-malam setelah kematiannya, Suroso juga kerap muncul dalam mimpi Nurlaila.
“Mah, tolong aku, tolong aku!” Suroso memanggil-manggil Nurlaila.
“Pah? Itu kamu? Kamu masih hidup?” Nurlaila mendekati sosok yang dikiranya Suroso.
“Sakit, Mah, sakit sekali. Keluarkan aku dari tempat ini, Mah!”
Nurlaila mendengar Suroso menangis. Suara tangisan Suroso baginya terdengar sangat memilukan dan menyayat hati seperti tangisan seseorang yang mendapatkan siksaan dasyat.
“Kamu, kenapa, Pah?” Nurlaila tanpa sadar ikut menangis dalam mimpinya.
Sosok Suroso terus melolong, sesekali berteriak minta ampun atau menjerit kesakitan. Tangannya menggapai-gapai ke depan, sementara di belakangnya kegelapan perlahan-lahan menelannya.
“Tidak!” Nurlaila menjerit.
Dalam mimpinya itu Nurlaila berlari menyongsong Suroso, ingin mencegah bayangan hitam yang menelan habis suaminya. Tetapi, semakin cepat dia berlari, semakin jauh juga jarak yang memisahkan antara dirinya dengan Suroso. Sementara dari bawah tanah tempatnya berpijak, tangan-tangan bercakar hitam merayap keluar. Awalnya hanya satu tangan hilang timbul dari dalam tanah, ingin mencengkram kaki Nurlaila, lalu susul menyusul tangan-tangan lain muncul, berebut melakukan hal yang sama.
“Tolong!” Sosok Suroso menjerit untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya benar-benar lenyap ditelan kegelapan total.
Nurlaila terpaku, memelotot ngeri ke udara kosong di mana sebelumnya diisi oleh sosok Suroso. Kakinya berhenti bergerak, dan di saat itulah tangan-tangan bercakar hitam mengeroyoknya tanpa ampun, menarik-narik kakinya sampai Nurlaila tidak mampu mempertahankan keseimbangan lalu roboh.
“Apa ini?” Nurlaila menendang-nendang, berusaha membebaskan diri dari belitan cakar-cakar hitam yang menusuk masuk ke dalam kulitnya.
Usahanya sia-sia belaka, belasan tangan lainnya muncul begitu saja dari dalam tanah, menyekap mulutnya agar dia tidak berteriak, menahan kaki dan tangannya agar dia tidak bisa bergerak. Nurlaila mengira dia berada di dalam neraka. Dadanya sesak, dia tidak bisa bernapas.
“Aku akan mati!” batinnya.
Lalu, “Ma, Ma, bangun, Ma!” Hendi menggoncang-goncangkan tubuh Nurlaila sambil terus memanggil ibunya.
Nurlaila membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal.
“Mama kenapa?” tanya Hendi.
“Hendi? Aku ada di mana?” Nurlaila bertanya linglung.
“Mama ada di kamar Mama sendiri. Aku tadi dengar Mama teriak sambil memanggil-manggil almarhum Papa. Apa Mama masih terus mimpi buruk?" Hendi bertanya dengan cemas.
Nurlaila menggeleng. “Itu bukan sekadar mimpi, melainkan peringatan.”
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat