Share

Mayat di Atas Ranjang
Mayat di Atas Ranjang
Author: Fiona

1. Pembunuhan

Pagi buta di kediaman Suroso, jeritan keras mengejutkan seluruh penghuni rumah. Jeritan panjang, histeris menggema tanpa putus dari balik pintu kamar utama di rumah berlantai dua itu. Asalnya dari Dahlia, perempuan yang baru saja menjadi istri muda Suroso.

Bik Yanti, pembantu rumah, tergopoh-gopoh keluar dari dapur menuju sumber suara. Karno, sopir pribadi Suroso, mengikutinya dari belakang sambil berlari kecil. Dari lantai dua, Hendi, putra semata wayang Suroso, menuruni tangga dengan langkah cepat.

“Bu? Pak? Ada apa?” Bik Yanti menggedor-gedor pintu dengan panik.

“Ada apa, Bik?” tanya Karno.

“Mbuh, No, aku, ya, ora paham, enggak tahu. Lah, ini pintunya dikunci dari dalam, aku enggak bisa buka. Piye, yo, No?”

Sekali lagi mereka menggedor-gedor pintu sambil memanggil-manggil Dahlia dan Suroso. Namun, yang dipanggil seakan-akan tidak mendengar dan terus menjerit histeris.

“Karno, ayo, kita dobrak saja pintu kamar Papah. Cepat!” Hendi berseru cemas. Hatinya gelisah, entah apa yang sedang terjadi di dalam kamar bapaknya itu. Suara jeritan Dahlia terdengar menakutkan sekaligus menyayat batinnya.

“Apa-apaan ini, heh? Subuh-subuh, kok, sudah jerit-jerit bikin ribut?” Nurlaila, istri pertama Suroso datang menghampiri. Dengan isyarat tangan, dia memerintahkan agar mereka semua mundur sehingga dia sendiri yang melangkah mendekati pintu dan menggedornya sambil berteriak marah, “Dahlia, apa sudah gila kamu? Berhenti teriak-teriak, buka pintunya! Heh, perempuan sundal! Cepat buka pintunya! Pah? Papah, sampeyan juga di dalam, kan? Ayo, buka pintunya!”

Jeritan Dahlia seketika berhenti. Orang-orang bergeming di depan pintu, menanti. Namun, hening, tidak ada tanda-tanda pergerakan apa pun. Sampai beberapa menit kemudian, Nurlaila dengan tak sabaran meraih gagang pintu, berusaha membukanya, tetapi tidak bisa. Pintunya masih terkunci, menyembunyikan segala apa yang sedang terjadi di dalamnya.

“Cukup!” Nyonya Nurlaila mendengkus kesal. “Karno, Hendi, jebol pintunya, pecahkan kaca jendelanya! Ini mesti ada apa-apa di dalam. Sudah kuduga, sundal itu pasti akan bawa masalah.”

Kesabarannya habis sudah. Sejak awal suaminya memperkenalkan Dahlia sebagai bakal madunya, Nurlaila punya firasat tidak enak; bukan sekadar firasat biasa layaknya seorang istri yang dikhianati oleh orang ketiga dalam rumah tangga mereka. Bukan itu! Sudah bukah hal yang baru jika suaminya, Suroso, tuan tanah paling kaya di kampung mereka, punya perempuan simpanan yang jumlahnya satu, atau dua, atau bahkan lebih. Nurlaila tahu semua kebejadan suaminya, tetapi tidak terlalu peduli.

Bagi Nurlaila, perempuan-perempuan itu hanyalah gundik bayaran sang suami, pemuas nafsu, penghangat ranjang belaka. Dia justru bersyukur karena tidak lagi harus repot-repot meladeni suaminya di atas ranjang dan bisa tidur nyenyak sepanjang malam di kamarnya sendiri.

Sudah belasan tahun ini mereka pisah ranjang. Nurlaila memindahkan semua barang-barang pribadinya ke kamar tamu, dan mengubahnya menjadi kamarnya sendiri. Kamar itu memang tidak sebesar kamar utama yang pernah dia tempati bersama suaminya, tetapi udaranya lebih segar, jendelanya bisa dia biarkan terbuka kapan saja. Kamar utama di rumah itu boleh saja menjadi ruangan paling besar dan mewah, dipenuhi koleksi-koleksi barang antik mahal milik suaminya, tetapi dia tidak pernah tahan dengan aromanya. Hidungnya senantiasa menangkap bau busuk yang menguar dari setiap pori dinding-dindingnya, menempel lengket di kulit suaminya. Dia tidak sanggup lagi kalaulah harus memeluk apalagi bergumul menuruti syahwat suaminya yang besar itu. Nurlaila bisa-bisa pingsan demi mencium kebusukan suaminya sendiri.

Dahlia, dan gundik-gundik yang lain, tidak mencium bau busuk apa pun dari Suroso selain aroma parfum bermerk yang dijual terbatas, dan dipromosikan mampu memikat lawan jenis. Namun, berbeda dengan perempuan lain yang rela dan sudah merasa cukup hanya dengan menjadi simpanan, Dahlia menuntut untuk dinikahi Suroso.

“Pah, aku enggak terima kalau perempuan gatel itu kamu nikahi lalu masuk ke rumah kita. Sampeyan silakan main dengan perempuan lain di luar sana, tapi tulung jangan dibawa pulang, apalagi sampai dinikahi. Eling, Pah, inget! Perempuan itu lebih pantas jadi menantumu ketimbang istrimu! Mau ditaruh di mana mukaku nanti di hadapan keluarga besar kita? Aku malu, Pah, maluuu!” seru Nurlaila, air mata turun membasahi wajahnya.

“Halah, diam kamu!” Suroso membentak istrinya itu. “Kamu itu sudah tua, sudah mandul, cuma bisa kasih aku satu anak saja, kok, ya, cerewetnya bukan main? Aku kepingin punya anak lagi dan Dahlia telah mewujudkan keinginanku.”

“Apa? Apa itu berarti Dahlia sudah kamu hamili? Ya, Gusti!” Tangisan Nurlaila semakin kencang. Tubuhnya luruh, dia menjatuhkan diri ke lantai, memukuli dadanya sendiri berkali-kali. “Ampuni aku, Gusti! Kenapa sial sekali nasibku memiliki suami seperti ini?”

Suroso yang sudah gelap mata hatinya tidak ambil pusing dengan penderitaan istrinya itu. Angan-angannya sudah disesaki oleh bayangan kecantikan Dahlia beserta tubuh moleknya yang membangkitkan gairah. Sekali, dia sudah pernah mencicipi tubuh Dahlia, mereguk wangi dari setiap lekuk dan lipatan tubuhnya, menikmati lenguhan manis yang keluar dari bibir mungilnya setiap kali tangannya menyentuh kulit mulusnya. Sekali tidak pernah cukup, meski dari yang hanya sekali itu telah berhasil membuat Dahlia berbadan dua.

Kurang dari satu bulan setelahnya, pernikahan kedua Suroso dengan Dahlia, gadis kembang desa yang usianya separuh dari usia Suroso, digelar besar-besaran. Warga satu kampung diundang ke acara resepsi yang dilangsungkan selama tiga hari tiga malam.

Dan, pagi itu ketika pintu kamar Suroso akhirnya berhasil dibuka paksa, sebuah pemandangan mengerikan terhampar. Pemandangan yang membuat Nurlaila menjerit ketakutan sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri. Hendi membeku, wajahnya sepucat kertas. Karno tidak henti-hentinya mengucap istighfar. Bik Yanti lari ke depan rumah sambil berteriak minta tolong.

Di kamar itu. Dahlia berdiri di sisi ranjang. Dia diam, tidak lagi menjerit-jerit. Wajahnya dingin tanpa ekspresi. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan. Sosoknya seperti hantu dalam gaun tidur tipis berwarna putih. Dari tangannya yang terkulai lemas, menetes darah segar.

Darah itu bukanlah darahnya, melainkan darah dari Suroso yang jasadnya terbaring di atas ranjang dengan perut terkoyak, menganga terbuka, mempertontonkan ususnya yang terburai keluar.

“Bukan aku, bukan aku yang melakukannya.” Dengan pandangan kosong, Dahlia terus mengulang-ulang perkataannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status