Share

3. Dukun

Penulis: Fiona
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-13 21:23:11

Menjelang tengah malam, bak seorang pencuri, Nurlaila berjalan mengendap-endap di kediamannya sendiri. Dia bersyukur kamar Hendi, putra semata wayangnya, ada di lantai dua. Setidaknya, kecil kemungkinan dia berpapasan dengan Hendi saat akan keluar rumah. Dia tidak ingin Hendi tahu kepergiannya malam itu.

Masih tetap berjingkat-jingkat, Nurlaila melangkah menuju kamar yang ada di sebelah tangga menuju lantai dua, kamar itu kamar Karno, sopirnya. Pintu kamarnya tertutup, Nurlaila mengetuknya pelan-pelan.

“No, Karno?” Nurlaila memanggil Karno, “Kamu sudah tidur? Bangun, No.”

Pintu kamar dibuka dari dalam. Karno masih belum tidur. Majikan putrinya itu sudah berpesan sebelumnya kalau malam itu dia harus mengantar sang majikan ke suatu tempat.

Tanpa diberi tahu pun, Karno sudah bisa menebak tempat mana yang akan mereka tuju nantinya. Sebab, hanya ada satu tempat yang mungkin mereka datangi di jam segitu. Rumah Mbah Wursita, sang dukun.

“Ayo, No, cepat keluarkan mobil sekarang. Jangan berisik!” Nurlaila memberi isyarat dengan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk ke lantai dua, ke kamarnya Hendi.

Karno mengangguk tanda mengerti. Hendi tidak boleh tahu kalau mereka akan mengunjungi seorang dukun.

Tak lama kemudian, sebuah mobil yang disupiri Karno membawa Nurlaila keluar dari rumah menembus keheningan malam. Dan, tanpa mereka sadari, Hendi mengintip kepergian mereka dari balik tirai jendela kamarnya.

*

Karno mengendarai mobil sampai jauh ke pinggiran kampung. Meski demikian, lalu lintas lengang, kira-kira setengah jam kemudian, Karno menghentikan mobil. Mereka sudah tiba di rumah Mbah Wursito yang besar dan bergaya kuno. Posisi rumah itu sendiri jauh dari pemukiman warga, berada di tengah-tengah kebun kosong. Suasana sekitar tempat itu remang-remang, sementara angin malam berembus sejuk, membuat bulu kuduk berdiri, entah memang karena dingin atau hawa angker yang mengambang di udara.

Nurlaila turun dari mobil, sementara Karno tetap berada di balik kemudi, menunggu. Baru beberapa langkah Nurlaila berjalan mendekati rumah, pintu depan rumah yang tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka lebar, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya.

Dada Nurlaila berdesir. Dia tahu pintunya itu memang kerap terbuka sendiri setiap kali dia datang ke sana, tetapi masih saja dia tidak terbiasa. Sebenarnya, Nurlaila tidak pernah suka datang ke tempat itu, kalau saja tidak terpaksa. Ada yang harus dia konfirmasikan kepada Mbah Wursita.

“Kulonuwun, Mbah,” sapa Nurlaila begitu menginjakkan kaki di dalam.

Mbah Wursita menyambutnya dengan dehaman. Dia ada di sana duduk di lantai beralas tikar, menghadapi segelas kopi yang tinggal ampasnya saja. Tangannya bersidekap di dada, matanya tajam menatap Nurlaila.

Nurlaila duduk di depan Mbah Wursita.

“Katakan, apa tujuanmu datang kemari?” tanya Mbah Wursita.

“Mbah, bagaimana ini? Suamiku meninggal dengan tragis!” Nurlaila sekonyong-konyong menyembur Mbah Wursita dengan kata-kata, “Padahal dulu Mbah ngomong kalau pesugihan yang kami lakoni ini aman, enggak pakai tumbal nyawa, tapi, kenapa malah jadi begini?”

Bruak! Prang!

Sekonyong-konyong, Mbah Wursita membanting bejana tanah liat ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Matanya melotot marah. Melihat reaksi Mbah Wursita, Nurlalila langsung mengkeret ketakutan.

“Ma-maaf, Mbah, a-ampun,” ujar Nurlaila terbata-bata, “bukan maksud saya membuat Mbah marah. Ampun, Mbah.”

Sosok Mbah Wursita yang renta, tampak tak berdaya dengan tubuhnya yang kering, hanya tulang berbalut kulit, mendadak menjadi begitu kuat dan mengancam dalam pandangan Nurlaila. Terutama, sorot mata Mbah Wursita, sorot matanya itu sama seperti sorot mata hewan buas yang tengah mengincar mangsanya. Mbah Wursita telah menunjukkan kemurkaannya. Nurlaila gemetaran ketakutan.

Hampir semua orang yang mengenal Mbah Wursita, tahu betapa saktinya orang tua itu. Kalau dia mau, dia bisa membuat hidup seseorang menderita dengan mendatangkan musibah atau mengirim penyakit-penyakit aneh yang tidak ada obatnya. Tidak ada orang yang mau membuat masalah dengan Mbah Wursita, apalagi membuatnya marah, termasuk juga Nurlaila.

“Semua itu salahnya sendiri!” Mbah Wursita berseru dengan suara lantang dan tegas.

Nurlaila menunduk takzim, tidak berani menatap langsung mata Mbah Wursita.

“Keluar kowe! Minggat dari sini!” bentak Mbah Wursita sambil tangannya menunjuk pintu keluar.

“Ampun, Mbah, ampuuun!” Nurlaila dengan cepat bersimpuh di kaki Mbah Wursita. “Saya panik, saya takut, jangan-jangan nanti saya yang jadi korban nyawa berikutnya. Maafkan saya, Mbah, saya enggak sadar sudah bersikap enggak sopan kepada Mbah. Ampun, Mbah, jangan usir saya keluar. Tolong saya.” Nurlaila menangis, memohon di bawah kaki Mbah Wursita.

Mbah Wursita manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih panjang. Katanya, “Kowe pikir, kowe bisa seenak udel di sini? Kalau berani sekali lagi bersikap kurang ajar sama aku, bukan aku yang marah, tapi khodam-khodam piaraanku yang akan mengambil tindakan keras. Paham kowe?”

“Paham, Mbah, paham.” Nurlaila menangkupkan kedua tangannya sambil masih duduk bersimpuh.

“Bagus! Tapi, tetap aku harus kasih kowe pelajaran. Biar kowe tahu siapa aku! Biar kowe eling!”

“Jangan, Mbah, jangan, ampuni saya.” Nurlaila sujud, membenamkan kepalanya.

Mbah Wursita tidak peduli. Dia mengangkat dagu Nurlaila, mencondongkan badan hingga tatapannya sejajar dengan mata Nurlaila. Orang tua itu lalu terkekeh-kekeh, memamerkan gigi emasnya yang berderet-deret. Napasnya berbau busuk, tetapi Nurlaila tidak berani menutup hidung. Wanita malang itu hanya bisa menahan napas. Nurlaila juga tidak berani berkedip, pandangan matanya terkunci oleh sorot mata Mbah Wursita yang semakin lama semakin membuat tubuhnya panas dingin dan tak mampu bergerak.

Mata Mbah Wursita menjelajahi setiap mili wajah Nurlaila, dari mata, turun ke hidung, lalu ke sepasang bibir Nurlaila yang dibubuhi lipstick merah dan sedikit gemetar. Mbah Wursita berhenti memandangi bibir itu berlama-lama. Ketakutan Nurlaila telah membangkitkan gairahnya. Dengan rakus, Mbah Wursita tiba-tiba mengulum bibir Nurlaila.

Nurlaila mendelik, tubuhnya refleks menolak, tetapi satu tangan kurus Mbah Wursita mencengkram pinggangnya, sementara tangannya yang lain menjambak rambut Nurlaila. Siapa yang bisa menyangka, bahwa di balik tubuh ringkih Mbah Wursita ternyata tersimpan kekuatan besar yang sanggup memaksa seorang wanita untuk tunduk kepada hasratnya.

Nurlaila nyaris kehabisan napas, saat Mbah Wursita akhirnya berhenti menciumnya. Lipstick Nurlaila jadi belepotan, bibirnya memar dan sedikit bengkak. Mbah Wursita lantas bangkit, sementara Nurlaila masih duduk lemas di lantai.

“Bangun, kowe!” perintah Mbah Wursita dengan suara menggelegar.

Nurlaila menengadah. Dalam pandangannya saat itu, Mbah Wursita yang kesehariannya bertubuh bongkok oleh usia berubah menjadi tinggi menjulang, tegap, dan sekokoh karang.

“I-iya, Mbah,” jawab Nurlaila sambil memaksa kakinya yang melemah untuk berdiri.

“Buka semua pakaianmu! Semuanya! Jangan disisakan sehelai benang pun!” bentak Mbah Wursita.

Tidak ada yang bisa membantah titah Mbah Wursita, kecuali dia mau celaka. Nurlaila menurut dan mulai melucuti semua pakaiannya satu per satu di bawah tatapan mata Mbah Wursita. Setelah itu Mbah Wursita gantian melakukan hal yang sama.

Lampu lima watt yang menjadi penerang satu-satunya di ruangan itu mendadak padam dibarengi suara guntur yang tiba-tiba bergemuruh. Sekelebatan cahaya kilat untuk sesaat menerangi sosok keduanya yang polos, berdiri saling berhadapan tanpa suara. Hujan turun bagai ditumpahkan dari langit.

Dalam kegelapan Nurlaila menahan tangisnya saat tangan Mbah Wursita menggerayangi tubuhnya, dia tahu apa yang selanjutnya akan dilakukan Mbah Wursita terhadapnya. Berkali-kali, Mbah Wursita sudah pernah melakukan hal yang sama sebagai bagian dari persyaratan atas ritual yang dulu pernah dia jalankan bersama suaminya, Suroso.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mayat di Atas Ranjang   84. Kalah

    Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai

  • Mayat di Atas Ranjang   83. Monster Sungai

    Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera

  • Mayat di Atas Ranjang   82. Sungai Ratapan

    Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka

  • Mayat di Atas Ranjang   81. Rute

    Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela

  • Mayat di Atas Ranjang   80. Tawa

    “Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki

  • Mayat di Atas Ranjang   79. Pertukaran

    Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status