Share

3. Dukun

Menjelang tengah malam, bak seorang pencuri, Nurlaila berjalan mengendap-endap di kediamannya sendiri. Dia bersyukur kamar Hendi, putra semata wayangnya, ada di lantai dua. Setidaknya, kecil kemungkinan dia berpapasan dengan Hendi saat akan keluar rumah. Dia tidak ingin Hendi tahu kepergiannya malam itu.

Masih tetap berjingkat-jingkat, Nurlaila melangkah menuju kamar yang ada di sebelah tangga menuju lantai dua, kamar itu kamar Karno, sopirnya. Pintu kamarnya tertutup, Nurlaila mengetuknya pelan-pelan.

“No, Karno?” Nurlaila memanggil Karno, “Kamu sudah tidur? Bangun, No.”

Pintu kamar dibuka dari dalam. Karno masih belum tidur. Majikan putrinya itu sudah berpesan sebelumnya kalau malam itu dia harus mengantar sang majikan ke suatu tempat.

Tanpa diberi tahu pun, Karno sudah bisa menebak tempat mana yang akan mereka tuju nantinya. Sebab, hanya ada satu tempat yang mungkin mereka datangi di jam segitu. Rumah Mbah Wursita, sang dukun.

“Ayo, No, cepat keluarkan mobil sekarang. Jangan berisik!” Nurlaila memberi isyarat dengan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk ke lantai dua, ke kamarnya Hendi.

Karno mengangguk tanda mengerti. Hendi tidak boleh tahu kalau mereka akan mengunjungi seorang dukun.

Tak lama kemudian, sebuah mobil yang disupiri Karno membawa Nurlaila keluar dari rumah menembus keheningan malam. Dan, tanpa mereka sadari, Hendi mengintip kepergian mereka dari balik tirai jendela kamarnya.

*

Karno mengendarai mobil sampai jauh ke pinggiran kampung. Meski demikian, lalu lintas lengang, kira-kira setengah jam kemudian, Karno menghentikan mobil. Mereka sudah tiba di rumah Mbah Wursito yang besar dan bergaya kuno. Posisi rumah itu sendiri jauh dari pemukiman warga, berada di tengah-tengah kebun kosong. Suasana sekitar tempat itu remang-remang, sementara angin malam berembus sejuk, membuat bulu kuduk berdiri, entah memang karena dingin atau hawa angker yang mengambang di udara.

Nurlaila turun dari mobil, sementara Karno tetap berada di balik kemudi, menunggu. Baru beberapa langkah Nurlaila berjalan mendekati rumah, pintu depan rumah yang tadinya tertutup, tiba-tiba terbuka lebar, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang mendorongnya.

Dada Nurlaila berdesir. Dia tahu pintunya itu memang kerap terbuka sendiri setiap kali dia datang ke sana, tetapi masih saja dia tidak terbiasa. Sebenarnya, Nurlaila tidak pernah suka datang ke tempat itu, kalau saja tidak terpaksa. Ada yang harus dia konfirmasikan kepada Mbah Wursita.

“Kulonuwun, Mbah,” sapa Nurlaila begitu menginjakkan kaki di dalam.

Mbah Wursita menyambutnya dengan dehaman. Dia ada di sana duduk di lantai beralas tikar, menghadapi segelas kopi yang tinggal ampasnya saja. Tangannya bersidekap di dada, matanya tajam menatap Nurlaila.

Nurlaila duduk di depan Mbah Wursita.

“Katakan, apa tujuanmu datang kemari?” tanya Mbah Wursita.

“Mbah, bagaimana ini? Suamiku meninggal dengan tragis!” Nurlaila sekonyong-konyong menyembur Mbah Wursita dengan kata-kata, “Padahal dulu Mbah ngomong kalau pesugihan yang kami lakoni ini aman, enggak pakai tumbal nyawa, tapi, kenapa malah jadi begini?”

Bruak! Prang!

Sekonyong-konyong, Mbah Wursita membanting bejana tanah liat ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Matanya melotot marah. Melihat reaksi Mbah Wursita, Nurlalila langsung mengkeret ketakutan.

“Ma-maaf, Mbah, a-ampun,” ujar Nurlaila terbata-bata, “bukan maksud saya membuat Mbah marah. Ampun, Mbah.”

Sosok Mbah Wursita yang renta, tampak tak berdaya dengan tubuhnya yang kering, hanya tulang berbalut kulit, mendadak menjadi begitu kuat dan mengancam dalam pandangan Nurlaila. Terutama, sorot mata Mbah Wursita, sorot matanya itu sama seperti sorot mata hewan buas yang tengah mengincar mangsanya. Mbah Wursita telah menunjukkan kemurkaannya. Nurlaila gemetaran ketakutan.

Hampir semua orang yang mengenal Mbah Wursita, tahu betapa saktinya orang tua itu. Kalau dia mau, dia bisa membuat hidup seseorang menderita dengan mendatangkan musibah atau mengirim penyakit-penyakit aneh yang tidak ada obatnya. Tidak ada orang yang mau membuat masalah dengan Mbah Wursita, apalagi membuatnya marah, termasuk juga Nurlaila.

“Semua itu salahnya sendiri!” Mbah Wursita berseru dengan suara lantang dan tegas.

Nurlaila menunduk takzim, tidak berani menatap langsung mata Mbah Wursita.

“Keluar kowe! Minggat dari sini!” bentak Mbah Wursita sambil tangannya menunjuk pintu keluar.

“Ampun, Mbah, ampuuun!” Nurlaila dengan cepat bersimpuh di kaki Mbah Wursita. “Saya panik, saya takut, jangan-jangan nanti saya yang jadi korban nyawa berikutnya. Maafkan saya, Mbah, saya enggak sadar sudah bersikap enggak sopan kepada Mbah. Ampun, Mbah, jangan usir saya keluar. Tolong saya.” Nurlaila menangis, memohon di bawah kaki Mbah Wursita.

Mbah Wursita manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih panjang. Katanya, “Kowe pikir, kowe bisa seenak udel di sini? Kalau berani sekali lagi bersikap kurang ajar sama aku, bukan aku yang marah, tapi khodam-khodam piaraanku yang akan mengambil tindakan keras. Paham kowe?”

“Paham, Mbah, paham.” Nurlaila menangkupkan kedua tangannya sambil masih duduk bersimpuh.

“Bagus! Tapi, tetap aku harus kasih kowe pelajaran. Biar kowe tahu siapa aku! Biar kowe eling!”

“Jangan, Mbah, jangan, ampuni saya.” Nurlaila sujud, membenamkan kepalanya.

Mbah Wursita tidak peduli. Dia mengangkat dagu Nurlaila, mencondongkan badan hingga tatapannya sejajar dengan mata Nurlaila. Orang tua itu lalu terkekeh-kekeh, memamerkan gigi emasnya yang berderet-deret. Napasnya berbau busuk, tetapi Nurlaila tidak berani menutup hidung. Wanita malang itu hanya bisa menahan napas. Nurlaila juga tidak berani berkedip, pandangan matanya terkunci oleh sorot mata Mbah Wursita yang semakin lama semakin membuat tubuhnya panas dingin dan tak mampu bergerak.

Mata Mbah Wursita menjelajahi setiap mili wajah Nurlaila, dari mata, turun ke hidung, lalu ke sepasang bibir Nurlaila yang dibubuhi lipstick merah dan sedikit gemetar. Mbah Wursita berhenti memandangi bibir itu berlama-lama. Ketakutan Nurlaila telah membangkitkan gairahnya. Dengan rakus, Mbah Wursita tiba-tiba mengulum bibir Nurlaila.

Nurlaila mendelik, tubuhnya refleks menolak, tetapi satu tangan kurus Mbah Wursita mencengkram pinggangnya, sementara tangannya yang lain menjambak rambut Nurlaila. Siapa yang bisa menyangka, bahwa di balik tubuh ringkih Mbah Wursita ternyata tersimpan kekuatan besar yang sanggup memaksa seorang wanita untuk tunduk kepada hasratnya.

Nurlaila nyaris kehabisan napas, saat Mbah Wursita akhirnya berhenti menciumnya. Lipstick Nurlaila jadi belepotan, bibirnya memar dan sedikit bengkak. Mbah Wursita lantas bangkit, sementara Nurlaila masih duduk lemas di lantai.

“Bangun, kowe!” perintah Mbah Wursita dengan suara menggelegar.

Nurlaila menengadah. Dalam pandangannya saat itu, Mbah Wursita yang kesehariannya bertubuh bongkok oleh usia berubah menjadi tinggi menjulang, tegap, dan sekokoh karang.

“I-iya, Mbah,” jawab Nurlaila sambil memaksa kakinya yang melemah untuk berdiri.

“Buka semua pakaianmu! Semuanya! Jangan disisakan sehelai benang pun!” bentak Mbah Wursita.

Tidak ada yang bisa membantah titah Mbah Wursita, kecuali dia mau celaka. Nurlaila menurut dan mulai melucuti semua pakaiannya satu per satu di bawah tatapan mata Mbah Wursita. Setelah itu Mbah Wursita gantian melakukan hal yang sama.

Lampu lima watt yang menjadi penerang satu-satunya di ruangan itu mendadak padam dibarengi suara guntur yang tiba-tiba bergemuruh. Sekelebatan cahaya kilat untuk sesaat menerangi sosok keduanya yang polos, berdiri saling berhadapan tanpa suara. Hujan turun bagai ditumpahkan dari langit.

Dalam kegelapan Nurlaila menahan tangisnya saat tangan Mbah Wursita menggerayangi tubuhnya, dia tahu apa yang selanjutnya akan dilakukan Mbah Wursita terhadapnya. Berkali-kali, Mbah Wursita sudah pernah melakukan hal yang sama sebagai bagian dari persyaratan atas ritual yang dulu pernah dia jalankan bersama suaminya, Suroso.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status