Share

4. Pesugihan

Suatu hari saat Suroso masih hidup dan rumah yang mereka huni masih sangat sederhana. Beberapa orang berbadan tinggi besar mendatangi rumah mereka, menggedor-gedor pintunya tidak sabaran.

“Suroso! Jangan ngumpet kamu di dalam! Keluar bayar semua utang-utangmu!” teriak orang-orang itu.

“Pah, bagaimana ini?” Nurlaila ketakutan sambil memeluk lengan Suroso erat. “Kita sudah enggak punya apa-apa lagi yang bisa digadaikan.”

Suroso menelan ludah, dia juga sama paniknya dengan Nurlaila. Siapa yang menyangka kalau semua usahanya hancur hanya karena dia tergiur oleh investasi yang ternyata bodong.

“Keluar atau aku bakar rumah ini sekaligus seisinya!” Para penagih utang tidak berhenti berteriak dan mengancam.

Ancaman mereka bukan omong kosong, Suroso cepat-cepat lari ke pintu depan, membukanya. Belum sempat dia bicara apa-apa, tubuhnya langsung didorong hingga dia jatuh tersungkur. Orang-orang itu merangsek masuk, mengobrak-abrik barang-barang.

“Angkut semua yang bisa dijual!” perintah seseorang yang merupakan kepala gerombolan penagih utang itu.

“Apanya yang mau diangkut, Bos?” keluh salah satu dari mereka sembari mengeluarkan seluruh isi lemari. “Sampah semua di sini.”

“Ampun, Bang, tolong beri aku waktu untuk membayar semua utang.” Suroso bersujud sambil memegangi kaki laki-laki yang dipanggil Bos oleh rekan-rekannya.

Si Bos menendangi Suroso tanpa perlawanan sementara Nurlaila hanya bisa menangis di pojokan melihat semua itu.

“Aku kasih kamu waktu tiga hari. Kalau masih belum juga bisa bayar, akan kukirim kamu langsung ke alam baka!”

Selesai mengancam dan memecahkan lagi beberapa barang, mereka semua pergi begitu saja, meninggalkan Suroso yang babak belur di lantai. Nurlaila berlari mendekati suaminya.

“Papa, kamu enggak apa-apa?” tanyanya masih sambil menangis.

Suroso mengepalkan tangannya lalu meninju tembok di sisinya. “Sialan! Akan kubunuh bajingan yang sudah menipuku!”

“Percuma, Pah!” seru Nurlaila, “yang kita butuh saat ini uang. Ke mana kita harus mencari uang sebanyak itu hanya dalam tiga hari? Bahkan rumah ini saja sudah kita gadaikan.”

Suroso bangkit sambil menahan sakit. “Aku akan cari jalan keluar. Kamu di sini saja, Hendi sebentar lagi pulang sekolah,” ujarnya kepada Nurlaila.

Nurlaila tidak bertanya ke mana suaminya pergi, dia hanya bisa mengantar kepergian suaminya itu dengan tatapan nanar.

Malamnya, Suroso kembali hanya untuk mengajak Nurlaila pergi.

“Mau ke mana, Pah? Sudah hampir tengah malam.”

“Sudah, kamu enggak usah banyak tanya! Ikut aku saja!”

Dengan berboncengan motor hasil pinjaman, Suroso membawa Nurlalila bertemu dengan Mbah Wursita untuk pertama kalinya.

“Jadi, kowe butuh duit?” Mbah Wursita mendelik kepada mereka berdua usai Suroso menjelaskan maksud tujuannya datang ke sana.

“Iya, Mbah, leres, bener. Usaha saya bangkrut, kalau saya enggak segera mendapatkan uang, saya bisa dibakar hidup-hidup,” terang Suroso, “saya sudah habis-habisan, Mbah. Saya sudah enggak punya lagi simpanan uang. Barang-barang sudah saya jual, rumah juga sudah dalam proses penyitaan oleh bank. Setiap hari, preman-preman datang, mengancam akan membunuh saya kalau saya enggak mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan. Tolong, saya, Mbah.”

Sementara itu Nurlaila yang mendampingi suaminya duduk dengan gelisah. Andaikan sebelumnya dia tahu ke mana Suroso akan membawanya, Nurlaila pasti menolak. Dia tidak mau berurusan dengan hal-hal gaib demi untuk mendapatkan kekayaan. Namun, di sisi lain, dia juga memahami betapa suaminya sudah putus asa.

Tawa Mbah Wursita tiba-tiba pecah, lalu berkata, “Dasar manusia! Apa-apa maunya serba cepat, serba instan! Dikira duit bisa jatuh dari langit!” Mimik wajah Mbah Wursita kontan berubah menjadi menyeramkan.

Suroso dan Nurlaila otomatis saling berpegangan tangan, terkejut bercampur ngeri.

“Maaf, Mbah, maaf.” Suroso memberanikan diri untuk bicara, “tapi, bisa dibantu, kan, Mbah?”

“Kamu meremehkan kemampuanku, heh?” Mbah Wursita melotot.

“Enggak, Mbah, mana berani saya?” Suroso menggeleng kuat-kuat.

“Baik! Kalau itu maumu, gampang! Yang sulit adalah apakah kamu rela mengorbankan segalanya demi uang?” Masih sambil  melotot, Mbah Wursita memandangi Suroso dan Nurlaila satu per satu.

Nurlaila menarik lengan baju Suroso, berbisik, “Pah, aku enggak mau kalau sampai harus tumbal nyawa. Serem.”

“Enggak ada tumbal nyawa!” bentak Mbah Wursita menyela. “Tenang saja, Wong Ayu.” Mbah Wursita berkata lagi sambil melirik Nurlaila dan membasahi bibirnya sendiri. “Bukan nyawa yang khodamku minta, tapi yang lain.” Mbah Wursita tidak berkedip memandangi Nurlaila.

Nurlaila bergidik, merasa risih dengan cara Mbah Wursita menatapnya. Dia bergeser, merapat kepada Suroso, mencari perlindungan.

“Bagaimana? Apa kamu rela memberikan istrimu untuk menjadi pelayanan khodamku?” Mbah Wursita berpaling kepada Suroso.

“Papah!” seru Nurlaila cemas sambil memberi isyarat agar menolak permintaan Mbah Wursito.

Mereka semua sama-sama paham dengan maksud kata-kata Mbah Wursito, tentang pelayanan seperti apa yang harus diberikan Nurlaila. Mbah Wursita menghendaki tubuh Nurlaila. Namun, perempuan mana yang sanggup menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki selain suaminya sendiri?

Suroso berperang dengan hati nuraninya. Dia memandangi istrinya yang duduk gemetaran di sisinya. Dia tahu kesetiaan dan cinta Nurlaila kepada dirinya tidak diragukan lagi. Bersama-sama mereka sudah bertahan menghadapi pasang surutnya masalah rumah tangga sampai hari itu. Tetapi, bayangan para preman penagih utang kembali menyeruak ke dalam kepalanya. Dia butuh uang!

“Cepat, jawab!” bentak Mbah Wursito mendesak.

“Iya, Mbah, iya, saya rela, saya sanggup!” jawab Suroso pada akhirnya.

Nurlaila menatap Suroso tak percaya. Bahunya seketika lemas.

Mbah Wursito terkekeh-kekeh senang. Dengan kasar dia menarik tangan Nurlaila, mengoyak pakaiannya, dan memperlakukan Nurlaila seperti binatang di depan mata Suroso.

Suroso memalingkan wajah. Dia bisa menutup mata, tetapi tidak bisa menutup telinga. Rintih kesakitan dan jerit tangis istrinya, berpadu dengan erangan nikmat Mbah Wursito seakan-akan merobek-robek gendang telinganya. Dalam hatinya Suroso ikut menjerit, menangis bersama Nurlaila. Dia sudah terlanjur menyetujui perjanjian keramat.

Ritual pertama sudah selesai. Kepala Suroso mendadak kosong. Nurlaila tergeletak di lantai, lemas seperti handuk basah. Matanya terbuka, tetapi seperti mati.

“Selanjutnya giliran kamu!” Mbah Wursito berkata santai seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Mata Suroso membesar. “A-apa maksudnya, Mbah?”

“Kamu harus mencari wanita selain istrimu untuk kamu gauli. Ritual itu harus kamu lakukan rutin setiap seratus hari.”

Suroso terkejut, tidak menyangka dengan persyaratan yang diajukan oleh Mbah Wursita ternyata sedemikian beratnya.

“Ya! Itu kalau kamu mau uang. Lakukan itu malam ini juga, maka besoknya kamu akan menemukan sejumlah uang di balik ranjangmu. Jumlahnya tidak tentu, semua tergantung khodam itu sendiri. Suka-suka mereka.”

Suroso menoleh kepada istrinya, Nurlaila, yang balik memandangnya dengan kesedihan dan penderitaan luar biasa. Mereka sudah sampai sejauh itu, tidak ada lagi jalan kembali.

“Siap, Mbah,” jawab Suroso dengan anggukan lemah.

Mbah Wursito lantas memberinya sebuah botol kecil berisi cairan bening dan berkata, “Oleskan minyak ini pada tubuhmu, maka perempuan mana pun akan bertekuk lutut di kakimu.”

Sejak malam itu, hidup Suroso dan Nurlaila tidak pernah sama lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status