Suatu hari saat Suroso masih hidup dan rumah yang mereka huni masih sangat sederhana. Beberapa orang berbadan tinggi besar mendatangi rumah mereka, menggedor-gedor pintunya tidak sabaran.
“Suroso! Jangan ngumpet kamu di dalam! Keluar bayar semua utang-utangmu!” teriak orang-orang itu.
“Pah, bagaimana ini?” Nurlaila ketakutan sambil memeluk lengan Suroso erat. “Kita sudah enggak punya apa-apa lagi yang bisa digadaikan.”
Suroso menelan ludah, dia juga sama paniknya dengan Nurlaila. Siapa yang menyangka kalau semua usahanya hancur hanya karena dia tergiur oleh investasi yang ternyata bodong.
“Keluar atau aku bakar rumah ini sekaligus seisinya!” Para penagih utang tidak berhenti berteriak dan mengancam.
Ancaman mereka bukan omong kosong, Suroso cepat-cepat lari ke pintu depan, membukanya. Belum sempat dia bicara apa-apa, tubuhnya langsung didorong hingga dia jatuh tersungkur. Orang-orang itu merangsek masuk, mengobrak-abrik barang-barang.
“Angkut semua yang bisa dijual!” perintah seseorang yang merupakan kepala gerombolan penagih utang itu.
“Apanya yang mau diangkut, Bos?” keluh salah satu dari mereka sembari mengeluarkan seluruh isi lemari. “Sampah semua di sini.”
“Ampun, Bang, tolong beri aku waktu untuk membayar semua utang.” Suroso bersujud sambil memegangi kaki laki-laki yang dipanggil Bos oleh rekan-rekannya.
Si Bos menendangi Suroso tanpa perlawanan sementara Nurlaila hanya bisa menangis di pojokan melihat semua itu.
“Aku kasih kamu waktu tiga hari. Kalau masih belum juga bisa bayar, akan kukirim kamu langsung ke alam baka!”
Selesai mengancam dan memecahkan lagi beberapa barang, mereka semua pergi begitu saja, meninggalkan Suroso yang babak belur di lantai. Nurlaila berlari mendekati suaminya.
“Papa, kamu enggak apa-apa?” tanyanya masih sambil menangis.
Suroso mengepalkan tangannya lalu meninju tembok di sisinya. “Sialan! Akan kubunuh bajingan yang sudah menipuku!”
“Percuma, Pah!” seru Nurlaila, “yang kita butuh saat ini uang. Ke mana kita harus mencari uang sebanyak itu hanya dalam tiga hari? Bahkan rumah ini saja sudah kita gadaikan.”
Suroso bangkit sambil menahan sakit. “Aku akan cari jalan keluar. Kamu di sini saja, Hendi sebentar lagi pulang sekolah,” ujarnya kepada Nurlaila.
Nurlaila tidak bertanya ke mana suaminya pergi, dia hanya bisa mengantar kepergian suaminya itu dengan tatapan nanar.
Malamnya, Suroso kembali hanya untuk mengajak Nurlaila pergi.
“Mau ke mana, Pah? Sudah hampir tengah malam.”
“Sudah, kamu enggak usah banyak tanya! Ikut aku saja!”
Dengan berboncengan motor hasil pinjaman, Suroso membawa Nurlalila bertemu dengan Mbah Wursita untuk pertama kalinya.
“Jadi, kowe butuh duit?” Mbah Wursita mendelik kepada mereka berdua usai Suroso menjelaskan maksud tujuannya datang ke sana.
“Iya, Mbah, leres, bener. Usaha saya bangkrut, kalau saya enggak segera mendapatkan uang, saya bisa dibakar hidup-hidup,” terang Suroso, “saya sudah habis-habisan, Mbah. Saya sudah enggak punya lagi simpanan uang. Barang-barang sudah saya jual, rumah juga sudah dalam proses penyitaan oleh bank. Setiap hari, preman-preman datang, mengancam akan membunuh saya kalau saya enggak mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan. Tolong, saya, Mbah.”
Sementara itu Nurlaila yang mendampingi suaminya duduk dengan gelisah. Andaikan sebelumnya dia tahu ke mana Suroso akan membawanya, Nurlaila pasti menolak. Dia tidak mau berurusan dengan hal-hal gaib demi untuk mendapatkan kekayaan. Namun, di sisi lain, dia juga memahami betapa suaminya sudah putus asa.
Tawa Mbah Wursita tiba-tiba pecah, lalu berkata, “Dasar manusia! Apa-apa maunya serba cepat, serba instan! Dikira duit bisa jatuh dari langit!” Mimik wajah Mbah Wursita kontan berubah menjadi menyeramkan.
Suroso dan Nurlaila otomatis saling berpegangan tangan, terkejut bercampur ngeri.
“Maaf, Mbah, maaf.” Suroso memberanikan diri untuk bicara, “tapi, bisa dibantu, kan, Mbah?”
“Kamu meremehkan kemampuanku, heh?” Mbah Wursita melotot.
“Enggak, Mbah, mana berani saya?” Suroso menggeleng kuat-kuat.
“Baik! Kalau itu maumu, gampang! Yang sulit adalah apakah kamu rela mengorbankan segalanya demi uang?” Masih sambil melotot, Mbah Wursita memandangi Suroso dan Nurlaila satu per satu.
Nurlaila menarik lengan baju Suroso, berbisik, “Pah, aku enggak mau kalau sampai harus tumbal nyawa. Serem.”
“Enggak ada tumbal nyawa!” bentak Mbah Wursita menyela. “Tenang saja, Wong Ayu.” Mbah Wursita berkata lagi sambil melirik Nurlaila dan membasahi bibirnya sendiri. “Bukan nyawa yang khodamku minta, tapi yang lain.” Mbah Wursita tidak berkedip memandangi Nurlaila.
Nurlaila bergidik, merasa risih dengan cara Mbah Wursita menatapnya. Dia bergeser, merapat kepada Suroso, mencari perlindungan.
“Bagaimana? Apa kamu rela memberikan istrimu untuk menjadi pelayanan khodamku?” Mbah Wursita berpaling kepada Suroso.
“Papah!” seru Nurlaila cemas sambil memberi isyarat agar menolak permintaan Mbah Wursito.
Mereka semua sama-sama paham dengan maksud kata-kata Mbah Wursito, tentang pelayanan seperti apa yang harus diberikan Nurlaila. Mbah Wursita menghendaki tubuh Nurlaila. Namun, perempuan mana yang sanggup menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki selain suaminya sendiri?
Suroso berperang dengan hati nuraninya. Dia memandangi istrinya yang duduk gemetaran di sisinya. Dia tahu kesetiaan dan cinta Nurlaila kepada dirinya tidak diragukan lagi. Bersama-sama mereka sudah bertahan menghadapi pasang surutnya masalah rumah tangga sampai hari itu. Tetapi, bayangan para preman penagih utang kembali menyeruak ke dalam kepalanya. Dia butuh uang!
“Cepat, jawab!” bentak Mbah Wursito mendesak.
“Iya, Mbah, iya, saya rela, saya sanggup!” jawab Suroso pada akhirnya.
Nurlaila menatap Suroso tak percaya. Bahunya seketika lemas.
Mbah Wursito terkekeh-kekeh senang. Dengan kasar dia menarik tangan Nurlaila, mengoyak pakaiannya, dan memperlakukan Nurlaila seperti binatang di depan mata Suroso.
Suroso memalingkan wajah. Dia bisa menutup mata, tetapi tidak bisa menutup telinga. Rintih kesakitan dan jerit tangis istrinya, berpadu dengan erangan nikmat Mbah Wursito seakan-akan merobek-robek gendang telinganya. Dalam hatinya Suroso ikut menjerit, menangis bersama Nurlaila. Dia sudah terlanjur menyetujui perjanjian keramat.
Ritual pertama sudah selesai. Kepala Suroso mendadak kosong. Nurlaila tergeletak di lantai, lemas seperti handuk basah. Matanya terbuka, tetapi seperti mati.
“Selanjutnya giliran kamu!” Mbah Wursito berkata santai seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Mata Suroso membesar. “A-apa maksudnya, Mbah?”
“Kamu harus mencari wanita selain istrimu untuk kamu gauli. Ritual itu harus kamu lakukan rutin setiap seratus hari.”
Suroso terkejut, tidak menyangka dengan persyaratan yang diajukan oleh Mbah Wursita ternyata sedemikian beratnya.
“Ya! Itu kalau kamu mau uang. Lakukan itu malam ini juga, maka besoknya kamu akan menemukan sejumlah uang di balik ranjangmu. Jumlahnya tidak tentu, semua tergantung khodam itu sendiri. Suka-suka mereka.”
Suroso menoleh kepada istrinya, Nurlaila, yang balik memandangnya dengan kesedihan dan penderitaan luar biasa. Mereka sudah sampai sejauh itu, tidak ada lagi jalan kembali.
“Siap, Mbah,” jawab Suroso dengan anggukan lemah.
Mbah Wursito lantas memberinya sebuah botol kecil berisi cairan bening dan berkata, “Oleskan minyak ini pada tubuhmu, maka perempuan mana pun akan bertekuk lutut di kakimu.”
Sejak malam itu, hidup Suroso dan Nurlaila tidak pernah sama lagi.
Semua musibah datang karena kesalahan mereka sendiri. Nurlaila memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Akan ada orang-orang yang terpaksa mereka sakiti demi memenuhi persyaratan pesugihan itu. Tetapi, tak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya kalau akan ada darah yang tumpah, terlebih Suroso sendiri korbannya. Nurlaila kembali kepada Mbah Wursito untuk menanyakan hal itu.“Kalau begitu, siapa yang sudah membunuh suami saya, Mbah?” Nurlaila bertanya beberapa saat setelah Mbah Wursita menuntaskan hasratnya.Listrik di kediaman Mbah Wursita masih padam, hujan masih turun, meski kilat dan guntur tidak lagi terdengar mereka. Ruangan di mana mereka berada saat itu hanya diterangi samar-samar oleh semburat cahaya dari kaca jendela yang tidak bertirai.Mbah Wursita menyalakan lilin, kemudian membawanya ke antara mereka berdua. Kerut keriput di wajahnya terlihat mengerikan oleh cahaya lilin yang bersinar dari bawah dagunya.“Suamimu dibunuh oleh kekuatan tak kasat
Hendi mengikuti dokter masuk ke salah satu bilik yang letaknya paling ujung di UGD. Di sana hanya ada satu bed berisi jenazah dengan kain kafan menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. “Sebelumnya saya mau tanya, apa Anda punya penyakit jantung?” Ditanya seperti itu, Hendi langsung paham apa artinya, sesuatu yang buruk pasti sedang menantinya. “Enggak, Dok,” jawabnya. Dokter itu mengangguk, lalu membuka kain kafan. Hendi terkesiap. Dia hanya sanggup melihat sekilas sebelum membalikkan tubuhnya. Sang dokter cepat-cepat menutup kembali jenazah itu. Sementara Hendi bergegas keluar dari ruangan dengan wajah pucat. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Apa itu tadi? Manusia atau bukan?” pikir Hendi sambil menahan rasa mual di perut. Jenazah itu nyaris sudah tidak punya lagi dengan apa yang bisa disebut sebagai wajah, atau bagian-bagian darinya. Tidak ada lagi hidung, mata, mulut, yang ada hanya gumpalan daging, seakan-akan malaikat maut sendiri ya
Dengan gerakan yang tidak bisa diikuti mata manusia karena saking cepatnya, belati Kanjeng Ratu terayun ke arah Hendi, kemudian ….Slash!Darah memercik pada dinding dan kasur.Hendi melongo. Sedetik berlalu, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. Pipinya perih. Dia merabanya, kemudian terkejut begitu melihat darah di tangannya.“Apa yang kau lakukan!” teriak Hendi murka.Rasa sakit telah mengubah ketakutan Hendi menjadi luapan amarah. Dia balik melawan, menyerang Kanjeng Ratu berbekal tinju kosong. Tetapi lawannya bukan manusia, Kanjeng Ratu bahkan tidak perlu bergerak untuk menghindar.“Aku suka semangatmu,” ujar Kanjeng Ratu dengan nada mengejek, “tapi perjanjian sudah dibuat, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain menuruti perintahku.”“Kau penipu!” Hendi meraung sambil memegangi pipinya yang berdarah-darah.“Suroso telah menumbalkan kehormatan seluruh keluarganya demi harta. Kamu adalah keturunannya langsung, jadi kamulah yang mewarisi perjanjian kita.”“Tidak!” Hend
Hendi tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kanjeng Ratu. Ke mana saja dia berpaling, selalu ada sosoknya, ditambah lagi dengan penampakan-penampakan mengerikan yang kerap dijumpainya di setiap sudut jalan.Kakek tua dengan lubang di perutnya yang sebelumnya selalu mengikuti Hendi, memang segera menyingkir begitu Kanjeng Ratu muncul. Tetapi sosoknya tidak pergi, masih berada dalam jarak pandang Hendi. Tidak hanya si Kakek, Hendi juga melihat sesosok makhluk kerdil dengan puluhan mata di wajahnya memandangnya dari balik semak-semak, juga kuntilanak di pohon asem yang tak jauh dari kantin, ikut menampakkan diri. Dengan santai kuntilanak itu duduk di salah satu dahan sambil bergoyang-goyang, membuat rontok daun-daun kering.“Mereka enggak nyata, mereka enggak nyata,” gumam Hendi berkali-kali dalam hatinya saat dia melangkah menuju parkiran kampus.Tadinya dia bermaksud untuk mengejar Tiara dan menawarinya pulang bersama, tetapi urung dilakukanya. Akhirnya, semuanya seperti yang s
Bab 9. TersesatSementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.“No, Karno, di mana kamu?”Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat y
“Hei, perempuan bermata satu!”Mendadak Nurlaila mendengar seseorang bersuara parau memanggilnya dari dalam kepalanya. Dia memiringkan kepalanya, menekan-nekan telinganya, mengira si pemilik suara bisa keluar dari dalam lubang telinganya.“Kamu perempuan konyol, aku ada di sini, sebelah sini, di bawah dekat kakimu,” sahut suara itu lagi.Nurlaila melihat ke bawah dan menemukan seekor ular pendek, gemuk, dengan mata bagai sepasang bintik hitam kecil di kepalanya. Nurlaila berjongkok dan bertanya, “Apa kamu ngomong sama aku?”Ular itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, mendesis-desis. Dia berkomunikasi dengan Nurlaila melalui pikiran. “Memang, siapa lagi, heh?” tanyanya balik dengan ketus.“Apa kamu Gendeng?” Entah bagaimana, Nurlaila merasa langsung dapat mengenali sosok hewan itu.“Yang sopan kalau bicara! Jangan langsung memanggilku dengan sebutan nama. Panggil aku Ki Gendeng!” Ular itu berteriak pongah di dalam kepala Nurlaila.“Iya, iya, maafkan aku, Ki Gendeng.”Rasanya sulit ba
Kata-kata Suroso sama sekali tidak dipahami Nurlaila. “Siapa Maya? Cakar hitam apa?” tanyanya berulang-ulang.Bukannya menjawab pertanyaan Nurlaila, Suroso malah tertawa-tawa histeris. Tepat seperti apa yang dibilang Ki Gendeng sebelumnya, Suroso sudah benar-benar kehilangan akalnya.“Pah, ngomong! Jelaskan semuanya!”“Sudah! Percuma kamu mengajak bicara wong edan!” Ki Gendeng mendesis dalam pikiran Nurlaila.Tak mengindahkan Nurlaila, Suroso kembali pada pekerjaannya, menggarap ladang yang ditumbuhi tanaman-tanaman aneh.“Setidaknya suamimu itu beruntung punya keahlian, tidak harus dipaksa jadi pijakan, atau tukang angkat batu.” Ki Gendeng mengomentari.“Aku harus cari tahu, siapa itu perempuan bernama Maya? Apa dia yang sudah bikin celaka suamiku?”“Halah! Paling-paling, itu nama perempuan yang jadi salah satu korban nafsu bejad suamimu,” ujar Ki Gendeng berpendapat.Mata satu Nurlaila membesar, dia mendekatkan lengannya--di mana sosok ular Ki Gendeng melingkar--ke wajahnya, lalu de
Baru sekali itu Hendi naik ke atap gedung rumah sakit berlantai sembilan, tempat ibunya dirawat. Dia menyebrangi pagar pembatas, dan berdiri di tepian atap. Hari sudah gelap, lampu-lampu penerang dinyalakan. Dari tempatnya berdiri Hendi melihat masih ada saja orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Namun, tidak ada satu pun yang memerhatikan keberadaan Hendi yang tengah berdiri di antara hidup dan mati.“Ayo, lompat, lompat sekarang!”“Tunggu apa lagi?”“Dunia ini brengsek, tinggalkan saja!”Berbagai macam ruh gentayangan mengerubungi Hendi. Seorang wanita dengan kepala hancur, seorang nelayan dengan kulit kelapa terkelupas, seorang pelajar dengan leher hampir putus, dan masih banyak lagi. Semuanya berbisik-bisik, menyeringai, atau hanya terdiam sambil terus memeloti Hendi.“Menjauhlah, pergi sana! Jangan dekati aku, aku capek!” Hendi menggumam.Dalam hatinya dia tidak mau mati. Apalagi dengan cara seperti itu, mati bunuh diri, membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah, mematahkan