Share

5. Musibah

Semua musibah datang karena kesalahan mereka sendiri. Nurlaila memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan hidup mereka. Akan ada orang-orang yang terpaksa mereka sakiti demi memenuhi persyaratan pesugihan itu. Tetapi, tak pernah terlintas sama sekali dalam pikirannya kalau akan ada darah yang tumpah, terlebih Suroso sendiri korbannya. Nurlaila kembali kepada Mbah Wursito untuk menanyakan hal itu.

“Kalau begitu, siapa yang sudah membunuh suami saya, Mbah?” Nurlaila bertanya beberapa saat setelah Mbah Wursita menuntaskan hasratnya.

Listrik di kediaman Mbah Wursita masih padam, hujan masih turun, meski kilat dan guntur tidak lagi terdengar mereka. Ruangan di mana mereka berada saat itu hanya diterangi samar-samar oleh semburat cahaya dari kaca jendela yang tidak bertirai.

Mbah Wursita menyalakan lilin, kemudian membawanya ke antara mereka berdua. Kerut keriput di wajahnya terlihat mengerikan oleh cahaya lilin yang bersinar dari bawah dagunya.

“Suamimu dibunuh oleh kekuatan tak kasat mata.” Bibir Mbah Wursita bergetar saat bicara.

Kontan wajah Nurlaila memucat. “S-siapa?” tanya lagi.

Mbah Wursita tidak langsung menjawab, dan saat itu juga, bukan hanya bibirnya yang gemetar, tetapi seluruh badannya juga bergetar hebat. Api lilin yang tadinya tenang menjadi bergoyang-goyang seakan-akan ada angin di sekitarnya, padahal tidak. Suara-suara tidak jelas keluar dari bibir Mbah Wursita. Ada berbagai macam suara berbeda yang mustahil jika hanya bersumber dari satu orang saja.

Nurlaila bergeming, menunggu dengan tegang. Dia bisa melihat dan tahu, kalau pada saat itu ada makhluk lain yang sedang merasuki tubuh Mbah Wursita. Makhluknya tidak hanya satu, tetapi banyak, berganti-ganti keluar dan masuk. Nurlaila bisa mendengar mereka semua berebut bicara kepadanya memakai bahasa dan logat yang berbeda-beda. Ada yang suaranya nyaring seperti bocah kecil, atau melengking seperti nenek-nenek, atau berat dan dalam, dan ada lebih banyak lagi suara yang hanya menyerupai suara hewan meraung, mengaum, mencicit.

Setelah lama kemudian, kepala Mbah Wursita mendadak terkulai, lalu perlahan tegak kembali, lurus menghadap Nurlaila. Nurlaila terkesiap. Bola mata Mbah Wursita berubah putih seluruhnya.

“Seseorang dari masa lalu datang untuk balas dendam. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa. Dia tidak akan berhenti sampai semuanya habis. Sampai jiwanya terpuaskan!” Mbah Wursita menjawab pertanyaan Nurlaila dengan suara yang tenang, teratur, dan jernih.

Itu jelas bukan suara asli Mbah Wursita, melainkan makhluk lain, entah apa, yang akhirnya berhasil menguasai raga Mbah Wursita.  

Nurlaila mengerahkan seluruh keberaniannya untuk bertanya lagi, “Siapa namanya? Laki-laki atau perempuan?”

“Tanpa raga, hanya ruh. Ruh yang penuh dengan amarah. Tak ada tempat untuk sembunyi. Tak ada pintu yang tak bisa dia buka. Dia akan menemukanmu!”

Seketika Nurlaila merasakan udara di sekitarnya menipis. Dadanya turun naik, napasnya ngos-ngosan, kepalanya pening. Itu bukan jawaban yang ingin dia dengar. Nurlaila menjerit.

“Lari! Lari atau kau mati!” Mbah Wursita masih dengan suara makhluk lain berteriak. Telunjuknya mengacung lurus ke arah Nurlaila.

Nurlaila semakin histeris, dengan sempoyongan dia berusaha berdiri, kemudian lari secepatnya dari tempat itu. Karno yang menunggu di luar, kaget melihat majikannya keluar dari dalam rumah sambil terus menjerit-jerit seperti habis melihat hantu. Karno tidak tahu kalau apa yang dilihat Nurlaila lebih menakutkan dari hantu atau jin mana pun; dia telah melihat kematiannya sendiri.

“Bu, ada apa?” Karno bertanya sambil buru-buru membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Nurlaila.

“Cepat! Kita harus pergi dari sini! Pulang, No, pulang sekarang juga!” bentak Nurlaila panik.

“Ba-baik, Bu.” Karno tergesa-gesa masuk ke mobil, ke balik kemudi.

Mobil pun melaju kencang. Hujan turun seakan-akan mengejar mereka. Kilat dan guntur bergemuruh sekali lagi. Karno tidak menurunkan kecepatan mobil sampai mereka berada di jalan raya beraspal yang lengang.

“No, kamu ngapain? Kok, jadi malah melambat?” tegur Nurlaila galak.

“Hujan deras, Bu, agak terbatas jarak pandang saya. Pelan-pelan saja, ya?” Karno memberi alasan.

“Bodoh, kamu! Tancap gas, No! Ngebut! Aku ingin cepat sampai di rumah,” perintah Nurlaila.

Dari jendela kaca mobil, Nulaila memandang sekelilingnya dengan liar. Dia menangkap sekelebatan bayangan hitam mengejar mereka, ada banyak sosok-sosok tak jelas yang melesat dari arah belakang mobil, beberapa di antara penampakan itu mendahului laju kendaraan. Nurlalila bisa merasakan hawa dingin aneh yang berbeda dari embusan pendingin mobil saat bayangan-bayangan hitam itu lewat di sisi kaca jendela mobil. Padahal jendelanya tertutup rapat dan situasi di luar gelap, tetapi dia yakin apa yang dilihat mata batinnya itu bukanlah sekadar ilusi.

Nurlaila menjerit-jerit.

“Bu, ada apa? Ada apa?” Karno bertanya panik.

Karno mengintip dari kaca spion dalam mobil, melihat apakah majikan perempuannya itu baik-baik saja Tetapi Nurlaila terlihat sebaliknya, dia menjerit ketakutan dan badannya kejang-kejang.

“Astagfirullah! Ibu kenapa?” Karno berinisiatif untuk meminggirkan kendaran dan berhenti.

“Jalan, No! Siapa bilang kamu boleh berhenti?” Nurlaila membentak Karno sementara tubuhnya masih mengejang kaku dan matanya melotot mengerikan. “Cepat, No! Mereka datang semakin banyak.”

“Siapa yang datang, Bu?” Karno celingukan, tetapi tidak melihat apa-apa. Jalan raya yang dilaluinya itu sepi, bahkan tak terlihat satu kendaraan pun. Hanya rinai hujan yang semakin deras yang tampak oleh Karno.

“Mereka datang hendak membunuhku, No. Tolong selamatkan aku!” Nurlaila tiba-tiba menarik kerah baju Karno dari belakang sehingga Karno nyaris tercekik.

“Ba-baik, Bu!” Karno berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nurlaila, kemudian tancap gas seperti perintah majikannya itu.

Mobil melaju dengan kecepatan penuh, menuruni jalanan berkelok-kelok. Nulaila yang duduk di bangku belakang meracau tidak jelas membuat Karno semakin panik.

“Mereka sudah dekat, No, sudah dekat!”

“Siapa?”

Karno melirik ke belakang sesaat, tetapi waktu yang hanya beberapa detik itu lebih dari cukup untuk membuatnya hilang kendali atas mobil yang dikendarainya sehingga menabrak pagar pembatas jalanan, lalu berguling masuk ke dalam jurang.

*

Pagi-pagi benar, Hendi menerima panggilan telepon. Dia cepat-cepat mengangkatnya. Perasaannya sudah tidak enak sejak semalam, sejak dia mengetahui jika ibunya diam-diam pergi dari rumah dan belum juga kembali.

“Baik, terima kasih atas infonya, saya segera ke sana sekarang,” ujar Hendi melalui ponsel setelah dia mendengar berita kecelakaan Nurlaila dari rumah sakit. 

Belum pernah dalam hidupnya, Hendi mengendarai motor secepat saat itu. Dia sampai nekad menerobos beberapa lampu merah hanya supaya bisa segera sampai ke rumah sakit. Dan begitu dia tiba, dia berlari menuju unit gawat darurat, berbicara sebentar kepada petugas di sana, mengonfirmasi identitas dan maksud tujuannya.

Tak lama kemudian, seorang dokter datang menghampirinya.

“Anda keluarga Ibu Nurlaila?” tanya dokter itu.

“Ya, saya anaknya.”

“Silakan lewat sini, ikuti saya, ada jenazah yang harus Anda identifikasikan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status