Hendi mengikuti dokter masuk ke salah satu bilik yang letaknya paling ujung di UGD. Di sana hanya ada satu bed berisi jenazah dengan kain kafan menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.
“Sebelumnya saya mau tanya, apa Anda punya penyakit jantung?”
Ditanya seperti itu, Hendi langsung paham apa artinya, sesuatu yang buruk pasti sedang menantinya. “Enggak, Dok,” jawabnya.
Dokter itu mengangguk, lalu membuka kain kafan. Hendi terkesiap. Dia hanya sanggup melihat sekilas sebelum membalikkan tubuhnya. Sang dokter cepat-cepat menutup kembali jenazah itu. Sementara Hendi bergegas keluar dari ruangan dengan wajah pucat. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Apa itu tadi? Manusia atau bukan?” pikir Hendi sambil menahan rasa mual di perut.
Jenazah itu nyaris sudah tidak punya lagi dengan apa yang bisa disebut sebagai wajah, atau bagian-bagian darinya. Tidak ada lagi hidung, mata, mulut, yang ada hanya gumpalan daging, seakan-akan malaikat maut sendiri yang telah mencerabut wajahnya semudah melepaskan topeng.
Hendi syok, tidak mengerti bagaimana bisa kematian begitu melekat erat bagai ter di dalam keluarganya akhir-akhir itu. Dia masih belum bisa mengatasi kematian Suroso yang mengenaskan, tetapi sudah dihadapkan pada kematian yang lain lagi. Dan, semuanya berakhir dengan cara yang sangat mengerikan.
“Bagaimana? Wajahnya memang sudah rusak parah, tapi mungkin masih ada ciri lain yang bisa Anda kenali?” Sang Dokter bertanya.
“Saya enggak yakin, Dok, tapi besar kemungkinan kalau dia adalah Karno karena dialah sopir yang pergi bersama Mama.” Hendi menatap dokter kemudian bertanya dengan panik, “Lalu, ada di mana Mama? Eh, maksud saya, Ibu saya, namanya Nurlaila.”
“Ibu Nurlaila luka ringan, semua tanda vital dan hasil lab bagus, tapi saat ini pasien masih tak sadarkan diri.”
Dokter itu membawa Hendi ke bilik perawatan yang lain. Di sana Nurlaila terbaring dengan mata terpejam, napasnya teratur, tak ubahnya seperti sedang tidur saja. Hendi mendekati Nurlaila, sambil tak henti-hentinya bersyukur dalam hati karena ibunya masih hidup.
“Mama,” panggil Hendi lembut.
Tidak ada jawaban.
“Kami masih belum tahu apa yang menyebabkan pasien tidak kunjung sadar. Kita hanya bisa menunggu,” sahut dokter itu.
Nurlaila tetap tidak terbangun keesokan harinya, lalu esoknya lagi, dan terus begitu. Tidak ada yang tahu kapan Nurlaila akan membuka matanya. Dokter pun sudah angkat tangan, yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga agar jantungnya tetap berdetak.
Di hari ketujuh sejak Nurlaila mengalami kecelakaan, sesuatu terjadi. Pada malam hari, saat Hendi tengah terlelap tidur di kamarnya sendiri, selimut yang dikenakannya tiba-tiba terlempar begitu saja ke lantai. Kemudian dari kolong tempat tidur, sepotong tangan merangkak keluar, merayap naik ke atas ranjang Hendi, ke atas tubuhnya.
Hendi masih tertidur, belum menyadari ada sepotong tangan yang sedang menggerayangi tubuhnya. Potongan tangan itu terus bergerak sampai mencapai leher Hendi, dan dengan cepat mencekiknya.
Seketika, Hendi terbangun, matanya melotot begitu tahu apa yang mencengkeram lehernya dengan kuat. Dia ingin teriak, tetapi jangankan berteriak, sekadar bernapas saja dia tidak mampu. Wajah Hendi mulai berubah warna. Dengan kedua tangan dia berusaha menarik lepas potongan tangan yang mencekiknya itu. Tetapi tenaganya seakan-akan tidak berarti apa-apa melawan satu potongan tangan yang telah terlanjur menancapkan kuku-kuku hitamnya ke kulit leher Hendi.
Tepat di detik-detik Hendi merasakan kematian, potongan tangan itu tiba-tiba lenyap, berubah jadi gumpalan asap hitam begitu saja. Hendi batuk-batuk, pelan-pelan membiasakan tenggorokannya untuk mencerna oksigen, dia menyentuh lehernya, merabai perihnya luka bekas cakaran.
“Kamu baik-baik saja, Cah Bagus?” Sebuah suara sejernih denting lonceng tiba-tiba saja menyusup ke dalam telinga Hendi.
“Siapa itu?” Hendi bertanya bingung dan ketakutan.
Ada suara, tak ada rupa.
“Kamu masih tidak bisa melihatku?” tanya suara itu lagi diikuti oleh tawa cekikikan. “Dasar lamban! Dulu Suroso langsung bisa melihatku.”
“Kamu kenal dengan Papa?” Hendi memandang sekelilingnya, berusaha menemukan wujud dari suara yang didengarnya.
“Suroso adalah pelayanku,” jawab suara itu tenang, “tapi karena orang tua itu sudah mati, ganti kamu yang harus mau melayaniku.”
“Tidak!” Hendi berteriak.
“Kamu tidak bisa menolak, Cah Bagus!” Suara itu seolah-olah berbisik sangat dekat di telinga Hendi.
“Tunjukkan rupamu, sebutkan namamu!” Hendi berseru sambil melempari udara di hadapannya dengan bantal, satu-satunya benda yang yang di dekatnya saat itu.
“Kalau kamu menanyakan nama, aku punya banyak nama. Sebagian dari mereka memanggilku Kanjeng Ratu. Kamu kuizinkan memanggilku dengan sebutan itu.”
“Kamu tahu kalau Papa meninggal, apa kamu yang membunuh Papa?” Hendi bertanya meski masih tidak mampu melihat sosok yang sedang diajaknya bicara.
Tawa Kanjeng Ratu seketika menggema, memekakan telinga Hendi, lalu dengan suara lantang berkata, “Untuk apa aku membunuh pelayan setiaku? Tak ada untungnya untukku!”
“Lalu bagaimana mungkin Papa tewas? Aku enggak percaya kalau Dahlia bisa membunuh Papa dengan cara seperti itu!”
“Berisik!” Teriakan Kanjeng Ratu mampu menggetarkan kisi-kisi jendela kamar.
Pada saat itulah Hendi merasa melihat sosok seorang perempuan, mulanya samar-samar, melayang di hadapannya, lama kelamaan semakin tampak nyata. Perempuan itu memakai kain bermotif lurik berwarna merah yang dililitkan sampai ke dada. Rambutnya hitam panjang terurai dengan mahkota kecil di atasnya. Wajahnya cantik.
“Nah, nah, kamu bisa melihatku sekarang?” Kanjeng Ratu mendekatkan wajahnya pada Hendi, sangat dekat sampai-sampai Hendi bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari sosok perempuan jadi-jadian itu dan membuatnya membeku. “Untuk ukuran pelayan, kamu sangat cerewet, Cah Bagus! Kalau kamu terus mengoceh, atau bertanya ini itu, aku akan memotong lidahmu.”
Spontan Hendi menutup mulutnya, sementara matanya memelotot ngeri.
“Berikan sedikit darahmu untukku.” Kanjeng Ratu berkata sambil meraih sebilah belati yang tiba-tiba muncul begitu saja.
“U-untuk apa?” Hendi memberanikan diri bertanya.
“Kita akan membuat perjanjian baru, bahwa mulai saat ini kamulah pelayan baruku menggantikan Suroso.” Kanjeng Ratu menatap Hendi dalam-dalam dengan matanya yang berwarna hijau.
Hendi menggeleng. “Apa yang akan terjadi kalau aku enggak mau?”
Kanjeng Ratu menghela napas panjang, seolah-olah pertanyaan Hendi membuatnya bosan. “Kamu ingat tangan yang tadi mencekikmu? Lain kali dia datang lagi, aku tidak akan membantumu mengenyahkannya dan akan kubiarkan dia memotong lehermu.”
“Tapi kenapa? Kenapa harus aku?” Hendi nyaris gila.
Kanjeng Ratu memutar kedua bola matanya kesal. “Beginilah anak muda generasi sekarang. Bisanya hanya bertanya dan terus bertanya.”
Sosok Kanjeng Ratu tiba-tiba berubah menjadi cahaya merah yang melesat ke atas tubuh Hendi. Sebelum Hendi sempat menyadari apa pun, Kanjeng Ratu sudah menindihnya sambil menodongkan belati di bawah dagunya.
“Di mana aku bisa menorehkan capku, ya?” Kanjeng Ratu mengamati wajah Hendi yang pucat ketakutan sambil memainkan belati di tangannya. “Sayang sekali kalau wajah setampan ini terpaksa aku rusak.”
“Jangan!” Hendi menggeliat, berusaha keras membebaskan diri.
Namun, di balik sosok Kanjeng Ratu yang lemah gemulai, tersimpan kekuatan bagaikan gunung karang. Hendi tidak berkutik di bawah himpitan Kanjeng Ratu.
Kanjeng Ratu tersenyum keji. “Menyerahlah pada takdirmu, Cah Bagus!”
Dengan gerakan yang tidak bisa diikuti mata manusia karena saking cepatnya, belati Kanjeng Ratu terayun ke arah Hendi, kemudian ….Slash!Darah memercik pada dinding dan kasur.Hendi melongo. Sedetik berlalu, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. Pipinya perih. Dia merabanya, kemudian terkejut begitu melihat darah di tangannya.“Apa yang kau lakukan!” teriak Hendi murka.Rasa sakit telah mengubah ketakutan Hendi menjadi luapan amarah. Dia balik melawan, menyerang Kanjeng Ratu berbekal tinju kosong. Tetapi lawannya bukan manusia, Kanjeng Ratu bahkan tidak perlu bergerak untuk menghindar.“Aku suka semangatmu,” ujar Kanjeng Ratu dengan nada mengejek, “tapi perjanjian sudah dibuat, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain menuruti perintahku.”“Kau penipu!” Hendi meraung sambil memegangi pipinya yang berdarah-darah.“Suroso telah menumbalkan kehormatan seluruh keluarganya demi harta. Kamu adalah keturunannya langsung, jadi kamulah yang mewarisi perjanjian kita.”“Tidak!” Hend
Hendi tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kanjeng Ratu. Ke mana saja dia berpaling, selalu ada sosoknya, ditambah lagi dengan penampakan-penampakan mengerikan yang kerap dijumpainya di setiap sudut jalan.Kakek tua dengan lubang di perutnya yang sebelumnya selalu mengikuti Hendi, memang segera menyingkir begitu Kanjeng Ratu muncul. Tetapi sosoknya tidak pergi, masih berada dalam jarak pandang Hendi. Tidak hanya si Kakek, Hendi juga melihat sesosok makhluk kerdil dengan puluhan mata di wajahnya memandangnya dari balik semak-semak, juga kuntilanak di pohon asem yang tak jauh dari kantin, ikut menampakkan diri. Dengan santai kuntilanak itu duduk di salah satu dahan sambil bergoyang-goyang, membuat rontok daun-daun kering.“Mereka enggak nyata, mereka enggak nyata,” gumam Hendi berkali-kali dalam hatinya saat dia melangkah menuju parkiran kampus.Tadinya dia bermaksud untuk mengejar Tiara dan menawarinya pulang bersama, tetapi urung dilakukanya. Akhirnya, semuanya seperti yang s
Bab 9. TersesatSementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.“No, Karno, di mana kamu?”Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat y
“Hei, perempuan bermata satu!”Mendadak Nurlaila mendengar seseorang bersuara parau memanggilnya dari dalam kepalanya. Dia memiringkan kepalanya, menekan-nekan telinganya, mengira si pemilik suara bisa keluar dari dalam lubang telinganya.“Kamu perempuan konyol, aku ada di sini, sebelah sini, di bawah dekat kakimu,” sahut suara itu lagi.Nurlaila melihat ke bawah dan menemukan seekor ular pendek, gemuk, dengan mata bagai sepasang bintik hitam kecil di kepalanya. Nurlaila berjongkok dan bertanya, “Apa kamu ngomong sama aku?”Ular itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, mendesis-desis. Dia berkomunikasi dengan Nurlaila melalui pikiran. “Memang, siapa lagi, heh?” tanyanya balik dengan ketus.“Apa kamu Gendeng?” Entah bagaimana, Nurlaila merasa langsung dapat mengenali sosok hewan itu.“Yang sopan kalau bicara! Jangan langsung memanggilku dengan sebutan nama. Panggil aku Ki Gendeng!” Ular itu berteriak pongah di dalam kepala Nurlaila.“Iya, iya, maafkan aku, Ki Gendeng.”Rasanya sulit ba
Kata-kata Suroso sama sekali tidak dipahami Nurlaila. “Siapa Maya? Cakar hitam apa?” tanyanya berulang-ulang.Bukannya menjawab pertanyaan Nurlaila, Suroso malah tertawa-tawa histeris. Tepat seperti apa yang dibilang Ki Gendeng sebelumnya, Suroso sudah benar-benar kehilangan akalnya.“Pah, ngomong! Jelaskan semuanya!”“Sudah! Percuma kamu mengajak bicara wong edan!” Ki Gendeng mendesis dalam pikiran Nurlaila.Tak mengindahkan Nurlaila, Suroso kembali pada pekerjaannya, menggarap ladang yang ditumbuhi tanaman-tanaman aneh.“Setidaknya suamimu itu beruntung punya keahlian, tidak harus dipaksa jadi pijakan, atau tukang angkat batu.” Ki Gendeng mengomentari.“Aku harus cari tahu, siapa itu perempuan bernama Maya? Apa dia yang sudah bikin celaka suamiku?”“Halah! Paling-paling, itu nama perempuan yang jadi salah satu korban nafsu bejad suamimu,” ujar Ki Gendeng berpendapat.Mata satu Nurlaila membesar, dia mendekatkan lengannya--di mana sosok ular Ki Gendeng melingkar--ke wajahnya, lalu de
Baru sekali itu Hendi naik ke atap gedung rumah sakit berlantai sembilan, tempat ibunya dirawat. Dia menyebrangi pagar pembatas, dan berdiri di tepian atap. Hari sudah gelap, lampu-lampu penerang dinyalakan. Dari tempatnya berdiri Hendi melihat masih ada saja orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana. Namun, tidak ada satu pun yang memerhatikan keberadaan Hendi yang tengah berdiri di antara hidup dan mati.“Ayo, lompat, lompat sekarang!”“Tunggu apa lagi?”“Dunia ini brengsek, tinggalkan saja!”Berbagai macam ruh gentayangan mengerubungi Hendi. Seorang wanita dengan kepala hancur, seorang nelayan dengan kulit kelapa terkelupas, seorang pelajar dengan leher hampir putus, dan masih banyak lagi. Semuanya berbisik-bisik, menyeringai, atau hanya terdiam sambil terus memeloti Hendi.“Menjauhlah, pergi sana! Jangan dekati aku, aku capek!” Hendi menggumam.Dalam hatinya dia tidak mau mati. Apalagi dengan cara seperti itu, mati bunuh diri, membiarkan tubuhnya meluncur ke bawah, mematahkan
Hendi terperenyak. Dia sudah kehilangan ayahnya, jika kali itu ganti ibunya yang harus pergi, Hendi merasa dunianya hancur sudah. Karmila yang ada di sisinya menepuk-nepuk bahu Hendi sebagai tanda simpati.Selanjutnya waktu berjalan begitu lambat bagi Hendi. Tangannya berkeringat dingin, cemas menunggu Nurlaila keluar dari ruang operasi. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan terjadinya musibah yang berturut-turut dalam keluarganya. Kapan semuanya itu bermula? Kepala Hendi berpikir keras.Akhirnya pintu ruang operasi dibuka. Beberapa perawat mendorong sebuah brankar keluar.“Itu Mama!” Hendi mendesah lega melihat Nurlaila berbaring di sana dengan satu mata dibalut perban.Seorang dokter mendekat. “Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan mata pasien. Sebelah bola matanya rusak parah seperti habis ditusuk benda tajam, jadi terpaksa kami angkat.”“Siapa yang sudah melakukan itu pada Mama? Belum ada satu jam saya pergi, Mama masih baik-baik saja.”Dokter itu menggeleng sedih. “Seti
Hendi sudah menemukan apa yang dia cari. Selanjutnya hanya tinggal menemui Dahlia, dan mengorek semua keterangan langsung dari mulut wanita itu. Dia pun beranjak hendak keluar kamar. Namun, saat tangannya memutar gagang pintu, pintunya tidak mau terbuka, padahal Hendi tahu kalau Bik Yanti sudah merusak kuncinya.“Kamu mau ke mana?” Suara dingin Kanjeng Ratu merayapi tengkuknya.Mengertilah Hendi kalau pintunya terkunci karena ulah Kanjeng Ratu. “Apa yang kau mau?” Hendi bertanya getir.Kanjeng Ratu ada di hadapannya, di atas ranjang, memakai kain jarik yang cuma selembar, yang bahkan tidak mampu menutupi seluruh sosoknya. Kaki jenjangnya yang putih mulus tersingkap sampai paha, belahan buah dadanya menyembul menggoda, tatapan matanya membius, dan bibirnya yang ranum merekah mengundang hasrat.Dada Hendi berdesir. Dia masih ingat apa yang pernah dilakukan oleh Kanjeng Ratu kepadanya tempo hari. Dia tidak mau lagi. “Itu bukan sosok aslinya!” Hendi membatin, “Entah makhluk apa dia sebena