Share

6. Mayat

Hendi mengikuti dokter masuk ke salah satu bilik yang letaknya paling ujung di UGD. Di sana hanya ada satu bed berisi jenazah dengan kain kafan menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

“Sebelumnya saya mau tanya, apa Anda punya penyakit jantung?”

Ditanya seperti itu, Hendi langsung paham apa artinya, sesuatu yang buruk pasti sedang menantinya. “Enggak, Dok,” jawabnya.

Dokter itu mengangguk, lalu membuka kain kafan. Hendi terkesiap. Dia hanya sanggup melihat sekilas sebelum membalikkan tubuhnya. Sang dokter cepat-cepat menutup kembali jenazah itu. Sementara Hendi bergegas keluar dari ruangan dengan wajah pucat. Dia tidak yakin dengan apa yang baru saja dilihatnya.

“Apa itu tadi? Manusia atau bukan?” pikir Hendi sambil menahan rasa mual di perut.

Jenazah itu nyaris sudah tidak punya lagi dengan apa yang bisa disebut sebagai wajah, atau bagian-bagian darinya. Tidak ada lagi hidung, mata, mulut, yang ada hanya gumpalan daging, seakan-akan malaikat maut sendiri yang telah mencerabut wajahnya semudah melepaskan topeng.

Hendi syok, tidak mengerti bagaimana bisa kematian begitu melekat erat bagai ter di dalam keluarganya akhir-akhir itu. Dia masih belum bisa mengatasi kematian Suroso yang mengenaskan, tetapi sudah dihadapkan pada kematian yang lain lagi. Dan, semuanya berakhir dengan cara yang sangat mengerikan.

“Bagaimana? Wajahnya memang sudah rusak parah, tapi mungkin masih ada ciri lain yang bisa Anda kenali?” Sang Dokter bertanya.

“Saya enggak yakin, Dok, tapi besar kemungkinan kalau dia adalah Karno karena dialah sopir yang pergi bersama Mama.” Hendi menatap dokter kemudian bertanya dengan panik, “Lalu, ada di mana Mama? Eh, maksud saya, Ibu saya, namanya Nurlaila.”

“Ibu Nurlaila luka ringan, semua tanda vital dan hasil lab bagus, tapi saat ini pasien masih tak sadarkan diri.”

Dokter itu membawa Hendi ke bilik perawatan yang lain. Di sana Nurlaila terbaring dengan mata terpejam, napasnya teratur, tak ubahnya seperti sedang tidur saja. Hendi mendekati Nurlaila, sambil tak henti-hentinya bersyukur dalam hati karena ibunya masih hidup.

“Mama,” panggil Hendi lembut.

Tidak ada jawaban.

“Kami masih belum tahu apa yang menyebabkan pasien tidak kunjung sadar. Kita hanya bisa menunggu,” sahut dokter itu.

Nurlaila tetap tidak terbangun keesokan harinya, lalu esoknya lagi, dan terus begitu. Tidak ada yang tahu kapan Nurlaila akan membuka matanya. Dokter pun sudah angkat tangan, yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga agar jantungnya tetap berdetak.

Di hari ketujuh sejak Nurlaila mengalami kecelakaan, sesuatu terjadi. Pada malam hari, saat Hendi tengah terlelap tidur di kamarnya sendiri, selimut yang dikenakannya tiba-tiba terlempar begitu saja ke lantai. Kemudian dari kolong tempat tidur, sepotong tangan merangkak keluar, merayap naik ke atas ranjang Hendi, ke atas tubuhnya.

Hendi masih tertidur, belum menyadari ada sepotong tangan yang sedang menggerayangi tubuhnya. Potongan tangan itu terus bergerak sampai mencapai leher Hendi, dan dengan cepat mencekiknya.

Seketika, Hendi terbangun, matanya melotot begitu tahu apa yang mencengkeram lehernya dengan kuat. Dia ingin teriak, tetapi jangankan berteriak, sekadar bernapas saja dia tidak mampu. Wajah Hendi mulai berubah warna. Dengan kedua tangan dia berusaha menarik lepas potongan tangan yang mencekiknya itu. Tetapi tenaganya seakan-akan tidak berarti apa-apa melawan satu potongan tangan yang telah terlanjur menancapkan kuku-kuku hitamnya ke kulit leher Hendi.

Tepat di detik-detik Hendi merasakan kematian, potongan tangan itu tiba-tiba lenyap, berubah jadi gumpalan asap hitam begitu saja. Hendi batuk-batuk, pelan-pelan membiasakan tenggorokannya untuk mencerna oksigen, dia menyentuh lehernya, merabai perihnya luka bekas cakaran.

“Kamu baik-baik saja, Cah Bagus?” Sebuah suara sejernih denting lonceng tiba-tiba saja menyusup ke dalam telinga Hendi.

“Siapa itu?” Hendi bertanya bingung dan ketakutan.

Ada suara, tak ada rupa.

“Kamu masih tidak bisa melihatku?” tanya suara itu lagi diikuti oleh tawa cekikikan. “Dasar lamban! Dulu Suroso langsung bisa melihatku.”

“Kamu kenal dengan Papa?” Hendi memandang sekelilingnya, berusaha menemukan wujud dari suara yang didengarnya.

“Suroso adalah pelayanku,” jawab suara itu tenang, “tapi karena orang tua itu sudah mati, ganti kamu yang harus mau melayaniku.”

“Tidak!” Hendi berteriak.

“Kamu tidak bisa menolak, Cah Bagus!” Suara itu seolah-olah berbisik sangat dekat di telinga Hendi.

“Tunjukkan rupamu, sebutkan namamu!” Hendi berseru sambil melempari udara di hadapannya dengan bantal, satu-satunya benda yang yang di dekatnya saat itu.

“Kalau kamu menanyakan nama, aku punya banyak nama. Sebagian dari mereka memanggilku Kanjeng Ratu. Kamu kuizinkan memanggilku dengan sebutan itu.”

“Kamu tahu kalau Papa meninggal, apa kamu yang membunuh Papa?” Hendi bertanya meski masih tidak mampu melihat sosok yang sedang diajaknya bicara.

Tawa Kanjeng Ratu seketika menggema, memekakan telinga Hendi, lalu dengan suara lantang berkata, “Untuk apa aku membunuh pelayan setiaku? Tak ada untungnya untukku!”

“Lalu bagaimana mungkin Papa tewas? Aku enggak percaya kalau Dahlia bisa membunuh Papa dengan cara seperti itu!”

“Berisik!” Teriakan Kanjeng Ratu mampu menggetarkan kisi-kisi jendela kamar.

Pada saat itulah Hendi merasa melihat sosok seorang perempuan, mulanya samar-samar, melayang di hadapannya, lama kelamaan semakin tampak nyata. Perempuan itu memakai kain bermotif lurik berwarna merah yang dililitkan sampai ke dada. Rambutnya hitam panjang terurai dengan mahkota kecil di atasnya. Wajahnya cantik.

“Nah, nah, kamu bisa melihatku sekarang?” Kanjeng Ratu mendekatkan wajahnya pada Hendi, sangat dekat sampai-sampai Hendi bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari sosok perempuan jadi-jadian itu dan membuatnya membeku. “Untuk ukuran pelayan, kamu sangat cerewet, Cah Bagus! Kalau kamu terus mengoceh, atau bertanya ini itu, aku akan memotong lidahmu.”

Spontan Hendi menutup mulutnya, sementara matanya memelotot ngeri.

“Berikan sedikit darahmu untukku.” Kanjeng Ratu berkata sambil meraih sebilah belati yang tiba-tiba muncul begitu saja.

“U-untuk apa?” Hendi memberanikan diri bertanya.

“Kita akan membuat perjanjian baru, bahwa mulai saat ini kamulah pelayan baruku menggantikan Suroso.” Kanjeng Ratu menatap Hendi dalam-dalam dengan matanya yang berwarna hijau.

Hendi menggeleng. “Apa yang akan terjadi kalau aku enggak mau?”

Kanjeng Ratu menghela napas panjang, seolah-olah pertanyaan Hendi membuatnya bosan. “Kamu ingat tangan yang tadi mencekikmu? Lain kali dia datang lagi, aku tidak akan membantumu mengenyahkannya dan akan kubiarkan dia memotong lehermu.”

“Tapi kenapa? Kenapa harus aku?” Hendi nyaris gila.

Kanjeng Ratu memutar kedua bola matanya kesal. “Beginilah anak muda generasi sekarang. Bisanya hanya bertanya dan terus bertanya.”

Sosok Kanjeng Ratu tiba-tiba berubah menjadi cahaya merah yang melesat ke atas tubuh Hendi. Sebelum Hendi sempat menyadari apa pun, Kanjeng Ratu sudah menindihnya sambil menodongkan belati di bawah dagunya.

“Di mana aku bisa menorehkan capku, ya?” Kanjeng Ratu mengamati wajah Hendi yang pucat ketakutan sambil memainkan belati di tangannya. “Sayang sekali kalau wajah setampan ini terpaksa aku rusak.”

“Jangan!” Hendi menggeliat, berusaha keras membebaskan diri.

Namun, di balik sosok Kanjeng Ratu yang lemah gemulai, tersimpan kekuatan bagaikan gunung karang. Hendi tidak berkutik di bawah himpitan Kanjeng Ratu.

Kanjeng Ratu tersenyum keji. “Menyerahlah pada takdirmu, Cah Bagus!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status