Share

7. Perjanjian

Dengan gerakan yang tidak bisa diikuti mata manusia karena saking cepatnya, belati Kanjeng Ratu terayun ke arah Hendi, kemudian ….

Slash!

Darah memercik pada dinding dan kasur.

Hendi melongo. Sedetik berlalu, barulah dia menyadari apa yang telah terjadi. Pipinya perih. Dia merabanya, kemudian terkejut begitu melihat darah di tangannya.

“Apa yang kau lakukan!” teriak Hendi murka.

Rasa sakit telah mengubah ketakutan Hendi menjadi luapan amarah. Dia balik melawan, menyerang Kanjeng Ratu berbekal tinju kosong. Tetapi lawannya bukan manusia, Kanjeng Ratu bahkan tidak perlu bergerak untuk menghindar.

“Aku suka semangatmu,” ujar Kanjeng Ratu dengan nada mengejek, “tapi perjanjian sudah dibuat, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain menuruti perintahku.”

“Kau penipu!” Hendi meraung sambil memegangi pipinya yang berdarah-darah.

“Suroso telah menumbalkan kehormatan seluruh keluarganya demi harta. Kamu adalah keturunannya langsung, jadi kamulah yang mewarisi perjanjian kita.”

“Tidak!” Hendi menjerit.

Kanjeng Ratu pergi dengan cara yang sama seperti kedatangannya, tanpa jejak.

*

Hendi berdiri di depan cermin, mengamati bayangan wajahnya sendiri. Dengan mudah dia akan mengira kalau apa yang terjadi kepadanya hanyalah mimpi, jika saja bekas luka itu tidak ada. Luka sayatan memanjang yang seakan-akan membagi pipi kanannya menjadi dua bagian.

“Ini nyata!” desis Hendi. “Apa yang harus aku lakukan?”

Berkali-kali Hendi bercermin. Dia menemukan kejanggalan lain, luka di pipinya mengering dengan cepat, luka sayatan yang tadinya terbuka, perlahan-lahan menutup sampai tinggal sebentuk garis tipis merah saja.

“Gila!” Hendi berseru memaki.

“Apanya yang gila?”

Suara yang sama, yang sudah Hendi kenali, suara Kanjeng Ratu,mendadak terdengar dari dalam cermin. Hendi mencondongkan tubuhnya ke cermin, mengamati lebih dekat, lebih seksama, tetapi tidak menemukan bayangan lain selain dirinya sendiri.

“Aku ada di sini, Cah Bagus.” Suara Kanjeng Ratu kembali menggodanya, kali itu datang dari arah belakang Hendi.

Terkejut, Hendi membalikkan badan, dan di sanalah sosok Kanjeng Ratu berada, menatapnya tajam dengan senyum kejam tersungging di wajahnya. Hendi terperangah, lalu kembali melirik cermin.

Masih tidak ada! Cermin tidak menangkap bayangan Kanjeng Ratu yang berdiri tepat di depannya.

“Jangan khawatir, kamu masih ganteng, kok.” Kanjeng Ratu cekikikan.

“Apa lagi yang kau mau?” Hendi bergeser menjauhi sosok Kanjeng Ratu. “Pergi! Jangan ikuti aku!”

“Kamu sudah aku tandai. Tidak ada jalan lain selain menuruti kemauanku, seperti yang sudah dilakukan bapakmu, Suroso.”

“Kemauan yang mana?” Otak Hendi berputar cepat, mengingat-ingat mendiang Suroso dan apa saja ketidakwajaran yang telah dilakukannya selama masih hidup. “Apa jangan-jangan, kebiasaan Papa main perempuan itu karenamu juga?”

“Kamu pintar!” Kanjeng Ratu berkomentar.

Hendi menggeleng cepat. “Aku enggak akan seperti Papa, meniduri banyak perempuan hanya untuk memuaskanmu saja.”

“Loh, siapa yang bilang kamu harus meniduri banyak perempuan?” Kanjeng Ratu melangkah mendekati Hendi sambil terus menatapnya tajam.

Hendi berjalan mundur sampai punggungnya membentur tembok dan tidak bisa lagi ke mana-mana. Napasnya seakan-akan berhenti saat Kanjeng Ratu semakin merapat kepadanya dan menyentuh garis luka Hendi dengan ujung jarinya yang dingin.

“Kamu cukup melakukannya denganku saja.” Kanjeng Ratu berbisik.

“Tidak!”

Penolakan Hendi tidak berarti apa pun bagi Kanjeng Ratu. Dengan satu tiupan, Hendi menyerah terkena sihirnya. Tubuh Hendi tidak lagi berada dalam kendalinya sendiri, melainkan pasrah menuruti kehendak Kanjeng Ratu.

“Ada apa ini? Kenapa aku enggak bisa gerakin tangan dan kakiku?” Hendi berkata panik di dalam benaknya.

Matanya masih bisa melihat, tubuhnya masih bisa merasakan, tetapi Hendi merasa terperangkap dalam fisiknya sendiri. Dia seperti boneka tali yang sedang dimainkan oleh Kanjeng Ratu.

Kanjeng Ratu menyentuhnya dengan cara yang tidak pernah Hendi rasakan sebelumnya. Jantungnya berdebar keras sampai hampir mau lompat. Kepalanya pening. Dia berada di ambang batas antara kenikmatan dan siksaan. Matanya terpejam, Hendi melenguh.

Ketika Hendi membuka mata, dia sudah sendirian dalam posisi berbaring di lantai kamar mandi, dan tanpa memakai baju selembar pun. Keringat membasahi tubuhnya, dadanya turun naik, napasnya terengah-engah.

“Sialan!” maki Hendi sambil menutupi wajahnya dengan tangan dan mulai terisak tanpa suara.

Sejak hari itu, Hendi bisa melihat dan mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ada. Dia mendengar tangis seorang bocah yang kepalanya tinggal separuh saat motornya berhenti di perempatan lampu merah. Dia juga diikuti terus-menerus oleh seorang kakek dengan lubang besar di perutnya saat pergi ke kantin di kampusnya.

“Hendi, kamu kenapa? Wajahmu pucat banget, loh!” Tiara, kekasih sekaligus teman kuliah Hendi bertanya dengan cemas.

“Enggak, enggak apa-apa.” Hendi berusaha keras mengabaikan penampakan sang kakek yang duduk diam di sebelahnya.

Hendi tahu, kalau hanya dia yang bisa melihat dan merasakan semua hal-hal gaib di sekitarnya. “Mana bisa aku bilang sama Tiara kalau ada setan ngikuti aku sejak dari ruang kuliah?” batin Hendi gelisah.

“Gimana kabar ibumu?” Tiara menduga wajah pucat Hendi disebabkan terlalu memikirkan nasib orang tuanya.

“Mama masih koma.”

“Kamu, yang kuat, ya, Sayang?” Tiara menggenggam erat tangan Hendi.

“Terima kasih untuk perhatianmu.” Hendi tersenyum.

Kehadiran Tiara di dekatnya menjadi penghiburannya. Bersama Tiara, Hendi merasa dunianya masih baik-baik saja. Namun, senyumnya langsung memudar begitu melihat sosok Kanjeng Ratu tiba-tiba hadir di balik punggung Tiara, menyeringai tanpa berkata apa-apa.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Hendi berseru galak.

“Hendi, kamu ngomong apa, sih? Aku ke sini, kan, bareng kamu.” Tiara bertanya kebingungan.

Hendi tidak menjawab pertanyaan Tiara, matanya masih mengawasi udara kosong di belakang Tiara. Gadis itu semakin heran saja, dia berbalik, matanya berkeliling, mencari-cari siapa yang diajak bicara Hendi, tetapi tak ada orang di dekatnya.

“Hendi, jawab aku, dong! kamu bikin aku takut.”

Hendi diam, raut wajahnya menunjukkan kekesalan yang jelas-jelas bukan ditujukan untuk Tiara. Pandangan matanya mengikuti gerakan Kanjeng Ratu yang sosoknya tak terlihat siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Kanjeng Ratu berjalan mengitari meja, berhenti di sisi Tiara, memain-mainkan rambut ikal Tiara tanpa disadari oleh sang pemilik rambut itu sendiri, lalu berkata dengan nada angkuh, “Kekasihmu lumayan cantik, sangat cocok untuk jadi persembahan.”

“Kau jangan dekati dia!” Hendi kembali berteriak.

Tiara menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gelisah, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

“Kubunuh kau kalau berani menyentuhnya!” ancam Hendi dengan mata melotot.

Seketika Tiara lompat dari kursinya. “Hendi, apa kamu sudah sinting?”

Hendi menyadari ada kesalahpahaman antara dirinya dengan Tiara, cepat-cepat dia minta maaf kepada Tiara. “Sungguh, bukan kamu yang aku maksud.” Hendi memegangi tangan Tiara memintanya untuk kembali duduk.

Tiara mengibaskan tangan Hendi. “Cukup! Tadinya aku kasihan kepadamu karena musibah berturut-turut yang terjadi dalam keluargamu. Tapi, sekarang aku sudah enggak mau berurusan denganmu lagi. Ternyata benar semua gosip itu, kalau kamu dan keluargamu memang ada masalah kejiwaan.”

“Tiara, itu enggak benar. Aku bisa jelaskan.” Hendi berusaha menenangkan Tiara.

“Kita putus!” kata Tiara singkat sebelum pergi.

Tawa nyaring seketika membahana dari mulut Kanjeng Ratu. “Kamu tidak akan bisa berhubungan dengan perempuan lain, kecuali denganku!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status