Share

8. Gila

Hendi tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kanjeng Ratu. Ke mana saja dia berpaling, selalu ada sosoknya, ditambah lagi dengan penampakan-penampakan mengerikan yang kerap dijumpainya di setiap sudut jalan.

Kakek tua dengan lubang di perutnya yang sebelumnya selalu mengikuti Hendi, memang segera menyingkir begitu Kanjeng Ratu muncul. Tetapi sosoknya tidak pergi, masih berada dalam jarak pandang Hendi. Tidak hanya si Kakek, Hendi juga melihat sesosok makhluk kerdil dengan puluhan mata di wajahnya memandangnya dari balik semak-semak, juga kuntilanak di pohon asem yang tak jauh dari kantin, ikut menampakkan diri. Dengan santai kuntilanak itu duduk di salah satu dahan sambil bergoyang-goyang, membuat rontok daun-daun kering.

“Mereka enggak nyata, mereka enggak nyata,” gumam Hendi berkali-kali dalam hatinya saat dia melangkah menuju parkiran kampus.

Tadinya dia bermaksud untuk mengejar Tiara dan menawarinya pulang bersama, tetapi urung dilakukanya. Akhirnya, semuanya seperti yang sudah dikatakan oleh Kanjeng Ratu, tidak mungkin ada perempuan lain yang bisa bersamanya selama Kanjeng Ratu masih menguntitnya. Hendi tidak mau ambil risiko Kanjeng Ratu menyakiti Tiara, jika dia masih memaksa untuk bersamanya.

“Tenang, Cah Bagus, mereka tidak akan berani melakukan apa pun terhadapmu selama aku ada,” ujar Kanjeng Ratu yang berjalan melayang di sisi Hendi.

“Apa mereka semua pelayanmu juga?” Hendi bertanya sinis.

Kanjeng Ratu mengibaskan tangan. “Halah, siapa yang mau menjadikan ruh-ruh penasaran bodoh itu sebagai pelayan? Merepotkan!”

Makhluk-makhluk tak kasat mata yang banyak bermunculan di sekitar Hendi sebenarnya datang untuk mengagumi sosok Kanjeng Ratu. Kanjeng Ratu adalah makhluk halus yang levelnya lebih tinggi di antara mereka semua. Sangat jarang sekali ada sosok seperti Kanjeng Ratu yang mau mengunjungi tempat itu tanpa alasan yang jelas.

Namun, semua makhluk-makhluk halus rendahan itu tahu bahwa Hendi adalah alasannya. Seorang manusia dengan tanda irisan merah memanjang di pipi.

“Lalu bagaimana dengan ibuku? Mama masih enggak sadarkan diri di rumah sakit. Apa ini bagian dari rencanamu, juga?” selidik Hendi.

“Aku tidak mau menjawab semua pertanyaanmu. Memangnya kamu siapa, heh? Jangan pernah lupakan kedudukanmu yang ada di bawah kakiku, hei, pelayan!” Kanjeng Ratu tidak benar-benar marah. Dia hanya suka sekali mengingatkan Hendi akan kekuasannya.

“Tunggu, sampai aku menemukan cara untuk memutuskan ikatan perjanjian denganmu, wahai perempuan jadi-jadian!” Hendi berteriak marah sambil menuding-nuding Kanjeng Ratu.

Tingkah Hendi segera menarik perhatian orang-orang yang ada di dekatnya. Mereka kontan memandangi Hendi dengan tatapan heran sambil berbisik-bisik, berkomentar kalau Hendi mungkin mahasiswa yang depresi.

“Sialan!” maki Hendi di bawah tatapan mereka semua. “Bagus! Sekarang bukan hanya makhluk halus yang memelototiku, tapi juga orang-orang.”

Kanjeng Ratu cekikikan. “Kamu pemarah sekali, Cah Bagus. Tapi, aku suka sifat pembakangmu itu. Menarik!”

“Cih!” Hendi membuang muka. Dia tidak lagi peduli kasak-kusuk orang lain. “Mau dianggap gila, edan, stress, biarlah! Enggak penting!” pikirnya.

“Baik, baik, aku akan memberitahumu apa yang sebenarnya terjadi kepada Nurlaila dan kenapa dia tidak bangun-bangun.” Kanjeng Ratu berkata kepada Hendi seakan-akan sedang berbicara dengan anak kecil.

Hendi berhenti berjalan dan menatap Kanjeng Ratu. Betapa pun keras usahanya mengumpulkan keberanian untuk menatap langsung di kedalaman hijau mata Kanjeng Ratu, sekelebatan hawa dingin tetap masuk ke dalam tubuhnya, membuatnya menggigil meski siang itu matahari bersinar terik.

“Nurlaila pergi ke alam ghaib mencari Suroso.” Kanjeng Ratu berkata datar.

Hendi terkesiap. “Ta-tapi, Papa sudah meninggal.”

“Raganya mati sebelum waktunya. Dan, sesuai perjanjian, ruhnya harus pergi ke alam ghaib dan meneruskan pelayanannya di sana.”

Tidak memercayai apa yang baru saja didengarnya, tubuh Hendi limbung. Susah payah, dia menguatkan diri melangkah menuju sebuah bangku yang ada di sana, lalu duduk. Wajahnya pucat.

“Sampai kapan Papa harus melayani para iblis?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Ah, kamu terlalu berlebihan, Cah Bagus!” Kanjeng Ratu menyusul Hendi duduk di sampingnya. “Mereka, termasuk aku, bukanlah iblis. Ya, meski tetap saja, jika waktunya sudah tiba, Suroso pun pasti akan mendapat giliran untuk melayani para iblis. Tapi itu di neraka, bukan di tempat dia berada saat ini.”

“Sama aja!” tukas Hendi. “Tapi, Mama? Mama belum meninggal.”

“Nah, kalau Nurlaila beda soal. Dia masih bisa kembali ke dunia ini.”

“Kalau begitu, buat Mama kembali!” seru Hendi tegas.

Mendadak Kanjeng Ratu membanting Hendi dengan keras ke tanah. Hendi berteriak kesakitan, lagi-lagi mengundang perhatian orang-orang sehingga salah satu dari mereka mendekat.

“Kamu kenapa?” Seseorang bertanya sambil mengulurkan tangan untuk membantu Hendi berdiri.

Dengan gusar Hendi menampik uluran tangan itu, lalu bangkit. Selanjutnya, dia memelotot ke arah udara kosong di belakangnya, yang sebenarnya tidak benar-benar kosong, karena Kanjeng Ratu berdiri di sana sambil melipat tangannya angkuh, tetapi tidak ada yang bisa melihatnya selain Hendi.

“Aku tidak suka diberi perintah oleh seorang pelayan,” desis Kanjeng Ratu.

“Aku lebih baik mati daripada jadi pelayanmu!” Hendi berteriak marah.

Orang yang tadi mau membantunya mengernyit heran, lalu mundur teratur. Dia kembali kepada teman-temannya yang menunggunya. Mereka sama-sama menggelengkan kepala melihat perilaku Hendi yang aneh di mata mereka.

“Kasihan, ganteng-ganteng stress,” ujar salah seorang gadis.

“Kamu kenal sama dia?”

“Iya, dia anak ekonomi. Kabarnya, memang satu keluarga stress semua. Bapaknya mati dibunuh sama istri mudanya, terus, ibunya sekarang koma di rumah sakit. Nah, dia itu sering kepergok ngomong sendiri, teriak sendiri, serem. Mestinya anak kayak dia dirawat di rumah sakit jiwa, enggak usahlah masuk kuliah.”

“Setuju, aku juga jadi gimana gitu, rasanya, enggak nyaman kalau ada dia.”

Semua percakapan itu terdengar jelas di telinga Hendi. Dia lalu beralih menatap mereka satu per satu dan memaki, “Bangsat, kalian semua!”

Setelah itu Hendi berlari ke parkiran motor, cepat-cepat menaiki motornya sendiri, lalu menderu pergi.

Hendi berhenti di rumah sakit, dan langsung mendatangi kamar perawatan Nurlaila. Matanya basah demi melihat ibunya itu masih berada dalam kondisi yang sama, koma.

“Mah, Mama dengar suaraku, kan?” Hendi bertanya lembut. “Bangun, Mah, ayo, pulang. Jangan cari-cari Papa lagi.”

Nurlaila sama sekali tidak bereaksi.

Hendi merasa putus asa, sampai-sampai tidak menyadari kalau makhluk-makhluk gaib mengerubunginya saat itu. Rumah sakit adalah tempat di mana kematian terjadi nyaris setiap hari. Tak heran jika di sana banyak sekali arwah penasaran yang tidak terima dengan kematiannya. Dan, mereka semua tertarik dengan keberadaan Hendi.

Sejak Hendi ditandai oleh Kanjeng Ratu, auranya berubah. Dari seorang pemuda yang riang dan penuh kehangatan selayaknya mentari, menjadi pemuda pemurung, temperamen, dan suram. Semua sifat itu sangat disukai oleh mereka yang tak kasat mata. Mereka senang menempeli Hendi, mengendus-endus semua energi negatif yang keluar dari dirinya, bagai mengendus santapan lezat.

“Ikut kami saja,” bisik para arwah, “tinggalkan saja dunia yang menyedihkan ini.”

Hendi mendengar mereka. Dengan pandangan kosong, dia pun berkata, “Ya, kematian adalah jalan keluar terbaik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status