Share

9. Tersesat

Bab 9. Tersesat

Sementara itu, di dimesi yang lain, Nurlaila membuka mata, merasakan udara di sekitarnya sangat berbeda, begitu tipis dan berat. Nurlaila batuk-batuk, kesulitan untuk bisa bernapas dengan baik, kepalanya pening. Awalnya dia sedikit panik dengan perubahan itu, lalu berusaha untuk menenangkan diri. Dia menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, barulah dia mengamati keadaan di sekitarnya.

“Tempat apa ini?” Dahinya mengernyit.

Terakhir kali yang dia ingat adalah mobil yang dikendarainya bersama Karno mengalami kecelakaan dan terjun bebas ke dalam jurang. Setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi.

“No, Karno, di mana kamu?”

Sejauh mata memandang, Nurlaila hanya melihat hamparan tanah tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Dia pun berjalan tanpa tujuan, mengikuti ke mana kakinya melangkah.

“Karno!” Nurlaila berteriak, tetapi hanya dijawab oleh gaung suaranya sendiri.

Sekian lama dia berjalan, Nurlaila merasa masih berada di tempat yang sama, seakan-akan selama itu dia hanya berputar-putar seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri. Putus asa, dia menjatuhkan diri kelelahan.

“Tolong!” teriaknya lagi sambil duduk tak berdaya di atas tanah.

Tiba-tiba tanah di bawahnya bergetar. Kaget, Nurlaila lekas-lekas berdiri. Dengan mata kepalanya dia menyaksikan tanah mulai retak.

“Gempa bumi?” pikirnya kalut sambil menoleh ke kanan, ke kiri, mengharapkan bantuan atau sekadar tempat berlindung.

Tidak ada apa pun atau siapa pun.

Garis retakan tanah makin lama makin memanjang. Nurlaila menjauh. Tanahnya terus retak seperti tengah mengejarnya. Nurlaila berlari. Getaran di bawah kakinya menghebat. Nurlaila jatuh.

Wajah pucat, mata membelalak, Nurlaila melihat tanah di hadapannya bergelung seakan-akan sesuatu yang teramat sangat besar mendesak dari dalam, mencari jalan keluar.

Suara keras mendadak bergemuruh, tanah merekah, debu-debu pasir berhamburan ke udara. Sesosok makhluk raksasa muncul, meliuk dari dalam rekahan tanah.

Nurlaila melongo. Matanya terkunci oleh sosok makhluk yang luar biasa besar dan luar biasa aneh. Makhluk itu memiliki kepala naga dengan sepasang tanduk emas mencuat di atasnya, tubuhnya menyerupai ular raksasa dengan sisik-sisik mengilap berwarna hitam legam.

Suara gemuruh yang memekakan telinga baru berakhir setelah naga raksasa itu berhasil meloloskan seluruh ekornya yang panjangnya mencapai seratus meter itu dari dalam tanah, dan berhenti meliuk.

Ketakutan, Nurlaila menjerit panjang.

“Diam!” Suara bentakan keluar dari kerongkongan sang Naga.

Nurlaila spontan menutup mulutnya rapat-rapat.

“Kamu sudah menganggu tidur siangku, manusia!” ujar sang Naga.

“A-ampuni saya. Saya tidak tahu apa-apa.” Nurlaila berkata terbata-bata.

Naga raksasa itu mendekat, mengamati Nurlaila dengan matanya yang berwarna merah menyala seperti kobaran api. “Kamu tidak semestinya berada di tempat ini. Kembalilah!”

“Sa-saya tersesat,” ujar Nurlaila gemetaran.

“Di sini adalah tempat bagi mereka yang terkutuk. Dosa apa yang sudah kamu lakukan sampai-sampai takdir membawamu kemari?”

Bayangan Mbah Wursita sekelebatan hadir di dalam benaknya, lalu sambil menunduk, Nurlaila berkata mengakui, “Saya dan suami saya sudah membuat perjanjian dengan makhluk ghaib.”

“Dasar manusia bodoh!” sang Naga meliuk, ekornya melingkari Nurlaila, memerangkapnya seperti sebuah tembok raksasa. “Kalau begitu adanya, maka engkau layak menjadi santapanku!”

“Jangan, Eyang Naga, jangan, ampuni saya!” seru Nurlaila cepat sambil memohon-mohon.

Sang Naga tertawa. Tanah berguncang. Nurlaila merunduk, melindungi kepalanya dengan kedua tangan.

“Ampun, Eyang, tolong saya, saya mau pulang.” Nurlaila ketakutan.

“Aku akan memberimu jalan pulang, tapi apa yang bisa engkau berikan kepadaku sebagai gantinya?”

Nurlaila kebingungan. “Apalah yang bisa saya tawarkan kepada penguasa sepertimu? Saya datang tanpa membawa apa-apa.”

Sang Naga mendengus, dari dengusannya keluar kobaran api. Nurlaila memekik kaget.

“Beri aku sebutir bola matamu.” Sang Naga berkata dengan suara dalam yang mampu menggetarkan setiap jiwa.

Nurlaila tersentak, tetapi tak berani menolak. Setidaknya dia masih bisa melihat dengan sebelah mata saja, demikian yang ada dalam pikirannya.

Sang Naga mendekat, menjulurkan lidahnya yang bercabang, menjilati wajah Nurlaila, lalu perlahan tapi pasti, lidah itu mencongkel keluar sebelah bola mata Nurlaila.

Jerit kesakitan keluar tanpa putus dari mulut Nurlaila. Proses pencongkelan itu berlangsung lama dan sangat menyakitkan. Lubang matanya panas dan perih, rasanya menusuk dan menjalar sampai ke ubun-ubun kepalanya. Seumur hidupnya, Nurlaila tidak pernah merasakan penderitaan sehebat itu.

Seabad rasanya bagi Nurlaila, sebelum akhirnya semua selesai. Bola mata kanannya sudah diangkat seluruhnya, ditelan sang Naga, meninggalkan lubang berdarah-darah di rongga matanya. Nurlaila lunglai ke tanah, dengan satu mata yang masih tersisa dia memandangi sang Naga.

“Saya mohon, Eyang, tunjukkan kepada saya jalan pulang,” pintanya lemah.

Sang Naga kembali menyemburkan api, membakar tanah dengan cepat. Api berkobar selama beberapa saat sebelum padam dan membentuk jalan setapak yang gosong kehitaman.

“Telusuri jalan itu dengan kakimu, maka engkau akan sampai di sebuah negeri di mana manusia-manusia terkutuk sepertimu berada. Carilah Gendeng, kadang dia berwujud seperti anak-anak, orang tua, perempuan, laki-laki muda, atau kadang hanya seonggok serangga. Dia yang akan memberi tahu arah mana yang harus engkau tuju untuk bisa pulang.”

Setelah berkata demikian sang Naga meliuk kembali ke dalam rekahan tanah. Goncangan hebat lagi-lagi terjadi, kemudian semuanya seperti adegan film yang diputar terbalik, rekahan tanah menutup, garis retakan menghilang. Tanah kembali tenang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Nurlaila memandang ragu ke arah jalan setapak yang lebih mirip bara api. Dia tidak punya pilihan lain selain menjejakkan kakinya ke atas sana dan meneruskan perjalanannya.

Setiap langkah yang dia ambil bagaikan seribu tahun penderitaan. Telapak kakinya mengelupas terbakar, tetapi Nurlaila tidak berhenti.

Perjalananan panjang dan menyakitkan itu berujung pada sebuah gerbang gapura. Dengan dada berdebar, Nurlaila memasuki gerbang itu. Seketika pemandangan tanah tandus tadi berubah menjadi pemandangan sebuah perkampungan yang ramai oleh hilir mudik aneka makhluk.

Berbekal satu mata dan sepasang kaki melepuh, Nurlaila terseok-seok berjalan berkeliling. Beberapa makhluk dengan penampilan mengerikan, setengah hewan, setengah manusia, menyeringai kepadanya. Tidak hanya mereka, di tempat aneh itu Nurlaila juga melihat makhluk-makhluk indah menyerupai peri-peri cantik dan tampan yang pernah dilihatnya dalam buku dongeng bergambar anak-anak, makhluk-makhluk itu melayang hilir mudik dengan anggun. Namun, yang paling membuatnya gelisah di antara semua lalu lalang para makhluk itu adalah keberadaan manusia-manusia seperti dirinya.

Dia melihat seorang lelaki muda dicambuki tak ubahnya seekor keledai oleh sesosok makhluk tinggi besar, berkepala kerbau.

“Jangan lelet, kau manusia! Cepat pindahkan batu-batu ini,” perintahnya sambil mengayunkan kembali cambuknya.

Nurlaila bergidik melihat lelaki muda itu kepayahan mengangkuti batu-batu yang besarnya dua kali ukuran tubuhnya ke atas punggung telanjangnya yang penuh dengan bilur-bilur luka cambuk. Dia kemudian berjalan dan sampai di sebuah jembatan berbentuk tidak biasa. Setelah mengamati lebih seksama, Nurlaila menjerit tertahan.

Ternyata jembatan itu tidak terbuat dari kayu seperti pada umumnya, melainkan dari rangkaian tubuh manusia yang masih hidup. Tangan mereka melambai-lambai putus asa, raut mereka adalah gambaran kesengsaraan, mulut mereka menjerit keras setiap kali ada yang melintas, menjadikan tubuh mereka sebagai pijakan untuk menyeberang.

“Tempat macam apa ini?” batin Nurlaila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status