Jam istirahat sholat dzuhur telah berbunyi sekitar 3 menit yang lalu. Sebagian teman kelasnya beranjak pergi ke kantin entah untuk makan atau hanya sekedar nongkrong, sebagian lagi memilih diam di kelas menunggu adzan sambil merebahkan kepala di atas meja. Seperti Qiya, gadis itu sedang berusaha memejamkan matanya, berniat tidur walaupun hanya memiliki waktu sekitar 15 menit sebelum pergi ke mushola untuk sholat dzuhur.
Begitu pun dengan Rissa ia juga sama tertidur, suara hembusan nafas teraturnya sedikit terdengar di telinga Qiya.. Sarah yang duduk sedikit jauh dari tempat duduknya menoleh, "gak tidur lo?" Tanya nya ketika melihat Qiya yang nampak linglung menatap sekelilingnya.
Qiya menatap Sarah dengan lesu, "hm.. gak bisa tidur padahal pengen. Kantin yuk!" Ajaknya.
"Kuy!"
Kemudian mereka beranjak pergi ke kantin meninggalkan Rissa yang nampak tenang dengan kegiatan tidurnya, sepertinya ia sedang bermimpi bertemu pangeran.
Qiya melihat ada sekumpulan kakak kelas yang duduk di pojok kantin. Qiya merasa senang sekaligus risih ketika melihat kumpulan itu. Ia senang karena melihat laki-laki menawan yang seperti biasa sedang menunduk menatap layar ponselnya. Ia juga merasa risih karena sejak ia menginjakkan kakinya di area kantin, Bara terus saja menatapnya dan tersenyum, bahkan mengabaikan suara teman-temannya yang meledek.
Qiya dengan segera berjalan ke arah penjual minuman, memesan dan menunggu di dekat penjual minuman itu, tentu saja bersama Sarah. Qiya tidak sabar untuk segera mendapat minuman pesanannya, bukan karena terlalu haus, tapi ia ingin segera pergi dari area kantin. Ia ingin menghindari tatapan kakak kelasnya itu. Lagi pula berada dalam satu lingkungan dengan Fatur tidak baik untuk jantungnya yang berdetak cepat. Selalu seperti itu. Bahkan tangannya basah karena keringat, air mukanya mulai berubah pucat, seperti orang yang sedang sakit dan akan pinsan.
"Lo kenapa, Qiya?" Tanya Sarah yang menyadari perubahan Qiya.
Qiya menoleh, tersenyum lalu menggeleng ke arah Sarah.
"Lo kaya mau pinsan gitu, gak enak badan?" Tanya Sarah lagi karena merasa khawatir.
"Gue gak papa, Sar."
"Lo pucet njir!! Kalo lo pinsan gue gak bisa gendong, berat!"
Qiya mendelik, "apaansih lo. Gue gak berat ya! Gue gak papa, santai aja."
Sarah mengangguk pelan, mencoba percaya kepada temannya. Tak lama dari itu minuman mereka datang, minuman itu tidak dituang ke dalam gelas, tapi dituang ke dalam gelas pelastik sekali pakai. Qiya dan Sarah berniat untuk membawa minuman itu ke kelas.
Mereka beranjak pergi meninggalkan kantin, tapi langkah keduanya tertahan karena ucapan dari kakak kelasnya dengan suara sedikit berteriak.
"Qiya!!! Nanti pulang sama Bara ya!! Si Yasir udah pulang!!"
Qiya menoleh dengan alis yang terangkat sebelah, lalu tidak menggubris ucapan itu. Qiya kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan kantin. Ia mendengar sayup-sayup suara teman-teman Bara yang meledek karena entah sudah berapa kali Bara dicueki oleh Qiya. Gadis itu tidak peduli sama sekali. Bahkan saat menoleh tadi, matanya tidak menatap Bara namun menatap Fatur, walaupun alasan ia menoleh adalah suara ajakan Bara untuk pulang bersama nanti.
........
Benar saja, saat pulang sekolah Qiya mendapat pesan dari kakak nya bahwa ia sudah berada di rumah sejak istirahat Sholat Duzhur tadi. Sialan. Qiya harus pulang sendiri. Tiba-tiba ia teringat ajakan Bara tadi, ia berpikir untuk memanfaatkannya agar ia tidak usah mengeluarkan uang untuk pulang. Ya, begitulah Qiya tidak mau menyia-nyiakan segala hal yang menguntungkan dan juga tidak merugikan.
Tapi Qiya merasa malu, tadi ia sudah cuek dan mengabaikan ajakan Bara. Lalu sekarang? Masa Qiya mau tiba-tiba menerima ajakan itu. Qiya masih punya rasa malu untuk bersikap seperti itu.
"Anjir!!! Terus gue pulang naik grab gitu? Ahh rugi ongkos nih," gerutu Qiya merasa kesal.
Tiba-tiba ada motor yang berhenti di hadapannya, melihat siapa yang duduk di atas motor itu otomatis Qiya berbinar. Lalu berteriak keras. Seseorang yang di boncengi di motor itu langsung turun lalu segera menutup mulut sialan milik Qiya. Tidak ada malunya Qiya berteriak di pinggir jalan seperti ini. Banyak murid satu sekolah dengan Qiya yang memandang mereka dengan aneh.
"Lo diem!! Bisa gak sih jangan teriak!! Malu gue, nyesel nyamperin lo!" Kesal orang itu.
Qiya menghempas tangan yang mendekap mulutnya, lalu terkekeh pelan, "maaf deh, gue kangen bangeeettt sama lo!!!!!! Berapa abad kita gak ketemu!!! Anjiran lah pokonya," ucap Qiya dengan excited sambil memeluk erat orang itu.
"Heh!!! Punya malu gak sih lo! Astagaaa..."
"Hehehe.. yaudah ahh maaf, ngapain lo kesini?" Tanya Qiya.
"Numpang lewat doang gue," jawab orang itu lalu tertawa.
"Sialan!! Gue kira lo sengaja pengen ketemu,"
Orang itu adalah sahabat sejati Qiya sejak jaman SMP, entahlah. Selama 3 tahun di SMP, entah bagaimana awalnya mereka bersahabat sampai sedekat itu. Orang itu adalah satu-satunya yang selalu tau segala hal tentang Qiya, dimulai dari sikap gila Qiya, cerewet, bawel, pokonya segalanya. Hingga kadang, masalah keluarga pun tak segan-segan Qiya ceritakan kepadanya. Begitupun sebaliknya. Ya.. dia adalah Raiya Salsabila. Lebih akrab di sapa Ira.
"Ekheemm..."
Qiya menoleh ke arah suara orang batuk yang sepertinya disengaja. Qiya mendengus, "iya iyaa.. urang nyaho maneh aya didinya, teu kudu batuk-batukan kitu!" (Gue tau lo ada disana, gak usah batuk batuk gitu)
"Galak amat temen kamu Ra," ucapnya kepada Raiya, dan memandang Qiya dengan datar. Mereka baru pertama kali bertemu, tapi Qiya sering mendengar cerita tentang pacarnya Raiya itu, begitupun dengan pacarnya Raiya, ia sering mendengar cerita Qiya dari Raiya.
Raiya menoleh ke arah pacarnya, lalu tersenyum manis, "kan aku udah bilang, dia emang galak begini."
"Hmmm.... maraneh sengaja ya kesini! Rek pamer bobogohan, mentang-mentang urang jomblo ahh," tuduh Qiya. (Kalian sengaja ya kesini, mau pamer pacaran, mentang-mentang gue jomblo)
Raiya memukul tangan Qiya, "suudzon aja lo! Kita mau ngajak lo ke kedai kopi yang baru deket sini, mau gak? Tlaktiran hari jadi nih," tawar Raiya yang langsung di angguki oleh Qiya.
"Giliran gratisan weh, hayu hayu, dasar cewek," sinis Fikri, pacar Raiya.
"Teu ikhlas lain maneh?!" Tanya Qiya dengan nada kasar. Oiya, Qiya itu sering dibilang tukang ngegas.
Raiya menghembuskan nafasnya, merasa pusing mendengar perdebatan antara pacar dan sahabatnya ini. Bagaimana bisa mereka bertengkar padahal ini pertama kalinya mereka di pertemukan.
"Syuuuttt!!! Cicing!!! Mending langsung berangkat," ajak Raiya.
Qiya mengerutkan keningnya. "Gimana berangkatnya?? Lo mau nyuruh gue jalan wahai Ira sayang?"
Raiya terkekeh mendengar pertanyaan Qiya, benar juga mereka bertiga dan tidak mungkin mereka naik satu motor bertiga. "Maneh masih jomblo kitu? Teu boga tumpangan?" (Lo masih jomblo gitu? Gak punya tumpangan?) Tanya Fikri yang terdengar seperti ledekan di telinga Qiya.
Gadis itu mendelik, "tong ngahina, cicing!" (Jangan ngehina, diem!)
Tak lama dari itu, ada motor yang berhenti di samping Qiya. Ia menoleh untuk melihat siapa pengendara motor itu. Ternyata Bara.
Bara tersenyum ke arah Fikri dan Raiya, pasangan itu membalas senyum Bara dengan ekspresi bingung, tapi diantara mereka berdua tidak ada yang berniat nanya. Jadi mereka hanya diam memperhatikan.
"Qiya, jadi gak pulang bareng?" Tanya Bara.
Qiya diam, ia sedang berpikir. Apakah tidak masalab jika ia pergi dengan Bara, lumayan tumpangan. Tapi bagaimana dengan Raiya dan Fikri, mereka yang menelaktir hari ini.
"Gue udah bilang sama si Yasir tadi, lewat chat sih," ucap Bara lagi karena belum mendapat jawaban dari Qiya.
Raiya mencubit pelan tangan Qiya, lalu berbisik, "siapa?" Qiya hanya menoleh tanoa berniat menjawab.
"Arek moal yeuh.. keburu sore" (mau gak nih) ucap Fikri.
Bara merasa bingung, "mau kemana, Qiya?"
"Pergi sama mereka," jawabnya setelah sekian lama diam.
"Oohh.. gue anterin kuy!!"
Qiya menggeleng, ia merasa tidak enak kepada Raiya dan Fikri jika mengajak orang yang tidak dikenal. Ini kan acara tlaktiran, ya pokonya gitu deh perasaan Qiya sekarang.
"Jangan!! Gak boleh!! Pulang duluan weh," tolak Qiya dengan sangat berat hati. Bagaimana tidak, ia menolak tawaran tumpangan gratis. Walaupun ia sendiri memang tidak mau berboncengan dengan Bara, ya sayang aja gitu pokonya kalo menolak
"Kenapa gak boleh?" Bukan, itu bukan Bara yang bertanya tapi Raiya.
Qiya menoleh, "ngga lah pokonya gak boleh,"
"Yang punya acara gue sama si Fikri"
Qiya menghela nafas, "maksud lo apa?"
"Ya lo sama dia, kuy berangkat," setelah mengucapkan kalimat itu, Raiya naik ke atas motor Fikri lalu pergi meninggalkan Bara dan Qiya.
"Hayu, nanti ketinggalan," ucap Bara dengan senyum lebar.
Akhirnya Qiya pergi dengan Bara. Cowok itu sangat senang akhirnya, ia tidak lagi ditolak oleh Qiya. Suatu hal yang luar biasa baginya, iya itu hanya bagi Bara.
Belum lama putus, Qiya sudah terlihat bersemangat lagi. Sudah kembali menjadi Qiya yang biasanya. Hal itu memang terdengar positif untuk Qiya. Tapi tidak dengan penglihatan orang sekitarnya. Terutama Arumi, entah sejak kapan kabar Qiya putus dengan Irham sudah menyebar ke seantero sekolah. Oh hampir saja lupa, ini semua karena ulah Rendi tempo hari. Qiya mendengus kesal saat berjalan melewati Arumi ketika akan pergi ke kantin. Qiya cukup menyesal menolak tawaran Rena yang ingin menemaninya ke toilet sebelum menyusul teman-temannya yang lain."Emang dasar jalang sih ya... baru aja putus udah bisa ketawa ketiwi lagi. Parahnya sih udah ada cowo baru? Kesian deh cowo barunya."Sindiran itu membuat langkah Qiya terhenti. Dia bilang apa? Jalang? Ya ampun kasar sekali. Sebelumnya Qiya tidak mau meladeni, tapi kata Jalang yang keluar dari mulut Arumi sangat mengganggu harga dirinya."Jalangan siapa ya? Sama cewek yang mepet-mepetin pacar orang?
Terlentang di atas kasur empuk favoritenya. Qiya menatap langit-langit kamar dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah keputusannya baik atau tidak, yang pasti sekarang Qiya kembali merasakan ragu.Ia merutuki kelabilannya lagi kali ini. Rasanya baru kemarin Qiya bertekad tidak akan bersama Irham ataupun Bara walaupun hatinya ada diantara dua cowok itu.Qiya tidak ingin menyakiti atau memberi harapan kepada salah satu dari mereka.Ya.. itulah yang Qiya pikirkan sebelum berbincang dengan Bara di kantin berdua.Entah apa yang Qiya pikirkan saat itu hingga bisa-bisanya mulut manisnya berkata "oke, kita jalanin dulu."Qiya mendengus kala otaknya mengingat jawabannya itu. Ia menarik salah satu bantalnya kemudian menutup kepalanya dengan bantal itu. "Aaaaarrrggghhh Zelqiya lo labil banget!!!"Qiya berguling-guling gelisah di atas kasur. Pusing memikirkan apa yang akan terjadi dengan hubungannya.Eh tapi, kalau Qiya
"Qiyaa.. lo sama Irham gak balikan?" Tanya Bara hati-hati.Qiya menoleh sebentar lalu tersenyum. Kakinya terus melangkah ke arah kantin berdampingan dengan langkah Bara."Balikan ya??" Tanya Bara lagi karena tidak mendapat jawaban."Nggaa.. kenapa? Mau pepet gue lagi?" Qiya tersenyum jail ke arah Bara."Iyalahh... target udah jomblo masa gak di gas."Qiya tertawa. "Jangan kak.. kita gini aja, gue gak mau kelabilan hati gue buat lo ngerasain apa yang di rasain Irham. Sekarang gue, lo bahkan Irham temenan aja. Oke?""Gue sebenernya gak bisa. Tapi mau gak kalo kita jalanin dulu? Gue gak maksa. Gimana nyamannya lo aja. Walaupun gue maunya kita ada status, kalo lo gak mau gue gak papa."Qiya berpikir sampai mereka tiba di kantin. Memesan es cekek untuk mereka berdua dan teman-teman Bara di lapang. Mereka duduk tak jauh dari penjual es. Duduk berhadapan dengan mata yang saling menatap."Oke, kita jalanin dulu."Mata Bara
Pukul 12 malam, Yasir baru pulang kerumah setelah puas bermain di rumah Fatur. Sebelum masuk ke kamarnya, Yasir menoleh ke arah meja makan karena tak sengaja melihat seseorang yang terduduk sambil memainkan ponselnya.Yasir mendekat dan melihat Qiya sedang memakan mie instan sembari menonton drama korea kecintaannya. Yasir meraih gelas lalu menuangkan air untuk ia minum.Yasir duduk di hadapan Qiya, menyimpan gelasnya di meja dan mengambil toples biskuit disana."Halal gak yaa kalo jual adek kaya lo?"Qiya mendongak kaget dengan pertanyaan Yasir. Ia menatap sinis ke arah sang kakak. "Menurut lo?!""Menurut gue mah halal.. daripada bikin pusing. Mending jual.""Apaan sih?"Yasir mendengus. Lalu memakan lagi biskuitnya. "Lo balikan sama si Irham?""Mana ada."Yasir mengerutkan
Istirahat kedua, Bara berjalan ke arah kelas Qiya dengan senyum lebarnya. Hatinya berbunga-bunga walaupun otaknya hampir depresi karena mikirin cara buat pepet Qiya sedikit lagi. Tapi depresi terlalu hiperbola buat penggambaran keadaan otak Bara.Tangannya menggenggam satu kotak susu kesukaan Qiya. Biarlah ia dikatakan mengambil kesempatan disaat Qiya baru saja putus, bahkan putusnya pun karena Bara.Sampai di depan pintu kelas Qiya, Bara menarik nafas dulu sebelum masuk. Entah karena rasa bahagianya sedang membuncah karena Qiya atau memang Bara saja yang sedang lebay. Pokoknya saat ini Bara degdeggan berat.Setelah dirasa siap, Bara membuka pintu kelas itu lalu mengedarkan pandangannya mencari kekasih hatinya. Bara hanya melihat beberapa cewek teman kelas Qiya sedang merebahkan kepalanya juga ada Rendi yang sibuk dengan ponsel serta telinga memakai earphone.Bara menghampiri cewek yang
Irham menghentikan motornya di parkiran kedai dekat SMP mereka dulu. Tempat yang pernah mereka datangi saat masih berpacaran. Rasanya Qiya ingin menangis melihat tempat ini. Satu memori indah bersama Irham berputar lagi.Irham mengajak Qiya masuk ke dalam. Sepi. Pengunjung kedai memang anak sekolah. Berhubung sekarang masih jam masuk jadi kedai pasti sepi.Mereka duduk di pojok kedai, tempat yang dulu mereka tempati juga. Tempat ini sangat cocok untuk mengobrol."Ada apa?" Tanya Qiya langsung.Jujur saja, Qiya canggung sekarang. Entah harus bersikap bagaimana. Qiya tidak bisa bersikap sebagai teman seperti sebelum mereka balikan. Rasanya masih aneh."Tegang amat.." ucap Irham santai.Tapi Qiya tau, Irham juga sama canggungnya. Sorot mata Irham membuktikan kecanggungan. Namun, sepertinya Qiya juga harus santai untuk menghargai usaha Irham menyembu