Istri kontrak om duda

Istri kontrak om duda

last updateLast Updated : 2025-08-23
By:  TiffanyUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Cinta bukan selalu soal bahagia. Kadang ia datang di waktu yang salah, dari orang yang tak terduga—dan lahir dari kebohongan yang disepakati bersama. Ayudia tak pernah punya waktu untuk mimpi. Hidupnya adalah tentang bertahan. Ayahnya terbaring sakit, tagihan rumah sakit mencekik, dan dunia terus menertawakan ketidakberdayaannya. Sampai satu tawaran gila dari pria asing datang dan mengubah segalanya. Ardhan. CEO muda, dingin, dan duda berhati beku. Ia butuh istri—bukan untuk dicintai, tapi sebagai formalitas demi ambisi keluarga. Tidak ada ruang untuk perasaan. Hanya kontrak, batasan, dan pernikahan semu yang akan berakhir dalam hitungan bulan. Namun mereka lupa, bahwa hati bukan bagian dari kesepakatan. Hari demi hari, peran yang dimainkan mulai terasa nyata. Ayudia, dengan segala luka masa lalunya, mulai mengusik dinding pertahanan Ardhan. Sementara pria itu, yang masih dibayang-bayangi cinta lamanya, perlahan terseret dalam badai rasa yang tak pernah ia izinkan tumbuh. Saat masa lalu menghantui dan rahasia demi rahasia terbuka, keduanya terjebak dalam dilema paling sulit: mempertahankan kebohongan demi bertahan hidup, atau merobek semua kepalsuan dan memperjuangkan sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan—cinta yang lahir dari luka dan keterpaksaan. Karena terkadang... yang pura-pura justru menjadi hal paling nyata.

View More

Chapter 1

Ijab yang Tak Pernah Kusebut Cinta

Ijab yang Tak Pernah Kusebut Cinta

Langit sore itu tampak menggantung muram. Awan kelabu berarak lambat di cakrawala, seolah ikut menyimpan luka dan rahasia yang tak sanggup diungkapkan oleh manusia. Matahari yang biasanya bersinar gagah, kini redup seperti enggan menyaksikan apa yang akan terjadi di bawah naungannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dan debu yang tak kasatmata, tetapi menusuk tepat ke dada Ayudia.

Hatinya bergolak. Gelisahnya menumpuk, menyembunyikan riak-riak keresahan yang bahkan tak sanggup ia uraikan dalam kalimat. Di tengah gemuruh batin yang menyempitkan dada itu, terdengar suara lirih namun tajam—memecah keheningan yang menjerat.

"Mari kita mulai..."

Kalimat itu sederhana, namun dampaknya luar biasa. Ia seperti palu yang menghantam keras kesadarannya, menyeret Ayudia keluar dari alam pikirannya yang kosong tapi gaduh. Suara itu terdengar nyaring di telinga, menggema dalam benak yang sudah terlalu sesak oleh kebimbangan dan kecemasan.

Ayudia menundukkan kepalanya perlahan. Nafas panjang ia hembuskan diam-diam, berusaha menenangkan degup jantung yang berpacu tak beraturan. Ia merasa seperti sedang melangkah di ujung tebing, dengan mata tertutup, tanpa tahu apakah langkah berikutnya akan menyelamatkan atau justru menjatuhkannya ke jurang.

Kebaya putih yang membalut tubuhnya tampak indah, bahkan terlalu indah untuk hari yang terasa kelabu baginya. Payet-payet perak di atas kain putih itu berkilauan terkena sorotan lampu pelaminan, menciptakan ilusi seolah ia adalah pengantin yang bahagia dan siap menyambut takdir barunya. Make up tipis yang membingkai wajahnya pun nyaris sempurna, menyembunyikan kegelisahan yang menggulung di balik kedua bola matanya yang berkaca.

Ia tampak memesona, seperti putri dalam dongeng. Namun hanya Ayudia sendiri yang tahu bahwa di balik penampilan luar yang anggun itu, ia tengah retak. Ia berdiri di hadapan orang banyak, tapi sesungguhnya merasa sendirian, terasing di antara senyum-senyum palsu dan sorak-sorai yang tak menyentuh hatinya.

Suara penghulu kembali terdengar. Kali ini lebih lantang, lebih mengikat.

"Saya terima nikahnya... kawinnya..."

Dan pada saat itu juga, seakan waktu berhenti sejenak. Ruang seketika menyempit, seperti oksigen di dalamnya menghilang. Tubuh Ayudia membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya, membuat napasnya tercekat. Ia ingin berteriak, ingin membatalkan semuanya, ingin mengatakan bahwa ia belum siap. Tapi tenggorokannya seperti terkunci. Lidahnya kelu. Semua yang ingin diucapkan tertahan di dasar hati yang bergetar hebat.

"Sah kah aku menjadi istri seseorang?"

Pertanyaan itu terlintas begitu saja. Namun dampaknya seolah mengguncang fondasi dalam dirinya. Ayudia mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya tertuju ke ujung ruangan, ke arah seorang laki-laki yang kini duduk menghadap penghulu, bersandar tenang di balik balutan jas hitam rapi. Sosok itu—Ardhan, lelaki yang kini menjadi suaminya secara sah, secara hukum, secara agama. Tapi... apakah secara batin juga?

Tak ada lamaran, tak ada waktu untuk saling mengenal lebih dalam. Semua berjalan cepat. Terlalu cepat. Tergesa, seperti pagi yang dipaksa berlari sebelum fajar sempat menyingsing sempurna.

"Menikah?" bisik hatinya lirih, nyaris seperti suara napas yang tercekat.

Ia memejamkan mata. Ada jeda dalam dirinya. Dan saat mata itu terbuka kembali, terdengarlah pertanyaan paling sakral yang menggema dari mulut sang penghulu.

"Sah?"

Suasana tiba-tiba hening. Beberapa detik berlalu sebelum para saksi dan tamu menjawab serempak dengan suara lantang:

"Sah."

"Sah."

"Sah."

Tiga kali. Dan tiga kali pula, hati Ayudia seolah runtuh. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah perlahan. Bukan dalam isak, bukan dalam tangis yang pecah—melainkan dalam diam. Ada luka yang tak dapat dijelaskan, ada kesedihan yang mengalir tanpa suara.

Ia menunduk. Tangisnya hanyalah aliran sepi yang tidak seorang pun menyadari. Di hadapan para tamu, ia tetap menjadi sosok pengantin yang anggun dan tenang. Tapi di dalam dirinya, badai telah menggulung habis semua keyakinan.

Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut menghampiri bahunya.

"Apa kamu bahagia, Nak?"

Sebuah suara lembut, hangat dan penuh kasih menyapa telinganya. Ayudia menoleh perlahan. Di sampingnya, seorang perempuan paruh baya duduk dengan wajah teduh dalam balutan kebaya pastel sederhana. Bola mata perempuan itu bergetar, berkaca-kaca, menyimpan banyak tanya yang tak terucap.

Itu adalah ibunya—satu-satunya tempat pulang, tempat ia biasa menyimpan tangis dan lelah.

Ayudia menatapnya, dan dalam sekejap, dinding ketegarannya mulai runtuh. Air mata mengalir lebih deras. Ibu menggenggam tangannya erat, tak berkata apa-apa. Tapi dalam genggaman itu, Ayudia merasa disentuh oleh cinta yang paling murni.

Mereka hanya saling menatap. Hening. Tapi dalam hening itu ada banyak percakapan yang tak perlu diucap. Ibu tahu. Ibu selalu tahu. Betapa hati Ayudia sedang berperang dalam senyap. Betapa bahagia yang tampak hanyalah topeng.

Dan kemudian, kenangan malam sebelumnya kembali datang tanpa diundang.

> "Menikah itu bukan permainan, Ayudia..."

Suara ibu terdengar dalam ingatannya, penuh tekanan dan kasih yang berbaur menjadi satu.

"Bukan seperti naik komidi putar yang bisa kamu hentikan kalau kamu pusing. Ini ibadah, ini janji suci. Bukan hanya janji antara kamu dan dia, tapi juga antara kamu dan Allah. Jangan pernah mempermainkan pernikahan, Nak. Karena pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling dicintai Allah. Jangan jadikan ibadah itu sekadar formalitas."

Waktu itu Ayudia hanya diam, tidak menjawab. Ia hanya sibuk di dapur, berpura-pura tidak mendengar, mengaduk adonan bolu yang bahkan tak jadi dipanggang. Bukan karena malas. Tapi karena hatinya terlalu berat untuk menyambut hari yang akan datang.

"Bismillah, Mak... InsyaAllah," ucapnya saat itu, lirih seperti desahan angin. Ia sendiri tak tahu kepada siapa kata itu ditujukan. Pada ibunya? Pada Tuhan? Atau pada dirinya sendiri yang sedang mencoba menipu rasa takut?

Dan kini, ia telah resmi menjadi seorang istri.

Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa pernikahan ini tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Tak ada kisah cinta yang mekar, tak ada kenangan manis sebelum hari ijab. Semuanya berjalan seperti drama yang sudah ditulis tanpa skrip emosi.

Ayudia kembali menatap ibunya yang kini menggenggam jemarinya, lalu menarik tubuh putrinya ke dalam pelukan. Pelukan yang dalam, lama, dan menenangkan. Dan dalam pelukan itu, ibu berbisik dengan suara parau, namun penuh keyakinan.

> "Jama’allahu syamlakumaa, waas’ada jadda kumaa, wabaarik ‘alaikumaa, waakhraja minkumaa katsiiran thayyiban..."

(Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” – HR. Anas bin Malik)

Doa itu masuk perlahan ke dalam hati Ayudia. Bukan karena ia merasa layak mendapatkan semua harapan baik itu. Tapi karena suara itu datang dari ibunya. Dan bagi Ayudia, tak ada doa yang lebih sakral selain yang keluar dari mulut ibu yang mencintainya tanpa syarat.

Ia menangis lagi. Kali ini lebih tulus. Bukan karena sedih semata, tapi karena ia merasa bersalah. Karena ia tahu, ini bukan jalan yang benar-benar ia pilih dengan penuh suka cita.

"Maaf."

Hanya satu kata. Satu bisikan dari lubuk hatinya yang terdalam. Kata yang tak terdengar siapa pun, tak terucap secara nyata, tapi mengandung seribu penyesalan.

Dari kejauhan, tampak Ardhan berdiri. Ia menatap Ayudia dan ibunya dalam diam. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tidak juga senyuman yang biasanya menghiasi mempelai pria saat hari pernikahan. Ia berdiri seperti patung batu. Tegap, tapi beku. Tatapan matanya dalam, tapi kosong.

Mungkin Ardhan pun sedang menyimpan rahasia. Mungkin hatinya juga tak sepenuhnya utuh. Mereka kini terikat, sah menurut agama dan negara, namun batin mereka masih asing satu sama lain. Dua insan yang dipertemukan bukan oleh cinta, melainkan oleh keadaan.

Ayudia kembali menunduk. Dalam hatinya, badai belum reda. Tapi ia tahu, kehidupan telah dimulai dari titik ini. Dan ia harus menjalaninya—entah dengan hati yang penuh atau hati yang masih bolong.

Di luar sana, langit yang sejak tadi mendung akhirnya menitikkan air hujan pertama. Rintiknya jatuh perlahan di atas atap, seperti ikut meratapi kisah yang baru saja dimulai. Bukan dengan tawa dan pelukan, tapi dengan diam dan air mata.

Perjalanan ini akan panjang. Dan Ayudia belum tahu, akan ia arungi dengan cinta—atau sekadar kewajiban.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status