Cinta bukan selalu soal bahagia. Kadang ia datang di waktu yang salah, dari orang yang tak terduga—dan lahir dari kebohongan yang disepakati bersama. Ayudia tak pernah punya waktu untuk mimpi. Hidupnya adalah tentang bertahan. Ayahnya terbaring sakit, tagihan rumah sakit mencekik, dan dunia terus menertawakan ketidakberdayaannya. Sampai satu tawaran gila dari pria asing datang dan mengubah segalanya. Ardhan. CEO muda, dingin, dan duda berhati beku. Ia butuh istri—bukan untuk dicintai, tapi sebagai formalitas demi ambisi keluarga. Tidak ada ruang untuk perasaan. Hanya kontrak, batasan, dan pernikahan semu yang akan berakhir dalam hitungan bulan. Namun mereka lupa, bahwa hati bukan bagian dari kesepakatan. Hari demi hari, peran yang dimainkan mulai terasa nyata. Ayudia, dengan segala luka masa lalunya, mulai mengusik dinding pertahanan Ardhan. Sementara pria itu, yang masih dibayang-bayangi cinta lamanya, perlahan terseret dalam badai rasa yang tak pernah ia izinkan tumbuh. Saat masa lalu menghantui dan rahasia demi rahasia terbuka, keduanya terjebak dalam dilema paling sulit: mempertahankan kebohongan demi bertahan hidup, atau merobek semua kepalsuan dan memperjuangkan sesuatu yang tak pernah mereka rencanakan—cinta yang lahir dari luka dan keterpaksaan. Karena terkadang... yang pura-pura justru menjadi hal paling nyata.
View MoreIjab yang Tak Pernah Kusebut Cinta
Langit sore itu tampak menggantung muram. Awan kelabu berarak lambat di cakrawala, seolah ikut menyimpan luka dan rahasia yang tak sanggup diungkapkan oleh manusia. Matahari yang biasanya bersinar gagah, kini redup seperti enggan menyaksikan apa yang akan terjadi di bawah naungannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dan debu yang tak kasatmata, tetapi menusuk tepat ke dada Ayudia. Hatinya bergolak. Gelisahnya menumpuk, menyembunyikan riak-riak keresahan yang bahkan tak sanggup ia uraikan dalam kalimat. Di tengah gemuruh batin yang menyempitkan dada itu, terdengar suara lirih namun tajam—memecah keheningan yang menjerat. "Mari kita mulai..." Kalimat itu sederhana, namun dampaknya luar biasa. Ia seperti palu yang menghantam keras kesadarannya, menyeret Ayudia keluar dari alam pikirannya yang kosong tapi gaduh. Suara itu terdengar nyaring di telinga, menggema dalam benak yang sudah terlalu sesak oleh kebimbangan dan kecemasan. Ayudia menundukkan kepalanya perlahan. Nafas panjang ia hembuskan diam-diam, berusaha menenangkan degup jantung yang berpacu tak beraturan. Ia merasa seperti sedang melangkah di ujung tebing, dengan mata tertutup, tanpa tahu apakah langkah berikutnya akan menyelamatkan atau justru menjatuhkannya ke jurang. Kebaya putih yang membalut tubuhnya tampak indah, bahkan terlalu indah untuk hari yang terasa kelabu baginya. Payet-payet perak di atas kain putih itu berkilauan terkena sorotan lampu pelaminan, menciptakan ilusi seolah ia adalah pengantin yang bahagia dan siap menyambut takdir barunya. Make up tipis yang membingkai wajahnya pun nyaris sempurna, menyembunyikan kegelisahan yang menggulung di balik kedua bola matanya yang berkaca. Ia tampak memesona, seperti putri dalam dongeng. Namun hanya Ayudia sendiri yang tahu bahwa di balik penampilan luar yang anggun itu, ia tengah retak. Ia berdiri di hadapan orang banyak, tapi sesungguhnya merasa sendirian, terasing di antara senyum-senyum palsu dan sorak-sorai yang tak menyentuh hatinya. Suara penghulu kembali terdengar. Kali ini lebih lantang, lebih mengikat. "Saya terima nikahnya... kawinnya..." Dan pada saat itu juga, seakan waktu berhenti sejenak. Ruang seketika menyempit, seperti oksigen di dalamnya menghilang. Tubuh Ayudia membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya, membuat napasnya tercekat. Ia ingin berteriak, ingin membatalkan semuanya, ingin mengatakan bahwa ia belum siap. Tapi tenggorokannya seperti terkunci. Lidahnya kelu. Semua yang ingin diucapkan tertahan di dasar hati yang bergetar hebat. "Sah kah aku menjadi istri seseorang?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja. Namun dampaknya seolah mengguncang fondasi dalam dirinya. Ayudia mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya tertuju ke ujung ruangan, ke arah seorang laki-laki yang kini duduk menghadap penghulu, bersandar tenang di balik balutan jas hitam rapi. Sosok itu—Ardhan, lelaki yang kini menjadi suaminya secara sah, secara hukum, secara agama. Tapi... apakah secara batin juga? Tak ada lamaran, tak ada waktu untuk saling mengenal lebih dalam. Semua berjalan cepat. Terlalu cepat. Tergesa, seperti pagi yang dipaksa berlari sebelum fajar sempat menyingsing sempurna. "Menikah?" bisik hatinya lirih, nyaris seperti suara napas yang tercekat. Ia memejamkan mata. Ada jeda dalam dirinya. Dan saat mata itu terbuka kembali, terdengarlah pertanyaan paling sakral yang menggema dari mulut sang penghulu. "Sah?" Suasana tiba-tiba hening. Beberapa detik berlalu sebelum para saksi dan tamu menjawab serempak dengan suara lantang: "Sah." "Sah." "Sah." Tiga kali. Dan tiga kali pula, hati Ayudia seolah runtuh. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah perlahan. Bukan dalam isak, bukan dalam tangis yang pecah—melainkan dalam diam. Ada luka yang tak dapat dijelaskan, ada kesedihan yang mengalir tanpa suara. Ia menunduk. Tangisnya hanyalah aliran sepi yang tidak seorang pun menyadari. Di hadapan para tamu, ia tetap menjadi sosok pengantin yang anggun dan tenang. Tapi di dalam dirinya, badai telah menggulung habis semua keyakinan. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut menghampiri bahunya. "Apa kamu bahagia, Nak?" Sebuah suara lembut, hangat dan penuh kasih menyapa telinganya. Ayudia menoleh perlahan. Di sampingnya, seorang perempuan paruh baya duduk dengan wajah teduh dalam balutan kebaya pastel sederhana. Bola mata perempuan itu bergetar, berkaca-kaca, menyimpan banyak tanya yang tak terucap. Itu adalah ibunya—satu-satunya tempat pulang, tempat ia biasa menyimpan tangis dan lelah. Ayudia menatapnya, dan dalam sekejap, dinding ketegarannya mulai runtuh. Air mata mengalir lebih deras. Ibu menggenggam tangannya erat, tak berkata apa-apa. Tapi dalam genggaman itu, Ayudia merasa disentuh oleh cinta yang paling murni. Mereka hanya saling menatap. Hening. Tapi dalam hening itu ada banyak percakapan yang tak perlu diucap. Ibu tahu. Ibu selalu tahu. Betapa hati Ayudia sedang berperang dalam senyap. Betapa bahagia yang tampak hanyalah topeng. Dan kemudian, kenangan malam sebelumnya kembali datang tanpa diundang. > "Menikah itu bukan permainan, Ayudia..." Suara ibu terdengar dalam ingatannya, penuh tekanan dan kasih yang berbaur menjadi satu. "Bukan seperti naik komidi putar yang bisa kamu hentikan kalau kamu pusing. Ini ibadah, ini janji suci. Bukan hanya janji antara kamu dan dia, tapi juga antara kamu dan Allah. Jangan pernah mempermainkan pernikahan, Nak. Karena pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling dicintai Allah. Jangan jadikan ibadah itu sekadar formalitas." Waktu itu Ayudia hanya diam, tidak menjawab. Ia hanya sibuk di dapur, berpura-pura tidak mendengar, mengaduk adonan bolu yang bahkan tak jadi dipanggang. Bukan karena malas. Tapi karena hatinya terlalu berat untuk menyambut hari yang akan datang. "Bismillah, Mak... InsyaAllah," ucapnya saat itu, lirih seperti desahan angin. Ia sendiri tak tahu kepada siapa kata itu ditujukan. Pada ibunya? Pada Tuhan? Atau pada dirinya sendiri yang sedang mencoba menipu rasa takut? Dan kini, ia telah resmi menjadi seorang istri. Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa pernikahan ini tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Tak ada kisah cinta yang mekar, tak ada kenangan manis sebelum hari ijab. Semuanya berjalan seperti drama yang sudah ditulis tanpa skrip emosi. Ayudia kembali menatap ibunya yang kini menggenggam jemarinya, lalu menarik tubuh putrinya ke dalam pelukan. Pelukan yang dalam, lama, dan menenangkan. Dan dalam pelukan itu, ibu berbisik dengan suara parau, namun penuh keyakinan. > "Jama’allahu syamlakumaa, waas’ada jadda kumaa, wabaarik ‘alaikumaa, waakhraja minkumaa katsiiran thayyiban..." (Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” – HR. Anas bin Malik) Doa itu masuk perlahan ke dalam hati Ayudia. Bukan karena ia merasa layak mendapatkan semua harapan baik itu. Tapi karena suara itu datang dari ibunya. Dan bagi Ayudia, tak ada doa yang lebih sakral selain yang keluar dari mulut ibu yang mencintainya tanpa syarat. Ia menangis lagi. Kali ini lebih tulus. Bukan karena sedih semata, tapi karena ia merasa bersalah. Karena ia tahu, ini bukan jalan yang benar-benar ia pilih dengan penuh suka cita. "Maaf." Hanya satu kata. Satu bisikan dari lubuk hatinya yang terdalam. Kata yang tak terdengar siapa pun, tak terucap secara nyata, tapi mengandung seribu penyesalan. Dari kejauhan, tampak Ardhan berdiri. Ia menatap Ayudia dan ibunya dalam diam. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tidak juga senyuman yang biasanya menghiasi mempelai pria saat hari pernikahan. Ia berdiri seperti patung batu. Tegap, tapi beku. Tatapan matanya dalam, tapi kosong. Mungkin Ardhan pun sedang menyimpan rahasia. Mungkin hatinya juga tak sepenuhnya utuh. Mereka kini terikat, sah menurut agama dan negara, namun batin mereka masih asing satu sama lain. Dua insan yang dipertemukan bukan oleh cinta, melainkan oleh keadaan. Ayudia kembali menunduk. Dalam hatinya, badai belum reda. Tapi ia tahu, kehidupan telah dimulai dari titik ini. Dan ia harus menjalaninya—entah dengan hati yang penuh atau hati yang masih bolong. Di luar sana, langit yang sejak tadi mendung akhirnya menitikkan air hujan pertama. Rintiknya jatuh perlahan di atas atap, seperti ikut meratapi kisah yang baru saja dimulai. Bukan dengan tawa dan pelukan, tapi dengan diam dan air mata. Perjalanan ini akan panjang. Dan Ayudia belum tahu, akan ia arungi dengan cinta—atau sekadar kewajiban.“Lihatlah pilihan Ardhan itu.”Suara Mama Niar terdengar lagi, kali ini dengan nada kesal yang menusuk telinga, ditujukan kepada putri tertuanya, Vivi.Perempuan bernama Vivi itu hanya terdiam di kursi makan, menunduk sembari memotong buah semangka di hadapannya. Telinganya sudah terbiasa dengan ocehan ibunya yang tak pernah berhenti jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sejak kecil ia sudah kenyang mendengar suara bernada tinggi dari ibunya, jadi ia sama sekali tidak heran ketika ocehan itu kembali meluncur sekarang.Memang sudah begitulah watak Mama Niar, pikir Vivi. Wanita itu jarang sekali merasa cocok dengan sesuatu atau seseorang. Bahkan dulu ketika ayah menikahi Mama Niar, kabarnya hubungan mereka pun penuh pertentangan di awal. Namun pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan mereka saling mengenal lebih dalam, semua berubah. Sekarang justru ayah menjadi kebanggaan di mata Mama Niar. Itulah yang Vivi yakini: pada dasarnya sifat seorang ibu memang selalu menola
Ayudia hanya bisa menghela napas panjang, dada terasa penuh sesak oleh luka yang baru saja digoreskan. Kata-kata pedas yang meluncur begitu lancang dari bibir wanita itu—wanita yang kini ia tahu adalah ibu kandung Ardhan—masih berputar-putar di telinganya, menggema tanpa henti, seakan-akan diputar ulang dalam kepalanya. Setiap kalimat, setiap intonasi, setiap tatapan penuh penghinaan, bagaikan paku yang ditancapkan satu per satu ke dalam hatinya yang rapuh.Ia berusaha menegakkan tubuh, namun gemetar halus di tangannya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tadi berusaha ditahan tetap tenang, perlahan terasa panas. Rasa malu, sakit hati, sekaligus marah yang tak berdaya bercampur menjadi satu.Sebelum ia sempat benar-benar menguasai dirinya, pandangan matanya masih mengikuti sosok wanita itu—wanita yang dengan segala wibawa dan otoritasnya melangkah naik ke lantai atas. Gaun elegan yang dipakainya berayun lembut mengikuti gerakannya. Tumit stiletto yang menghantam lantai marmer meningg
Bab — Tamu yang Tak DiundangAyudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda
Hari Kedua yang Tak Baik-Baik SajaHari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.Entah sejak jam berapa.Entah ke mana.Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosion
Kediaman ArdhanSehari Setelah PernikahanMobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepa
Kesepakatan hitam di atas putih.Sebuah Kafe, Sore HariKafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.Ayudia duduk di salah satu s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments