Dina membetulkan letak selimut di tubuhnya, menghadap punggung suaminya yang sudah terlelap tanpa kata. Matanya masih terbuka, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang remang-remang. Di sudut ranjang, Esa tidur dengan damai, perut mungilnya naik turun dengan ritme yang tenang.
Ia berusaha memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, mengulang kejadian malam ini. Ketika dirinya sedang bercinta bersama suaminya. Entah masih bisa dibilang bercinta atau tidak, karena yang ia rasakan kini hanya hampa dan perasaan terabaikan. Harusnya ia tak lagi merasa kecewa. Harusnya kini ia justru merasa terbiasa. Karena ini bukan pertama kalinya Raka kehilangan gairah begitu Esa menangis. Bukan pertama kalinya ia merasa diabaikan ketika dirinya belum mencapai puncak kenikmatan. Awalnya, ia berusaha memahami. Bayi mereka masih kecil, tentu butuh perhatian lebih. Ia tidak keberatan jika Raka mengutamakan Esa. Itu memang sudah seharusnya. Tapi, ketika semua ini berulang-ulang terjadi, ketika Raka terus membuatnya merasa tidak diinginkan, bagaimana mungkin Dina tidak mulai mempertanyakan dirinya sendiri? Apakah ia sudah tidak menarik lagi di mata suaminya? Atau… apakah ada hal lain yang berubah dalam hubungan mereka? Dina menelan ludah. Dulu, di awal pernikahan mereka, Raka selalu penuh semangat. Ia tak pernah keberatan jika Esa terbangun di tengah malam. Jika tangisan bayi mereka mengganggu, ia tetap bisa kembali mencarinya setelah situasi terkendali. Tapi sekarang? Setiap kali Esa menangis, Raka seperti kehilangan minat. Ia tidak berusaha lagi. Hanya diam, lalu berbalik, membiarkan Dina mengurus semuanya sendiri. Dina menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah Raka yang tidur memunggunginya. “Mas Raka…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Tidak ada jawaban. Dina menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya mungkin sudah benar-benar tertidur, atau pura-pura tidak mendengar. Ia ingin bertanya. Apakah aku masih cukup bagimu? Apakah aku masih istrimu seperti dulu? Tapi suara itu terhenti di tenggorokannya. Mungkin ia terlalu takut mendengar jawabannya. --- Pagi harinya, Dina bangun lebih awal seperti biasa. Langkahnya terasa berat ketika ia pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Ia menyiapkan nasi, sayur bening, dan beberapa lauk sederhana. Tidak ada yang spesial. Sejak menikah, masakannya lebih banyak dibuat dalam versi hemat. Raka sering mengeluh soal uang, jadi Dina harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Mertuanya sudah berangkat pagi-pagi sekali ke rumah tetangga, untuk membantu membuat kue. Biasanya ia mendapatkan upah lima puluh ribu perhari. Lumayan, dari pada tidak sama sekali. Mertuanya yang lelaki sudah lama meninggal, bahkan sebelum Dina mengenal Raka. Entah ini sesuatu yang harus disesalkan atau disyukuri, karena dari ucapan tetangga, rata-rata mengatakan jika ayah mertuanya itu, dulunya adalah seorang pria kasar dan memiliki ego yang tinggi. Saat tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Dina menoleh dan melihat Raka berjalan keluar dari kamar dengan wajah kusut. “Selamat pagi,” sapa Dina pelan. Raka hanya bergumam pendek, lalu duduk di kursi meja makan. Dina meletakkan secangkir teh di depannya. “Aku sudah siapkan sarapan.” Raka hanya mengangguk. Ia menyendok nasi dan mulai makan tanpa berkata apa-apa. Dina ikut duduk di hadapannya, mencoba mencari waktu yang tepat untuk berbicara. “Mas Raka,” panggilnya pelan. “Hm?” “Aku mau tanya sesuatu.” Raka berhenti mengunyah, menatapnya sekilas. “Apa?” Dina menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri. “Apa aku sudah tidak menarik lagi buat kamu?” Kening Raka berkerut. “Apa maksudmu?” Dina menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuannya. “Aku merasa… kamu semakin jauh. Kita semakin jarang bicara. Bahkan ketika kita… bersama, rasanya kamu tidak benar-benar ada di sana.” Suaminya mendengus. “Kamu berpikir terlalu jauh, Dina.” “Benarkah?” Raka meletakkan sendoknya dengan agak kasar. “Dina, aku capek. Aku kerja dari pagi sampai malam, pulang ke rumah aku cuma ingin istirahat. Aku nggak punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu.” Dina meremas jemarinya lebih erat. “Jadi… menurutmu ini cuma hal sepele?” Wajah Raka semakin tegang. “Dina, tolonglah! Aku kerja untuk kita, aku capek. Pagi-pagi malah harus dengar keluhan nggak jelas kayak gini!” Dina menatapnya, dadanya terasa sesak. “Aku hanya ingin tahu, Raka. Aku ingin tahu apakah aku masih cukup buat kamu.” “Omong kosong apa lagi ini?” Raka menekan suaranya, tetapi nada marahnya jelas terdengar. “Kalau aku nggak tertarik sama kamu lagi, aku nggak akan pulang tiap malam! Aku nggak akan duduk di sini makan masakanmu! Apa itu belum cukup?” Dina terkesiap. “Jadi menurutmu, cukup dengan pulang ke rumah dan makan di sini sudah membuktikan semuanya?” Raka berdiri tiba-tiba, kursi bergeser kasar di lantai. “Dina, aku nggak punya waktu untuk drama kayak gini! Kalau kamu mau curiga atau merasa nggak puas, ya terserah! Aku udah cukup lelah dengan kerjaan di luar, jangan tambah beban buat aku di rumah!” Dina terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan. Raka menatapnya sekilas, lalu mendengus. “Aku berangkat.” Tanpa menunggu respon, ia meraih tas kerjanya, berjalan keluar, dan membanting pintu sedikit lebih keras dari biasanya. Dina masih duduk di tempatnya, jari-jarinya gemetar di atas meja. Ia mengalihkan pandangannya ke cangkir teh Raka yang masih penuh. Pagi ini, sekali lagi, ia merasa bahwa dirinya hanyalah bayangan dalam rumah ini. Hanya seseorang yang ada di sana. Bukan seseorang yang benar-benar berarti.Udara pengap bercampur ketegangan, membuat ruangan terasa lebih kecil daripada biasanya. Satu per satu, hadirin yang datang mencuri pandang ke arah Dina. Sorot matanya tidak gentar, hanya fokus dan tekad yang jelas. Ini bukan hanya soal dirinya. Ini tentang keadilan, tentang anaknya, dan tentang harga dirinya yang dulu pernah diinjak-injak.Di sisi lain, Raka tampak canggung. Meski mengenakan jas formal dan duduk dengan postur tegak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Sesaat lalu ia mendengar bisikan dari pengacaranya jika pihak Dina mungkin menemukan beberapa bukti tindakan pidana yang bisa memberatkannya. Raka meremas sandaran kursi di sebelahnya. Bukankah dirinya sudah bermain dengan sangat rapi? Helena yang menjadi salah satu pion dalam rencananya saja tidak sadar sama sekali. Jadi bukti apa yang mungkin ditemukan oleh pihak Dina?Di sebelahnya, pengacara mudanya sibuk membolak-balik berkas, berusaha mempertahankan ketenangan yang perlahan mulai mengelupas.“Sidan
Gedung pengadilan itu menjulang angkuh, namun hari itu, langkah Dina tetap tegak. Ia berdiri di bawah langit mendung, mengenakan blus putih gading dan celana panjang hitam yang rapi. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam hatinya.Ia tentu saja tidak datang sendirian. Di sisi kirinya berdiri Celia, menggenggam tangan Dina seerat mungkin sejak mereka pertama kali melangkahkan kaki di area pengadilan. Di belakangnya, Anggara tampak serius dalam setelan jas abu-abu gelap. Terlihat sedang berbicara serius dengan pengacara mereka. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh keberpihakan. Tidak jauh dari mereka, Darmawan berdiri didampingi dua putra lainnya—Adrian dan Ariasa—yang jarang memiliki waktu luang, namun hari itu menyempatkan diri hadir demi adik perempuan mereka.Dina menarik napas dalam-dalam. Matanya menelusuri satu per satu wajah orang yang berdiri di sekitarnya. Mereka ada di sana bukan hanya sebaga
Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Reihan sudah berdiri di depan lemari pakaiannya. Tangannya bersedekap, lalu turun, lalu naik lagi untuk menggaruk kepala. Di hadapannya, sederet pakaian tergantung rapi, tapi tak satu pun yang terasa cocok."Yang ini terlalu formal," gumamnya, sambil melemparkan kemeja biru dongker yang sesaat tadi ia tempelkan di badannya. Ia berniat mengambil kemeja abu-abu, lalu buru-buru menggeleng. "Terlalu dingin. Dina bisa ngira aku mau wawancara kerja."Ia menurunkan pandangan ke kaus polo, lalu mengambil jaket denim, tapi kembali mengurungkannya. "Ini terlalu santai. Nggak sopan juga kalau aku dateng cuma pake ini."Matanya kemudian melirik ke arah kemeja bermotif bunga-bunga dan celana pendek senada, namun secepat itu pula ia mengalihkan pandangannya. Ia menarik satu jaket semi-formal. "Hmm... ini... ah, sepertinya terlalu berlebihan. "Reihan menghela napas panjang, lalu memandangi cermin dengan tatapan putus asa. Ia menatap dirinya s
Langit mendung pagi itu seolah mencerminkan perasaan Dina yang penuh waspada. Di dalam mobil yang melaju menuju kafe tempat pertemuan, tangannya saling menggenggam lebih erat dari biasanya. Ia sudah siap dengan semua kemungkinan—atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia siap.Beberapa hari lalu, Anggara mengirim pesan pendek, tapi isinya cukup untuk membuat dada Dina sesak sepanjang malam:“Dina, detektif David dapat sesuatu. Kayaknya cukup kuat buat jadi senjata utama. Besok kita ketemu ya, aku mau kamu lihat sendiri.”Hari ini, “sesuatu” itu akan terungkap. Dina parkir di depan kafe kecil yang dipilih Anggara untuk menjaga privasi. Di dalam, sudut ruangan dipilih dengan cermat—jauh dari jendela dan pengunjung lain.Anggara sudah menunggu bersama seorang pria yang segera berdiri saat melihat Dina mendekat.“Dina, kenalkan. Ini Pak David,” ujar Anggara.“Senang bertemu langsung, Bu Dina.” Suara David tenang, berwibawa. Wajahnya tak asing—ia tampak seperti salah satu karakte
Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menyatu dengan aroma kain baru dan kertas sketsa yang terbuka di atas meja. Esa sedang bermain balok warna-warni di pojok ruangan, sesekali berceloteh dengan suara kecilnya yang menggemaskan. Dina duduk di kursinya, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop, membalas pesan dari pelanggan dan menjadwalkan pengambilan barang oleh kurir. Di tengah kesibukannya, ponsel di samping laptop bergetar pelan. Nama Karissa muncul di layar. Dina segera mengangkatnya. “Halo, Karissa,” ucapnya sambil tersenyum. “Pagi, Dina! Aku cuma mau kasih kabar, jahitan batch kedua udah hampir rampung. Kalau kamu sempat hari ini, datang ke studio ya. Sekalian kita cek detail finishing-nya bareng.” Dina mengangguk, walau Karissa tentu tak bisa melihatnya. “Oke, aku akan kesana siang ini. Kamu free jam berapa ?” “Aku hari ini di studio, kamu bisa datang jam berapapun,” jawab Karissa lagi. "Sekitar jam dua aku sudah ada di sana. Terimakasih ya..." "
Langkah-langkah Reihan bergema pelan di lantai bangunan yang belum sepenuhnya rampung direnovasi. Udara sore masih membawa aroma cat baru dan kayu yang baru dipernis. Beberapa tukang sibuk mengecat tembok bagian depan, sementara yang lain membereskan peralatan di halaman.Bangunan tiga lantai itu memang belum selesai, tetapi perlahan sudah mulai menunjukkan wujudnya yang baru: terang, bersih, dan hidup.Reihan berdiri di tengah ruang lantai dasar yang kelak akan menjadi tempat Dina memulai lembaran baru. Tangannya menyentuh meja kerja panjang yang baru dipasang. Masih kosong, tapi ia sudah bisa membayangkan tumpukan kain, pita warna-warni, dan kertas pesanan yang akan mengisi meja itu suatu hari nanti. Ia bisa membayangkan Dina berdiri di sana, menggulung pita sambil menggendong Esa di sisi lain tubuhnya—sibuk, tapi bahagia.Ia tersenyum tipis. Sebagian karena senang melihat kemajuan tempat ini. Sebagian lagi karena ingatan masa lalu yang diam-diam menyeruak.Mereka sudah saling meng