Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri

Melangkah Pergi dari Suami Tak Tahu Diri

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-14
Oleh:  Dayu SAOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
15Bab
280Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Ketika hadirmu tak lagi diharapkan. Ketika bahagiamu tak lagi diupayakan. Ketika cintamu tak lagi terbalaskan. Tunggu apa lagi sayang? Putar langkahmu! Ambil langkah seribu! Tunjukkan pada suami tak bergunamu itu, jika di luar sana, masih banyak yang menginginkanmu!

Lihat lebih banyak

Bab 1

01 - Susu Untuk Anakku

"Sudah habis," keluh Dina sambil menguras kaleng susu dalam genggamannya sambil menghela napas panjang.

Esa baru tiga bulan, tapi kebutuhannya semakin banyak. Setiap hari, bayi mungil itu menghabiskan susu lebih banyak dari sebelumnya. Awalnya, mereka mampu membeli susu formula merek premium, tapi kini harus beralih ke yang lebih murah karena gaji Raka benar-benar keteteran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Dina meremas kaleng kosong itu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Ia menatap lemari dapur yang semakin kosong. Stok popok Esa juga menipis. Ada banyak hal yang harus mereka beli, tapi uang yang ada hampir habis. Sedangkan ini, baru pertengahan bulan. Dina tahu Raka sudah berusaha, tapi gajinya memang tak pernah cukup.

Saat Raka pulang malam itu, Dina segera membuatkan kopi untuknya. Setelah bekerja seharian, suaminya pasti lelah. Tapi susu Esa sudah habis sejak siang tadi, dan ia tidak bisa menunda untuk membicarakannya lagi.

"Mas Raka, susunya Esa udah habis," ujar Dina pelan sambil menyerahkan kopi pada suaminya.

Raka menerima cangkir itu, tapi bukannya menjawab baik-baik, pria itu justru menghela napas kasar. "Kamu itu ya… Suami baru pulang kerja, capek. Apa nggak bisa ngomongnya nanti saja?"

Dina menggigit bibirnya. Ia tahu Raka lelah, tapi bayi mereka sudah mulai rewel karena kelaparan.

"Tapi ini penting, Esa sudah..." katanya hati-hati.

Namun sebelum Raka sempat menjawab, suara lain menyela.

"Lagian kamu, perempuan," suara Irma, ibu mertua Dina, terdengar dari arah dapur. "Punya dua payudara besar buat apa?! ASI saja nggak ada!"

Dina langsung menegang. Hatinya terasa tertusuk oleh sesuatu yang kasat mata.

Selama ini, ia sudah cukup terbebani dengan kenyataan bahwa ia tidak bisa menyusui anaknya. Tentu saja ia tidak melakukannya secara sengaja. Ia sudah mencoba segala cara agar ASI-nya lancar. Minum obat pelancar ASI, makan makanan bergizi, bahkan mengikuti saran dokter dan bidan untuk sering menyusui. Tapi tetap saja, ASI-nya hanya keluar sedikit.

Bahkan, pernah suatu kali ia mencoba menyusui Esa sehari penuh tanpa memberi susu formula. Dengan harapan, ASI-nya akan mengalir deras seperti apa yang dikatakan dokter. Namun keesokan harinya, bayi mungil itu tampak kuning dan lemas. Setelah diperiksa, ternyata Esa mengalami dehidrasi. Saat itulah dokter menegaskan bahwa Dina harus memberi susu formula sebagai tambahan.

Mengingat semua itu, lalu mendengar sindiran dari mertuanya, membuat hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. Ia menoleh ke arah Raka, berharap suaminya memberi sedikit pembelaan. Namun, Raka hanya diam.

"Sudah, kasih bubur encer saja bayimu," lanjut Irma dengan santai. "Biar nggak terus ketergantungan susu."

Dina menggeleng cepat. "Bu, Esa baru tiga bulan. Dia belum boleh makan bubur."

Irma mendengus. "Zaman dulu, bayi seumur itu sudah dikasih pisang dikerok! Nggak rewel, nggak nyusahin orang tua!"

Dina menggigit bibirnya, menahan rasa marah dan kecewa. Demi Tuhan, bagaimana mungkin bayi sekecil Esa dipaksa makan bubur hanya karena susu dianggap boros?

Dengan wajah masam, akhirnya Raka keluar rumah untuk membeli susu. Dina menatap punggung suaminya yang menjauh, lalu menunduk, berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis di depan mertuanya.

Setelah memastikan Esa tertidur, Dina bergegas ke kamar mandi. Ia menutup pintu rapat-rapat, lalu menyalakan keran air dengan maksimal. Tangannya meraih cucian bayi yang mulai menumpuk, berpura-pura sibuk. Tapi sebenarnya, ia hanya ingin menyamarkan suara tangisnya.

Menangis di kamar mandi.

Itulah yang selalu ia lakukan setiap kali selesai berdebat dengan suami atau ibu mertuanya.

Tanpa ada teman untuk berbagi.

Tanpa ada bahu untuk bersandar.

---

Keesokan paginya, setelah semalaman berpikir, Dina memutuskan bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu.

Saat Raka bersiap-siap untuk berangkat kerja, Dina mendekatinya dengan hati-hati.

"Mas Raka," panggilnya.

Raka menoleh, masih sibuk merapikan kemejanya di depan cermin. "Apa?"

"Aku mau kerja, bagaimana menurutmu?" tanya Dina, mencoba meminta pertimbangan dari suaminya.

Raka mengernyitkan dahi. "Apa?"

"Aku mau kerja," ulang Dina. "Kita butuh uang tambahan. Susu Esa mahal, belum lagi kebutuhan sehari-hari. Aku nggak mau terus-terusan begini."

Baru saja Raka hendak merespons, suara lain lebih dulu memotong pembicaraan mereka.

"Kamu bilang apa tadi? Mau kerja?" suara nyaring Irma terdengar dari pintu dapur.

Dina langsung merasa tubuhnya menegang. Kalau sudah begini, semuanya tidak akan berakhir seperti apa yang ia harapkan.

Irma melipat tangan di dada, matanya menatap Dina tajam penuh ketidaksetujuan. "Terus kalau kamu kerja, siapa yang ngurus Esa?"

Dina menarik napas dalam. Ia sudah memikirkan ini semalaman. "Aku bisa cari pekerjaan yang jamnya fleksibel. Mungkin kerja part-time atau kerja dari rumah..."

Irma tertawa sinis. "Kerja dari rumah? Mana ada pekerjaan begitu yang bisa menghasilkan cukup uang? Kamu pikir gampang cari kerja zaman sekarang?"

Dina menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Tapi Bu, kalau aku nggak kerja, penghasilan Raka nggak cukup. Masa kita mau terus-terusan berdebat soal uang susu?"

Irma mendengus. "Dina, kamu itu perempuan. Tugasmu ya di rumah, ngurus anak, masak buat suami. Jangan kayak perempuan zaman sekarang yang nggak tahu kodrat!"

Dina mengepalkan tangannya di balik punggung. "Tapi aku juga mau bantu, Bu."

Irma mendekat, menatap Dina dengan tatapan penuh ejekan. "Dengar ya, aku ini nggak mau direpotin ngurus anak. Kalau kamu kerja, siapa yang jaga Esa? Jangan harap aku bakal susah-susah lagi!"

Dina menoleh ke Raka, berharap suaminya akan mengatakan sesuatu. Tapi Raka hanya diam.

"Bukannya aku nggak mau bantu jaga Esa," lanjut Irma. "Tapi aku juga punya kerjaan. Kalau aku harus ngurus cucu sepanjang hari, siapa yang mau kasih aku makan? Kecuali kamu bersedia menggaji aku."

Dina terdiam. Ia merasa seperti ditampar.

Ya Tuhan, ini cucunya sendiri.

Bagaimana mungkin seorang nenek berpikir seperti itu?

"Gimana menurut kamu Mas?" tanya Dina pada Raka.

Raka menghela napas, jelas tidak nyaman dengan situasi ini. "Aku nggak tahu, Dina. Aku juga nggak bisa maksa Ibu kalau dia nggak mau jaga Esa."

Dina merasa dadanya sesak. "Jadi maksudmu, aku nggak boleh kerja?"

"Bukan gitu..." Raka menggaruk tengkuknya. "Cuma... kalau kamu kerja, terus Esa gimana? Aku nggak bisa ninggalin kerjaanku buat jagain dia."

Dina ingin berteriak.

Kenapa semuanya seolah-olah menyalahkan dia?

Kenapa semua beban harus jatuh di pundaknya seorang?

"Kalau gitu, cari tempat penitipan anak!" kata Dina akhirnya.

Irma kembali terkekeh. "Cari tempat penitipan? Pakai uang dari mana? Uang buat beli susu aja susah, apalagi buat bayar TPA!"

Dina mengepalkan tangannya. Ia benar-benar merasa sendirian.

Ia hanya ingin membantu. Ia hanya ingin meringankan beban. Tapi setiap kali ia mencoba mengambil langkah, selalu saja ada penghalang.

"Jadi aku harus gimana?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar. "Aku nggak bisa menyusui, aku nggak bisa kerja, aku nggak bisa minta tolong siapa-siapa. Lantas aku harus gimana?"

Suara tangisan bayi dari arah kamar langsung mengalihkan perhatian mereka. Dina dengan cepat berlari menghampiri Esa yang saat ini tengah menatapnya sambil berderai air mata.

Perasaan bersalah langsung menghujam Dina detik itu juga. Direngkuhnya bayi itu ke dalam pelukannya sambil mengecup pipi cabi bayi itu yang selalu membuatnya gemas.

"Maafin Ibu ya Sayang, teriakan Ibu bangunin kamu ya?" lirih Dina sambil memejamkan mata. Tanpa sadar setetes air mata mengalir di pipinya.

'Aku lelah ya Tuhan, benar-benar lelah...'

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
15 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status