Dari menantu tak berharga bangkit menjadi desainer ternama. Ketika hadirmu tak lagi diharapkan. Ketika bahagiamu tak lagi diupayakan. Ketika cintamu tak lagi terbalaskan. Tunggu apa lagi sayang? Putar langkahmu! Ambil langkah seribu! Tunjukkan pada suami tak bergunamu itu, jika di luar sana, masih banyak yang menginginkanmu!
View More"Benar-benar habis," keluh Dina sambil menguras kaleng susu dalam genggamannya sambil menghela napas panjang.
Esa baru tiga bulan, tapi kebutuhannya semakin banyak. Setiap hari, bayi mungil itu menghabiskan susu lebih banyak dari sebelumnya. Awalnya, mereka mampu membeli susu formula merek premium, tapi kini harus beralih ke yang lebih murah karena gaji Raka benar-benar keteteran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Dina meremas kaleng kosong itu sebelum membuangnya ke tempat sampah. Ia menatap lemari dapur yang semakin kosong. Beras habis, minyak habis, token listrik mulai berbunyi. Stok popok Esa juga menipis. Ada banyak hal yang harus mereka beli, tapi uang yang ada hampir habis. Sedangkan ini, baru pertengahan bulan. Dina tahu Raka sudah berusaha, tapi gajinya memang tak pernah cukup untuk menutupi semua. Saat Raka pulang malam itu, Dina segera membuatkan kopi untuknya. Setelah bekerja seharian, suaminya pasti lelah. Tapi susu Esa sudah habis sejak siang tadi, dan ia tidak bisa menunda untuk membicarakannya lagi. "Mas Raka, susunya Esa udah habis," ujar Dina pelan sambil menyerahkan kopi pada suaminya. Raka menerima cangkir itu, tapi bukannya menjawab baik-baik, pria itu justru menghela napas kasar. "Kamu itu ya… suami baru pulang kerja, capek. Apa nggak bisa ngomongnya nanti saja?" Dina menggigit bibirnya. Ia tahu Raka lelah, tapi bayi mereka sudah mulai rewel karena kelaparan. "Tapi ini penting, Esa sudah..." katanya hati-hati. Namun sebelum Raka sempat menjawab, suara lain menyela. "Lagian kamu, perempuan," suara Irma, ibu mertua Dina, terdengar dari arah dapur. "Punya dua payudara besar buat apa?! ASI saja nggak ada!" Dina langsung menegang. Hatinya terasa tertusuk oleh sesuatu yang kasat mata. Selama ini, ia sudah cukup terbebani dengan kenyataan bahwa ia tidak bisa menyusui anaknya. Tentu saja ia tidak melakukannya secara sengaja. Ia sudah mencoba segala cara agar ASI-nya lancar. Minum obat pelancar ASI, makan makanan bergizi, bahkan mengikuti saran dokter dan bidan untuk sering menyusui. Tapi tetap saja, ASI-nya hanya keluar sedikit. Bahkan, pernah suatu kali ia mencoba menyusui Esa sehari penuh tanpa memberi susu formula. Dengan harapan, ASI-nya akan mengalir deras seperti apa yang dikatakan dokter. Namun keesokan harinya, bayi mungil itu tampak kuning dan lemas. Setelah diperiksa, ternyata Esa mengalami dehidrasi. Saat itulah dokter menegaskan bahwa Dina harus memberi susu formula sebagai tambahan. Mengingat semua itu, lalu mendengar sindiran dari mertuanya, membuat hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk. Ia menoleh ke arah Raka, berharap suaminya memberi sedikit pembelaan. Namun, Raka hanya diam. "Sudah, kasih bubur encer saja bayimu," lanjut Irma dengan santai. "Biar nggak terus ketergantungan susu." Dina menggeleng cepat. "Bu, Esa baru tiga bulan. Dia belum boleh makan bubur." Irma mendengus. "Zaman dulu, bayi seumur itu sudah dikasih pisang dikerok! Nggak rewel, nggak nyusahin orang tua!" Dina menggigit bibirnya, menahan rasa marah dan kecewa. Demi Tuhan, bagaimana mungkin bayi sekecil Esa dipaksa makan bubur hanya karena susu dianggap boros? Dengan wajah masam, akhirnya Raka keluar rumah untuk membeli susu. Dina menatap punggung suaminya yang menjauh, lalu menunduk, berusaha menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis di depan mertuanya. Setelah memastikan Esa tertidur, Dina bergegas ke kamar mandi. Ia menutup pintu rapat-rapat, lalu menyalakan keran air dengan maksimal. Tangannya meraih cucian bayi yang mulai menumpuk, berpura-pura sibuk. Tapi sebenarnya, ia hanya ingin menyamarkan suara tangisnya. Menangis di kamar mandi. Itulah yang selalu ia lakukan setiap kali selesai berdebat dengan suami atau ibu mertuanya. Tanpa ada teman untuk berbagi. Tanpa ada bahu untuk bersandar. --- Keesokan paginya, setelah semalaman berpikir, Dina memutuskan bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus melakukan sesuatu. Saat Raka bersiap-siap untuk berangkat kerja, Dina mendekatinya dengan hati-hati. "Mas Raka," panggilnya. Raka menoleh, masih sibuk merapikan kemejanya di depan cermin. "Apa?" "Aku mau kerja, bagaimana menurutmu?" tanya Dina, mencoba meminta pertimbangan dari suaminya. Raka mengernyitkan dahi. "Apa?" "Aku mau kerja," ulang Dina. "Kita butuh uang tambahan. Susu Esa mahal, belum lagi kebutuhan sehari-hari. Aku nggak mau terus-terusan begini." Baru saja Raka hendak merespons, suara lain lebih dulu memotong pembicaraan mereka. "Kamu bilang apa tadi? Mau kerja?" suara nyaring Irma terdengar dari pintu dapur. Dina langsung merasa tubuhnya menegang. Kalau sudah begini, semuanya tidak akan berakhir seperti apa yang ia harapkan. Irma melipat tangan di dada, matanya menatap Dina tajam penuh ketidaksetujuan. "Terus kalau kamu kerja, siapa yang ngurus Esa?" Dina menarik napas dalam. Ia sudah memikirkan ini semalaman. "Aku bisa cari pekerjaan yang jamnya fleksibel. Mungkin kerja part-time atau kerja dari rumah..." Irma tertawa sinis. "Kerja dari rumah? Mana ada pekerjaan begitu yang bisa menghasilkan cukup uang? Kamu pikir gampang cari kerja zaman sekarang?" Dina menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Tapi Bu, kalau aku nggak kerja, penghasilan Raka nggak cukup. Masa kita mau terus-terusan berdebat soal uang susu?" Irma mendengus. "Dina, kamu itu perempuan. Tugasmu ya di rumah, ngurus anak, masak buat suami. Jangan kayak perempuan zaman sekarang yang nggak tahu kodrat!" Dina mengepalkan tangannya di balik punggung. "Tapi aku juga mau bantu, Bu." Irma mendekat, menatap Dina dengan tatapan penuh ejekan. "Dengar ya, aku ini nggak mau direpotin ngurus anak. Kalau kamu kerja, siapa yang jaga Esa? Jangan harap aku bakal susah-susah lagi!" Dina menoleh ke Raka, berharap suaminya akan mengatakan sesuatu. Tapi Raka hanya diam. "Bukannya aku nggak mau bantu jaga Esa," lanjut Irma. Merasa jika ucapannya tadi sedikit keterlaluan. "Tapi aku juga punya kerjaan. Kalau aku harus ngurus cucu sepanjang hari, siapa yang mau kasih aku makan? Kecuali kamu bersedia menggaji aku." Dina terdiam. Ia merasa seperti ditampar. Ya Tuhan, ini cucunya sendiri. Bagaimana mungkin seorang nenek berpikir seperti itu? "Gimana menurut kamu Mas?" tanya Dina pada Raka. Raka menghela napas, jelas tidak nyaman dengan situasi ini. "Aku nggak tahu, Dina. Aku juga nggak bisa maksa Ibu kalau dia nggak mau jaga Esa." Dina merasa dadanya sesak. "Jadi maksudmu, aku nggak boleh kerja?" "Bukan gitu..." Raka menggaruk tengkuknya. "Cuma... kalau kamu kerja, terus Esa gimana? Aku nggak bisa ninggalin kerjaanku buat jagain dia." Dina ingin berteriak. Kenapa semuanya seolah-olah menyalahkan dia? Kenapa semua beban harus jatuh di pundaknya seorang? "Kalau gitu, cari tempat penitipan anak!" kata Dina akhirnya. Irma kembali terkekeh. "Cari tempat penitipan? Pakai uang dari mana? Uang buat beli susu aja susah, apalagi buat bayar TPA!" Dina mengepalkan tangannya. Ia benar-benar merasa sendirian. Ia hanya ingin membantu. Ia hanya ingin meringankan beban. Tapi setiap kali ia mencoba mengambil langkah, selalu saja ada penghalang. "Jadi aku harus gimana?" tanyanya, suaranya nyaris bergetar. "Aku nggak bisa menyusui, aku nggak bisa kerja, aku nggak bisa minta tolong siapa-siapa. Lantas aku harus gimana?" Suara tangisan bayi dari arah kamar langsung mengalihkan perhatian mereka. Dina dengan cepat berlari menghampiri Esa yang saat ini tengah menatapnya sambil berderai air mata. Perasaan bersalah langsung menghujam Dina detik itu juga. Direngkuhnya bayi itu ke dalam pelukannya sambil mengecup pipi cabi bayi itu yang selalu membuatnya gemas. "Maafin Ibu ya Sayang, teriakan Ibu bangunin kamu ya?" lirih Dina sambil memejamkan mata. Tanpa sadar setetes air mata mengalir di pipinya. 'Aku lelah ya Tuhan, benar-benar lelah...'Udara pengap bercampur ketegangan, membuat ruangan terasa lebih kecil daripada biasanya. Satu per satu, hadirin yang datang mencuri pandang ke arah Dina. Sorot matanya tidak gentar, hanya fokus dan tekad yang jelas. Ini bukan hanya soal dirinya. Ini tentang keadilan, tentang anaknya, dan tentang harga dirinya yang dulu pernah diinjak-injak.Di sisi lain, Raka tampak canggung. Meski mengenakan jas formal dan duduk dengan postur tegak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Sesaat lalu ia mendengar bisikan dari pengacaranya jika pihak Dina mungkin menemukan beberapa bukti tindakan pidana yang bisa memberatkannya. Raka meremas sandaran kursi di sebelahnya. Bukankah dirinya sudah bermain dengan sangat rapi? Helena yang menjadi salah satu pion dalam rencananya saja tidak sadar sama sekali. Jadi bukti apa yang mungkin ditemukan oleh pihak Dina?Di sebelahnya, pengacara mudanya sibuk membolak-balik berkas, berusaha mempertahankan ketenangan yang perlahan mulai mengelupas.“Sidan
Gedung pengadilan itu menjulang angkuh, namun hari itu, langkah Dina tetap tegak. Ia berdiri di bawah langit mendung, mengenakan blus putih gading dan celana panjang hitam yang rapi. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam hatinya.Ia tentu saja tidak datang sendirian. Di sisi kirinya berdiri Celia, menggenggam tangan Dina seerat mungkin sejak mereka pertama kali melangkahkan kaki di area pengadilan. Di belakangnya, Anggara tampak serius dalam setelan jas abu-abu gelap. Terlihat sedang berbicara serius dengan pengacara mereka. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh keberpihakan. Tidak jauh dari mereka, Darmawan berdiri didampingi dua putra lainnya—Adrian dan Ariasa—yang jarang memiliki waktu luang, namun hari itu menyempatkan diri hadir demi adik perempuan mereka.Dina menarik napas dalam-dalam. Matanya menelusuri satu per satu wajah orang yang berdiri di sekitarnya. Mereka ada di sana bukan hanya sebaga
Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Reihan sudah berdiri di depan lemari pakaiannya. Tangannya bersedekap, lalu turun, lalu naik lagi untuk menggaruk kepala. Di hadapannya, sederet pakaian tergantung rapi, tapi tak satu pun yang terasa cocok."Yang ini terlalu formal," gumamnya, sambil melemparkan kemeja biru dongker yang sesaat tadi ia tempelkan di badannya. Ia berniat mengambil kemeja abu-abu, lalu buru-buru menggeleng. "Terlalu dingin. Dina bisa ngira aku mau wawancara kerja."Ia menurunkan pandangan ke kaus polo, lalu mengambil jaket denim, tapi kembali mengurungkannya. "Ini terlalu santai. Nggak sopan juga kalau aku dateng cuma pake ini."Matanya kemudian melirik ke arah kemeja bermotif bunga-bunga dan celana pendek senada, namun secepat itu pula ia mengalihkan pandangannya. Ia menarik satu jaket semi-formal. "Hmm... ini... ah, sepertinya terlalu berlebihan. "Reihan menghela napas panjang, lalu memandangi cermin dengan tatapan putus asa. Ia menatap dirinya s
Langit mendung pagi itu seolah mencerminkan perasaan Dina yang penuh waspada. Di dalam mobil yang melaju menuju kafe tempat pertemuan, tangannya saling menggenggam lebih erat dari biasanya. Ia sudah siap dengan semua kemungkinan—atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia siap.Beberapa hari lalu, Anggara mengirim pesan pendek, tapi isinya cukup untuk membuat dada Dina sesak sepanjang malam:“Dina, detektif David dapat sesuatu. Kayaknya cukup kuat buat jadi senjata utama. Besok kita ketemu ya, aku mau kamu lihat sendiri.”Hari ini, “sesuatu” itu akan terungkap. Dina parkir di depan kafe kecil yang dipilih Anggara untuk menjaga privasi. Di dalam, sudut ruangan dipilih dengan cermat—jauh dari jendela dan pengunjung lain.Anggara sudah menunggu bersama seorang pria yang segera berdiri saat melihat Dina mendekat.“Dina, kenalkan. Ini Pak David,” ujar Anggara.“Senang bertemu langsung, Bu Dina.” Suara David tenang, berwibawa. Wajahnya tak asing—ia tampak seperti salah satu karakte
Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menyatu dengan aroma kain baru dan kertas sketsa yang terbuka di atas meja. Esa sedang bermain balok warna-warni di pojok ruangan, sesekali berceloteh dengan suara kecilnya yang menggemaskan. Dina duduk di kursinya, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop, membalas pesan dari pelanggan dan menjadwalkan pengambilan barang oleh kurir. Di tengah kesibukannya, ponsel di samping laptop bergetar pelan. Nama Karissa muncul di layar. Dina segera mengangkatnya. “Halo, Karissa,” ucapnya sambil tersenyum. “Pagi, Dina! Aku cuma mau kasih kabar, jahitan batch kedua udah hampir rampung. Kalau kamu sempat hari ini, datang ke studio ya. Sekalian kita cek detail finishing-nya bareng.” Dina mengangguk, walau Karissa tentu tak bisa melihatnya. “Oke, aku akan kesana siang ini. Kamu free jam berapa ?” “Aku hari ini di studio, kamu bisa datang jam berapapun,” jawab Karissa lagi. "Sekitar jam dua aku sudah ada di sana. Terimakasih ya..." "
Langkah-langkah Reihan bergema pelan di lantai bangunan yang belum sepenuhnya rampung direnovasi. Udara sore masih membawa aroma cat baru dan kayu yang baru dipernis. Beberapa tukang sibuk mengecat tembok bagian depan, sementara yang lain membereskan peralatan di halaman.Bangunan tiga lantai itu memang belum selesai, tetapi perlahan sudah mulai menunjukkan wujudnya yang baru: terang, bersih, dan hidup.Reihan berdiri di tengah ruang lantai dasar yang kelak akan menjadi tempat Dina memulai lembaran baru. Tangannya menyentuh meja kerja panjang yang baru dipasang. Masih kosong, tapi ia sudah bisa membayangkan tumpukan kain, pita warna-warni, dan kertas pesanan yang akan mengisi meja itu suatu hari nanti. Ia bisa membayangkan Dina berdiri di sana, menggulung pita sambil menggendong Esa di sisi lain tubuhnya—sibuk, tapi bahagia.Ia tersenyum tipis. Sebagian karena senang melihat kemajuan tempat ini. Sebagian lagi karena ingatan masa lalu yang diam-diam menyeruak.Mereka sudah saling meng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments