Di dalam kamar sebesar ini aku betul-betul merasa hampa dan sendirian. Tak ada teman mengobrol untuk sekadar berbagi cerita. Selepas menata pakaian yang kubawa ke dalam lemari milik kost, aku memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh sekaligus penat. Meskipun mandi di dalam tempat yang bersih dan wangi plus air hangat, tetap saja jiwa ini rasanya benar-benar kosong. Lama sekali aku melamun sembari membiarkan tubuhku dialiri air dari shower yang berada tepat di atas kepala. Sibuk memikirkan nasib apa yang bakal kutelan pada episode kehidupan nanti. Huft, andai bisa memilih takdir, sudah pasti aku tak ingin melalui pahit getir bagian seperti ini. Hidup tenang, rumah tangga ayem, ekonomi yang mapan adalah impian besarku. Namun, sayang. Semua mungkin tinggal angan belaka. Status janda yang tak pernah kuidam-idamkan, bakal tersemat di depan nama.
Usai mandi, aku hanya duduk di atas ranjang sembari menonton
PoV Rauf Buru-buru aku meninggalkan RS Citra Medika dengan sepeda motor dan berniat untuk menjemput Lestari di minimarket. Kupacu kencang laju kendaraan agar bisa tiba di sana dalam waktu singkat. Urusanku sangat banyak hari ini. Satu per satu permasalahan harus segera diselesaikan. Bukan apa-apa, aku ingin rumah tanggaku bisa kembali normal. Risa pulang ke rumah dan melayani dengan semestinya, serta Lestari yang hanya gundik itu tak menuntuk banyak plus mengharap lebih dariku. Aku ingin hidupku kembali seperti biasa! Sesampainya di parkiran minimarket, aku duduk menunggu di atas motor. Tak perlu menunggu waktu lama, Lestari keluar dengan membawa helm dan tas kerjanya. Wajah perempuan itu tampak lesu. Langkahnya pun gontai tak bersemangat. Dia pasti masih memikirkan kejadian tadi pagi.&nb
PoV Rauf “Aku pulang! Kalau besok ternyata kamu tidak keguguran juga, aku akan cari jalan lain. Jangan pikir kalau aku bakal tanggung jawab, ya!” Aku mendorong kepala Lestari hingga perempuan itu terantuk cukup keras di dinding. Tangisnya masih kudengar histeris. Namun, aku tak ambil peduli. Bergegas aku pergi meninggalkan kontrakan milik selingkuhanku tersebut. Kupacu seger sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan, pikiranku kalut. Benar-benar pusing dengan himpitan hidup yang kian menyiksa. Kenapa Tuhan begitu tega memberikan cobaan? Salahku apa? Setahuku, aku sudah banyak berbuat baik di dunia ini. Menyekolahkan anak yatim, membantu keluarga miskin macam Lestari. Akan tetapi, mengapa malah dua begundal yang sudah kubantu itu kini berbali
Mobil dr. Vadi terus melaju, sementara dua insan yang sedang berada di dalamnya hanya dapat diam membisu tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar sedang dilanda kikuk. Sebagai perempuan normal, wajar bukan kalau sikapku begini setelah mendengarkan ucapan dr. Vadi yang rasa-rasanya membuat dada ini bagaikan diaduk-aduk? Tidak, aku sebenarnya tak ingin gede rasa. Namun, tak bisa ditampik bahwa aku ... ah, sulit untuk dijelaskan! Ya, sudahlah. Biarkan aku larut dalam anggapanku sendiri, begitu juga dengan dr. Vadi. Laju kendaraan dr. Vadi tiba-tiba melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan tembok beton tinggi yang melindungi sebuah bangunan megah dengan kerlip lampu-lampu taman warna kuning. Aku tidak tahu ini rumah siapa dan mau ngapain kami berhenti di depan sini. 
Setelah saling diam di sepanjang perjalanan, kami akhirnya sampai juga di sebuah parkiran basement sebuah mal besar di kota ini. Dr. Vadi menghentikan mobilnya setelah memastikan mobil terparkir dengan presisi di tempatnya. “Ayo,” katanya sembari melepas seat belt dan mematikan mesin. Aku hanya mengangguk dan mengikuti geraknya. Keluar mobil dan berjalan beriringan dengan lelaki yang berpakaian bagai ingin main ke rumah tetangga tersebut. “Pelan-pelan, nanti aku jatuh,” kataku sembari sedikit mengejar dr. Vadi yang mempunyai langkah panjang tersebut. Dr. Vadi seketika menghentikan langkahnya. Menoleh dengan wajah datar sehingga membuatku sedikit tak enak hati.&
PoV Rauf “I-itu ....” Lidahku benar-benar kelu. Aku tak yakin alasan apa yang bisa membuat Mama percaya. “Kamu berselingkuh, Uf?” Mama membelalakkan kedua matanya. Spontan membuatku kalang kabut dan serasa kehilangan pijakkan. “Jawab, Uf!” Mama mencengkeram kerah jaketku. Aku tak menyangka bahwa dia akan semarah ini saat tahu bahwa aku main serong. “Ini karena Risa, Ma. Dia tidak melakukan kewajibannya sebagai istri dengan baik.” Akhirnya, bibirku lancar juga mengeluarkan sebuah statement. Mata Mama masih membeliak. Dia seakan masih tak percaya dengan ucapanku. &l
PoV Lestari “Uek! Uek!” Sesaat setelah kepergian Mas Rauf dari kontrakan, aku pun tak mau menunggu lama lagi buat memuntahkan semua isi perut. Jamu peluruh haid tadi harus keluar! Bagaimana pun caranya. “Tari! Tari, kamu nggak apa-apa?” Rizka menghambur padaku. Tangannya langsung cekatan mengurut tengkuk. “Uek!” Tak bisa berucap lagi, aku hanya bisa muntah. Terus mengeluarkan cairan jamu berwarna cokelat tersebut bercampur dengan sisa makanan yang belum tecerna. “Banyak sekali muntahmu, Ri. Ya Allah, kasihan kamu. Kita ke dokter kah?” Suara Rizka panik. Tangannya terus mengurut tengkukku, membuat lebih rileks dan nyaman. 
Bagian 24PoV Lestari “Ayo, cepat! Jangan cengeng, Tari! Hidup kita ini sudah susah, jangan ditambah susah lagi dengan laki-laki seperti pacarmu itu!” Rizka benar-benar menarik tanganku. Dia bahkan tidak mempedulikan tangisku yang semakin membanjir. Helm yang kukenakan bahkan dia yang melepaskannya. Sambil berurai air mata, langkahku terus dipimpin oleh Rizka masuk ke ruang IGD. Rasanya aku sangat malu. Terlebih ketika berpasang-pasang mata tertuju padaku. Di dalam ruangan yang berisi tiga buah bilik bersekat korden warna hijau yang tak ada pasiennya sama sekali, kami berjalan terus ke arah pojok kanan ruangan, tepatnya pada meja yang ditempati oleh tim medis maupun paramedis yang berjaga.&n
Bagian 25PoV dr. Vadi Dua tahun bekerja sama dengan seorang suster tua bernama Bu Maria, membuat karierku sebagai dokter umum yang melayani poli rawat jalan di sebuah RS swasta bernama Citra Medika ini, ya ... dapat dikatakan tanpa warna. Bagaimana tidak. Selain kaku dan terlalu formal, beliau juga cerewet. Tak bisa leluasa untuk kusuruh-suruh. Kadang aku merasa tertekan sendiri. Merasa kalau aku ini yang sebenarnya bawahan Bu Maria. “Dok, kalau periksa pasien itu jangan lama-lama! Buang waktu! Kan saya maunya kita pulang cepat.” “Dok, kalau ngomong sama pasien itu jangan bertele-tele. To the point!” “Besok saya izin ya, Dok. Anak saya mau tunangan. Pengg