Share

Berita Mengejutkan

Nampak Bu Naji menenteng belanjaan dua kantong kresek merah besar baru mendudukkan diri di kursi kayu sampingku.

"Buk, saya bungkusin seperti biasa," ujarnya pada pemilik warung. Tanpa bertanya apapun, wanita yang baru saja berbincang denganku itu menuju bagian belakang warungnya. Sepertinya Bu Naji sudah langganan di sini.

"Bawa apa kamu itu, Ra?"

"Ini, mie kuning, Bu."

Bu Naji terkekeh sebelum menjawab, "Lawatan? Mau jual buat makan, ya?" Ejeknya agak keras sambil mencomot gorengan yang tertata apik di hadapan.

Aku malu pada pelanggan lain yang seolah menatapku prihatin. Kenapa ketemu di sini, sih! Nanyanya juga gak pakai kira-kira lagi. Tetanggaku yang satu ini memang ajaib, kadang seperti malaikat, membantu tanpa pamrih kadang juga kayak gini ini, pengin tak sleding, hih! 

Aku hanya menanggapi pertanyaan Bu Naji dengan anggukkan kepala yang kutundukkan dalam-dalam setelahnya untuk menutupi rasa maluku.

"Mangkannya, Ra, Ibu nyuruh kamu misahin beras lawatan, ya biar ini. Supaya rezeki kamu itu lancar, ndak perlu pontang-panting gini. Ndak nurut, sih! Semua perkataan orang dulu itu pasti ada maksudnya, gak asal ceplos bikin peraturan," cerocosnya.

"Ini Buk uangnya, sisanya ambil saja." 

Bu Naji berlalu setelah menenteng pesanannya.

"Neng Ira kenal?", tanya pemilik warung sambil mengisyaratkan kepalanya menunjuk pada Bu Naji.

"Iya Bu, tetangga saya."

"Oo, duitnya banyak ya, Neng, padahal janda. Emang punya bisnis apa Ibu itu?"

"Ibu tau dari mana duitnya banyak?" Tanyaku sambil mengangkat alis, heran.

"Lah itu, setiap bulan pasti bagi-bagi makanan, kadang juga amplop. Pernah juga Ibu dikasih lihat koleksi perhiasannya, buanyak banget, Neng."

Aku semakin mengerutkan kening mendengar ungkapan ibu pemilik warung ini, "Ah, menurut saya Bu Naji biasa saja. Beliau hanya menerima orderan kue dan nasi kotak di rumahnya. Mungkin memang lagi rame, musim orang hajatan. Atau bisa juga Aryo, anaknya yang kerja di kota itu yang sukses, sampai bisa ngirim uang banyak. Entah, bukan urusan saya."

"Sudah Buk, pinten?" Lanjutku tanpa memberi jeda untuk Ibu di hadapanku berkomentar.

Aku keluar dari warung setelah menyerahkan uang pas dan menuju pangkalan becak untuk pulang. Mie yang masih bersisa ini gampang, lah. Untuk stok besok-besok, mana tahu butuh.

***

Dari teras rumah, kulihat Pak RT dan Bu Naji sedang berbincang serius di teras Bu Nia. Sedang Bu Nia menyuapkan makanan pada balitanya memunggungi mereka.

"Terserah Ibu kalau gitu, yang pasti saya sudah mengingatkan!"

Terdengar suara Pak RT meninggi sebelum meninggalkan Bu Naji yang melengos dan Bu Nia yang melongo.

"Nguping, kamu?!" Saking fokusnya melihat Pak RT, aku sampai tak sadar jika Bu Naji sudah di depanku.

"Tidak Bu, cuma ngadem aja," jawabku.

"Halah! Sama saja!" Bentaknya sambil berlalu. Kok penting banget kayaknya, ya? Ah, bukan urusanku. 

Hendak memasuki rumah, telingaku berdengung, lebih keras dari biasanya sampai aku mengedikkan bahu berkali-kali karena merasa tak nyaman.

Masuk kamar bapak untuk mencoba mencari petunjuk meski belum sempat menemui Pak War lagi. Kubuka lemari pakaiannya, sekalian memilah mana yang masih bagus dan layak disumbangkan. Daripada teronggok tak berguna di sini, bisa nambah pahala untuk bapak kalau diberikan pada yang membutuhkan.

Pagi tadi ketemu Bu Naji di Kang Sayur, tapi lupa mau nanyain Pak War.  Jadi harus beneran nyamperin ke rumah Bu Naji sendiri, deh. Sebenarnya cuma pengin tau lebih banyak tentang kerja sama mereka itu, tapi gak enak kalau kesana enggak ada alasannya. Nanti Bu Naji nanya macem-macem lagi. 

Wah, ternyata baju bapak begitu banyak. Lemari yang hanya empat susun ini ternyata terdapat empat tumpukan baju dan sarung bapak di setiap susunnya. Yang terlihat memang hanya dua tumpuk, padahal di belakangnya masih ada tumpukan lagi. Sebanyak ini, lalu kenapa selama ini Bapak cuma pakai baju itu-itu saja, ya.

"Banyak juga yang masih baru sepertinya, nanti Pak War akan aku kasih, biar ada alasan menemuinya," gumamku senang.

Saat menurunkan baju di susunan paling bawah tiba-tiba papan kayunya ikut tergeser, menyembulkan seperti map berwarna biru di dalamnya. Penasaran, kutarik saja papan tersebut sekalian.

Unik sekali, ternyata di bagian paling bawah lemari ini ada 'selorokan' (baca:laci) yang tak terlihat dari luar. Hanya terlihat jika susunan lemari paling bawah kosong karena papan kayu yang menutupinya tidak menutup sempurna. Ku lihat ada tiga buah kotak makan berukuran sedang dan beberapa map di dalamnya.

"Pak, Ira ijin mau buka ini semua," lirihku sebelum mengambil benda-benda dalam laci rahasia ini.

Dimulai dari kotak hijau muda dengan tutup berwarna kuning.

Krak!

Terbuka.

Silau! 

Wah, kotak ini berisi berbagai macam perhiasan dengan berbagai bentuk. Cincin, gelang dan kalung dengan berbagai model. Entah murni atau imitasi, yang jelas begitu indah. Mungkin ini milik Ibu, tapi kenapa tidak diberikan padaku saja ya, toh anak gadisnya sudah dewasa. Kan lebih seger lihatnya kalau pake ginian. Bukti kuat ini, kalau cerita Pak War memang benar.

Beralih ke kotak kedua, kotak berwarna biru dengan tutup senada. 

Berat!

Kotak ini lebih berat dan besar dari kotak pertama. Kutebak isinya, pasti emas batangan yang diceritakan Pak War tempo hari. Jadi ingin segera mengabari Beliau, kalau emas-emas ini sudah kutemukan. Susah payah aku membuka kotak ini.

"Srksrek ... srekk ... tes ... tes." Terdengar suara bising toa masjid.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Berita duka, innalillahi wainna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah. Nama, Bapak Warjo Ramdhani atau Pak War ...."

Aku tersentak, tubuhku gemetaran sambil mendengarkan ulang siaran tersebut.

Tak salah dan tak berubah, Pak War ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status