Share

Pasar

Dia adalah Aryo, anaknya Bu Naji. Bagaimana aku bisa lupa, ya, pada kakak kelasku yang baik hati itu, dasar aku!

"Hayo! Ngapain?!"

Aku berjingkat kaget. Ternyata ada Bu RT dibelakangku, dia menenteng barang belanjaan, sepertinya terhalang jalannya olehku yang diam agak lama di sini. Hihi.

"Eh, itu, Bu, lihat Pak War," gugupku.

"Pak War yang muda apa yang tua? Haha," goda Bu RT sambil berjalan terbahak melewatiku menuju rumahnya yang bersebelahan dengan Bu Naji.

Ih, beneran yang muda kok, Bu. Eh.

Sebenarnya ingin ketemu Pak War sih, pengin tau lebih banyak hal. Tapi sekarang gak tepat, besok-besok saja jika aku luang.

***

Hari ini rencananya aku akan ke pasar menjual sembako lawatan untuk bertahan hidup. Setelah kupikir, lebih baik mengikuti saran Mpok Siti kemaren supaya lekas terjual, keburu ngapang (menjamur) juga sembakonya. Nanti sekalian mau cari  lowongan kerja di toko pasar. Siapa tahu ada yang butuh tenagaku menjaga tokonya.

Terik matahari tak menyurutkan semangatku. Terus kuayunkan kaki ini  mengitari pasar. Keluar masuk dari satu toko ke toko lain yang berjajar di dalam maupun luar pasar. Alhamdulillah, tinggal dua puluh buah mie kuning yang belum bertuan. Kuputuskan beristirahat dahulu, menikmati segelas es teh manis di warung kopi pojok pasar, pasti nikmat. Ah, warung itu, warung dengan sejuta  kenangan manis bersama bapak. 

Meski belum ada toko yang mau menerimaku bekerja, tapi aku tetap bersyukur karena uang yang kudapat hari ini lebih dari cukup untuk menyambung hidup selama seminggu kedepan.

Kalian pasti berpikir kenapa tidak kujual saja batangan emas yang diberi Pak War tempo hari, jawabannya karena aku masih belum yakin. Bisa saja ada maksud lain dibalik cerita Pak War, kan? Karena cerita dan realitanya sangat berbanding terbalik. Mengingat sudah lama juga aku tak bertemu dengannya. Kepribadian manusia tidak ada yang tahu kapan berubahnya. Pak War memang baik, tapi itu dulu. Sekarang, mana aku tahu? Iya, nanti akan kucoba menggeledah kamar bapak. Jika sampai kutemukan satu saja bukti yang menunjukkan kejujuran ucapan Pak War, maka akan kueksekusi emas-emas itu.

"Es teh satu, Buk." 

Kuenyakkan bokong di kursi kayu dalam warung sederhana ini, adem rasanya.

"Neng Ira ya, tumben sendiri? Bapak masih narik ya, Neng?"

"Em, anu Buk, bapak, bapak saya sudah gak ada." 

"Innalillahi ... serius Neng? Pak Tar, kan? Bukannya kapan hari masih kelihatan mangkal?" Ucap Ibu pemilik warung tak percaya.

"Ibu salah lihat kali, bapak saya meninggal sekitar tiga minggu lalu, kecelakaan."

Entah mengapa, kejadian di hari itu kembali terlintas dalam ingatanku. Waktu itu aku tengah menjemur baju di halaman, saat bapak berjalan sempoyongan pamit berangkat ngojek. Seminggu sebelum itu, Bapak sempat demam tiga hari. Sembuh, tapi setiap hari selalu bilang persendiannya lemas semua.

"Kamu jaga diri ya, Nak, perasaan bapak kurang enak. Beberapa hari ini seperti dimata-matai."

Aku tertegun sejenak, tapi hanya sebentar, langsung kuanggukkan kepala dan mencium takdzim tangan bapak. Mencegahnya pun percuma, karena bapak pasti akan berdalih, 'demi kelangsungan hidup'. Kalau gak ngojek, besok makan apa? Seperti katanya tiga hari lalu saat kucegah untuk berangkat ngojek, padahal saat itu tubuhnya baru pulih setelah menggigil semalaman.

Siapa sangka, itulah nasihat terakhir bapak karena tiga jam setelahnya, tepat jam sebelas siang, Pak RT datang membawa kabar duka itu, bapak kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian. Tidak diketahui pasti, bapak menabrak atau ditabrak, karena tidak ada saksi mata saat kejadian berlangsung. Aku yang seorang rakyat kecil tak ingin mempersulit diri dengan melapor ke pihak berwajib, bisa panjang urusannya.

"Maaf Neng ya, Ibu ndak tau, pantes ndak pernah mampir sini, tak pikir punya langganan baru. Ternyata ...."

"Ira, di sini? Beli apa?"

Fokusku pada pemilik warung buyar saat mendengar suara itu. Seperti tak asing.

Saat aku menoleh ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status