Share

Wajah Dalam Tumpukan Map

"Ya Allah .... " gumamku dengan dada yang terasa sesak seperti ada ribuan benda yang menghimpit.

Entah mengapa, ada rasa sesal dan kecewa yang sangat mendominasi di hatiku. Mengapa secepat ini? Bukankah banyak hal yang masih belum kutanyakan?.

Segera kuletakkan kembali kotak-kotak ini dan mengunci pintu lemari Bapak. Biarlah baju-baju ini berserak dulu, aku akan ke rumah Bu Naji sebentar. Jika melayat tidak dibolehkan, ya sudah aku kesana tanpa membawa lawatan. Biasanya jika di hari pertama begini banyak orang yang masih menanyakan kronologi kematiannya. Aku juga ingin tahu kenapa mendadak seperti ini.

Di luar kulihat Bu Nia dan Bu Sita berjalan beriringan menuju arah rumah Bu Naji. Santai sekali mereka, pikirku. Mereka berjalan sambil mengobrol dan sesekali tertawa lepas. Aku mempercepat langkah agar segera sampai.

"Kenapa di kubur sini ya Bu? Kan rumahnya di kota." 

Ku dengar Bu Sita bertanya pada Bu Nia. Terdengar jelas karena posisiku mengekor di belakang mereka.

"Sampean ini gimana toh Bu, wong meninggalnya di sini, ya di kubur sini. Kalau di kota siapa yang mau ngurusin?"

"Yo keluargane! wong sugeh kan, ora mbambong." (Keluarganya lah! orang kaya kan, bukan gelandangan.)

"Keluarga gimana?! Pak War itu belum nikah, jek bujang. Cuma Bu Naji ini keluarganya."

"Loh, masa? Terus di kota sama siapa?"

"Sama Aryo, kan Pak War itu sukses karena kerja sama dengan Aryo, anaknya Bu Naji itu. Mangkannya hidup Bu Naji tetep makmur meski janda nganggur."

Mereka lantas mengakhiri obrolan dengan tawa yang renyah. Sedang aku, merasa ada yang janggal dengan ucapan Bu Nia. Dadaku terasa sesak kembali. Pak War, aku masih belum lega dengan pertemuan kita kemaren itu, rasanya seperti kehilangan batu permata saja aku ini.

Bruk! 

Aduh. Sudah sampai ternyata. Terlalu larut dalam pikirku, tak terasa aku menabrak punggung Bu Nia. "Maaf, gak lihat saya Bu," ucapku sambil nyengir kuda.

Tanpa menanggapi, Bu Nia langsung masuk ke dalam. Sedang aku memilih berjalan ke samping rumah menuju pintu belakang. Lebih baik begini dari pada mendapat tatapan tak mengenakkan dari ibu-ibu di ruang tamu.

Ternyata jenazah akan dimandikan di pekarangan belakang rumah Bu Naji. Itu berarti aku harus berdesakan dengan bapak-bapak yang mengangkut alat-alat untuk memandikan karena jarak antara tembok rumah Bu Naji dan Pak RT hanya satu meter. Sebelah kiri rumah Bu Naji ada klinik yang tak terpakai, tapi jarak antar temboknya tidak memungkinkan untuk di lewati. Bagaimana lagi, inilah satu-satunya jalan menuju pintu belakang. 

"Ini nanti apa ada keluarga yang ikut memandikan, Pak? Saya lihat kotorannya lumayan banyak." Kudengar seperti suara Pak Modin dari balik tirai ini.

"Ndak ada, Pak. Satu-satunya ponakan lelakinya baru balik ke kota," sahut suara seseorang yang ku taksir Pak RT.

Memasuki dapur, aku langsung bergabung dengan ibu-ibu yang mulai mengolah beberapa bahan makanan. Kesempatan seperti inilah, yang biasa digunakan para tetangga kami untuk mengorek informasi mengenai kejadian yang masih hangat ini.

"Tadi kulitnya kayak warna biru gitu ya, sakit apa sih Pak War itu, Bu RT?" Obrolan ibu-ibu dimulai, ini yang kucari. Aku merapatkan duduk untuk menyimak.

"Kemaren ngobrol sama saya sehat-sehat aja Pak War itu, malah bilang kalau besok mau balik kota. Tapi semalam tiba-tiba diare, terus pagi tadi demam, kulitnya membiru kayak habis digebukin, kejang sebentar terus ndak ada itu, kata Bu Naji. Tapi memang iya, semaleman saya dengar ada orang bolak-balik ke kamar mandi di belakang, kan kamar mandinya Bu Naji di luar rumah, jadi kedengeran jelas banget. Tak pikir yo Bu Naji diare biasa, salah makan gitu. Eh ternyata subuh tadi baru saya tahu, kalau yang diare itu Pak War, ber*knya itu berdarah Ibu-ibu. Baru ketahuan pagi, pas orangnya demam itu, kan udah gak kelar ke kamar mandi, jadi BAB di kasur. Saat itulah, Bu Naji sama saya panik luar biasa. Saya sama suami mau pinjam mobil kelurahan buat ngantar ke rumah sakit di kota, tapi pas saya udah dapat mobilnya, eh, orangnya udah gak ada," jelas Bu RT panjang lebar.

"Emang orangnya hidup di kota kan ya, keluarga sini mana tahu punya penyakit apa. Mana tahu beneran punya alergi sama satu makanan, terus kemaren gak sengaja kemakan, misalnya. Akhirnya berdampak diare sampai berujung kematian kayak gini," ucap Bu Sita antusias.

"Eh, lah anaknya Bu Naji itu, kan selama ini hidup di kota sama almarhum, ya. Mungkin aja tahu penyakit yang diderita pamannya?" lanjutnya.

"Kata Aryo sih, gak pernah ke rumah sakit. Tadi malah Aryo bilang, udah waktunya aja, gitu," tutur Bu RT sambil tampak berpikir.

"Bu Naji itu tadi sampek lupa ngabari anaknya sangking paniknya. Baru saya ke sini ini tak ingatkan nelpon anaknya. Tapi yo tetep ndak bisa pulang Si Aryo, wong kemaren pagi baru berangkat setelah beberapa hari di sini."

Obrolan ini berhenti ketika bapak-bapak di luar menyerukan kalimat tahlil pertanda jenazah akan diberangkatkan. Hampir semua ibu-ibu berlomba keluar untuk melihat keberangkatan kereta beroda manusia itu, tak terkecuali diriku.

Dari sini, yang tampak bukanlah wajah-wajah bersedih melainkan prihatin. Mungkin dari sekian banyak orang yang hadir hanyalah Bu Naji yang merasa kehilangan karena hanya beliaulah keluarga dari almarhum. 

Aku sendiri juga merasa kehilangan, kehilangan petunjuk lebih tepatnya. Andai diberi pilihan, aku lebih memilih tidak tahu sama sekali mengenai masalah harta ini daripada hanya menjadi teka-teki yang membuat kepalaku pening.

***

Hari-hariku disibukkan dengan rewang di rumah Bu Naji. selama itu, tidak ada yang menegurku seperti sebelumnya. Selama itu pula, Bu Naji lebih banyak mengurung diri di kamar, hanya berbicara seperlunya jika dirasa penting.

Semua tetek bengek perjamuan lebih banyak dikoordinir Bu RT, karena hanya Beliaulah tetangga terdekat Bu Naji.

Sampai saat ini, kematian Pak War yang mendadak masih menjadi tanda tanya tersendiri menurutku. Karena Bu Naji satu-satunya saksi mata malah terlihat linglung. Memang sih, Pak War sempat sakit. Tapi jika diare yang berdarah itu memang penyakitnya sejak dulu, seharusnya Pak War punya obat yang dikonsumsi rutin dan pastinya diketahui Bu Naji karena sudah beberapa hari Pak War di sini. Lah ini? Masa langsung parah. Kan biasanya penyakit itu ada stadiumnya. Entahlah. 

Malam ini kuputuskan tidak ke rumah Bu Naji dulu, toh berkatnya sudah dikemas tadi sore. Tinggal membagikan. Hari ini 7 harinya Pak War, jadi sedari pagi begitu banyak pekerjaan di dapur. Aku ingin istirahat, sambil melanjutkan membuka lemari bapak.

Benar dugaanku. Kotak biru ini berisi batangan emas 10 gram, ada 10 buah. Karena sudah paham, aku menutup dan meletakkannya di sampingku.

Lanjut kotak ketiga, berwarna coklat susu dengan tutup bergambar serial kartun yang hits pada jamannya, 'one piece'. Kotak ini lebih ringan dari kotak pertama dan kedua. Pantas, ternyata hanya berisi surat-surat dan nota pembelian emas.

Tangan ini mulai mengambil map di laci rahasia tersebut. 

Deg!

Bukan map ini yang membuatku terkejut, tapi kertas yang tersembul sebagian itu. Kertas bergambar wajah wanita dan pria tersenyum malu, terselip di tumpukan map ini.

Mereka ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status