Pelataran rumah bidan Roudho, bidan terdekat dari rumah Rendi sesak dengan beberapa kendaraan roda dua dan empat. Sudah biasa, saat pagi dan malam hari memang seperti ini. Makanya Ira jarang periksa di sini, terlalu lama antre. Bidan ini memang terkenal dengan keramahan dan kemanjurannya. Banyak yang jodoh, kalau kata orang-orang.
"Bu, perut istri saya sudah mulas dari sebelum subuh tadi. Sepertinya mau melahirkan. Apa bisa didahulukan?" tutur Rendi pada asisten bidan yang bertugas melakukan tensi darah dan pendaftaran."Boleh saya lihat buku KIA-nya?" Rendi mengangsurkan buku berwarna merah muda. Kasihan sekali melihat wajah istrinya yang sudah memucat. Sedari tadi tangannya tak berhenti mengelus perut buncitnya. Tak tega jika meninggalkannya mengantre sendiri, jadi dia mengusahakan istrinya ditangani dulu, atau setidaknya berada dalam ruang bersalin agar ada yang memantau. Lepas itu, dia akan mencari sarapan."Sebentar, ya." Perawat itu masuk ke r"Yah, ini kayaknya Dedeknya udah mau keluar deh. Kontraksinya udah sering banget." Ira melapor saat Rendi baru memasuki kamar mereka."Mamah masih kuat? Ayah salat dulu sebentar, ya.""Ren, sini." Cahyo memanggil Rendi dari dalam kamarnya saat Rendi menuju dapur. "Kenapa, Mas?""Lihat!" Dina menyodorkan sebuah album pada adik iparnya. Belum sempat membukanya, Rendi mengembalikan lagi. "Kapan-kapan aja, Mbak. Itu, aku mau bawa Ira ke bidan sekarang. Udah sering mulesnya.""Loh? Tadi nggak ada kontraksi sama sekali, kok udah mau berangkat aja," tanya Dina bingung. Namun yang ditanya sudah terbirit ke dapur."Nda, Syila mau bobo." Kaki yang semula hendak menengok Ira, kini berbalik lagi karena putri semata wayangnya memanggil."Nanti habis magrib aja tidurnya, Sayang. Kalau mau magrib gak boleh tidur," jelasnya. "Dingin." Dina mengernyit tak mengerti, pasalnya dirinya merasa gerah. "Ayo, Nda! Kasih selimut." Syila menarik bundanya ke ranjang, a
Rumah terlihat sepi saat Rendi mengetuk pintunya. Heran, itulah yang dirasa. "Tadi saat di telepon terdengar heboh sekali, tapi sekarang kok sepi banget. Apa sudah tidur semua?" pikirnya. Rendi putuskan untuk lewat pintu belakang karena tak membawa kunci cadangan.Dengan mengendap, lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi ayah tersebut menyusuri rumahnya. Mengintip satu-satu ruangan untuk menemukan keberadaan mama dan kakak lelakinya."Ren ...." Rendi berjingkat saat tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata kakaknya. Dua tangan saudaranya itu mengisyaratkan sesuatu yang berlainan. Satu tertempel di bibir, dan satunya melambai pada dirinya."Mama udah tidur," tutur Cahyo, "pakai penenang," lanjutnya. Terlihat lawan bicaranya mendelik."Aman, kok. Dosisnya sesuai kebutuhan," lanjutnya lagi. "Tapi kan nggak bisa sembarangan gitu, kasih obat penenang. Apalagi mama udah nggak muda," protes Rendi. Kesal saja, hanya karena marah-marah langsung dikas
"Tolong cari informasi mengenai orang ini. Untung-untung bisa tahu detail masa lalunya sebelum menikah," ujar Cahyo pada lelaki paruh baya di hadapannya.Lelaki tersebut tersenyum seraya membaca lembar kertas yang baru saja ia pungut. "Kualitas tergantung harga," jawabnya tersenyum miring. Melihat dari data pribadi ini, sepertinya agak rumit karena yang bersangkutan sedang dalam masa tahanan.Rendi menyuap siomai yang baru saja diantar oleh pramusaji. Warung tempat mereka janjian dengan penjual es cincau memang cocok. Meski ramai pengunjung, tetapi setiap meja satu dengan yang lain ada pembatasnya. Memungkinkan untuk berbicara hal yang bersifat privasi tanpa khawatir didengar oleh pengunjung lain."Baik. Berapapun, asal saya puas dengan kinerja Anda," putus Cahyo akhirnya. Sarto, penjual es cincau yang mengaku sebagai inteligen itu tersenyum puas. "Bisa diatur," ujarnya jumawa.Pagi itu, Cahyo sengaja mengajak adiknya menemui penjual es cincau di depan kant
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun .... Telah pulang ke rahmatullah nama, Bapak ...." Berita duka terdengar lagi dari toa masjid, mengehentikan sejenek aktifitas para warga yang sedang melayat di rumah Bu Darsih. "Innalillahi ... ada yang meninggal lagi, tuh kan, gak nurut sih kalau dibilang orang tua. Jadi beruntun 'kan yang meninggal," Bu Naji memulai pembicaraan setelah siaran usai. Sudah menjadi kebiasaan, wanita bertubuh subur itu selalu eksis di manapun tempatnya. Bahkan di rumah duka sekalipun. "Iya, Bu Naji. Kok bisa beneran, ya. Kalau kayak gini terus bisa habis warga kita," jawab Bu Nia antusias. Di mana ada Bu Naji disitulah Bu Nia. Simbiosis mutualisme yang membuat keduanya saling tertaut. Bu Naji yang aktif dan ember akan semua berita di sekitar dan Bu Nia yang selalu kepo pada semua hal. "Gak nurut dibilangin apa, Bu? Emang siapa?" sahut Bu Sita yang baru datang. "Ituloh, Bu. Anak itu, tadi udah dikasih tahu s
"Assalamualaikum!" Ucap orang tersebut."B-bu Naji, eh, waalaikumussalam. Mari masuk, Bu," jawab Ira terbata di tengah keterkejutannya."Dah, gausah ribet! Ini ada sumbangan dari warga buat acara tujuh harian bapak kamu," tuturnya sambil mengulurkan sekantong plastik uang receh dan lembaran."Baru terkumpul tadi pagi, soalnya kemaren-kemaren saya masih sibuk ngurus ini itu. Kamu masih belom belanja keperluan acaranya, kan?" lanjutnya.Ira menggeleng sambil tersenyum. Dia mengambil kantong kresek tersebut dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih. Ira tahu, sumbangan ini adalah inisiatif Bu Naji yang memang selalu peduli pada orang-orang miskin sepertinya. Bu Naji akan mengambil sumbangan dari rumah ke rumah saat ada warga kurang mampu yang tertimpa musibah, seikhlasnya. Dari sepeninggal Bapaknya, Ira resmi menjadi gadis sebatang kara karena Ibunya sudah tiada sejak dia kecil. Maka dari itu, untuk acara tahlil bapaknya selama lima hari ini
P.O.V IraHari yang melelahkan, dari pagi buta Bu Naji mengajakku ke pasar untuk berbelanja keperluan tahlil tujuh harinya Bapak. Beliau bilang tidak akan kebagian apapun di pasar jika berangkat terlalu siang.Saat kami sampai rumah, sudah banyak ibu-ibu yang bersiap rewang (membantu memasak). Entah siapa yang menyuruh mereka datang, yang jelas tak ada satupun yang pulang sebelum semua urusan dapur usai. Tak terbayang olehku jika saja tak ada seseorang sebaik Bu Naji yang mau membantuku mengurus acara ini satupun. Pasti acara ini tak akan terselenggara.Meski siang tadi Bu Naji sempat kesal padaku lantaran aku lupa melaksanakan pesannya untuk memisahkan beras lawatan di hari pertama dengan hari berikutnya, tapi Beliau tetap mau mengurus tetek bengek acara ini dengan paripurna.Sampai adzan isya' berkumandang, aku bergegas menuju kamar untuk salat dan bersiap-siap mengikuti tahlil, meski dari dalam rumah. Kulihat Pak RT sudah mengambil pe
Kalau tidak salah, teman bapak yang dulu sering mengunjungi keluarga kami.Ah, iya benar, aku ingat. Wajahnya persis. Hanya saja dihadapanku saat ini versi tuanya, kulitnya lebih berkeriput, tubuhnya pun tak segagah dulu."Ada yang mau saya bicarakan," lanjutnya.Aku mempersilahkan Pak Warjo duduk di teras rumah setelah sebelumnya aku menyetujui ajakannya untuk berbincang di rumahku. Beliau menolak untuk masuk, "Bukan mahram, tak baik," katanya.Ya, namanya Pak Warjo, teman Bapak. "War," begitulah Bapak memanggilnya. Aku sedikit mengingat wajahnya karena terakhir kali bertemu saat acara pemakaman Ibu, saat aku kelas empat SD. Seingatku Bapak sempat bersitegang di pemakaman dengan Beliau ini waktu itu. Aku yang saat itu masih kecil tak mengerti apa yang mereka ributkan, meski mendengar dengan jelas ucapan yang mereka lontarkan. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jumpai Pak War ini berkunjung ke rumah kami hingga saat ini."Gausah repot-repot Ndu
"Mungkin apa, Pak?" Tanyaku tak sabar."Mungkin sengaja ditabung untuk masa depanmu. Bisa jadi, kan?" Pak Tar meringis setelahnya."Kamu ingat, dulu setiap kamu liburan semester saat ibumu masih hidup, bapak pasti kesini. Ya untuk itu, bagi hasil. Nah, waktu kamu udah sekolah itu, pas jaya-jayanya rumah makan kita, jadi lumayan banyak emas batangan yang diterima bapakmu. Gak mungkin habis buat makan kan, kalau katamu kalian gak pernah hidup mewah?". Aku membenarkan ucapan Pak War. Seperti tidak mungkin memang."Apa kamu ndak pernah diajak Bapakmu ke bank atau tempat apa gitu yang buat nabung-nabung emas?" Selidiknya lagi.Pertanyaan Pak War kali ini membuatku mengerutkan kening mengingat-ingat kebersamaanku bersama Bapak. Benar, Beliau memang selalu datang dan mengajakku sekeluarga berlibur saat liburan sekolah tiba. Tapi mengenai tabungan emas, aku benar-benar tak tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu. Apa mungkin Bapak ngojek itu cuma pura-pura?