POV Author“Sebenarnya Dafri sudah mengakui semuanya. Dia menelpon Papa dan mengatakan apa yang telah dia lakukan.”Tubuh Elea menegang. Selama ini ia berusaha untuk menutupi tapi ternyata Dafri sendiri yang mengatakan semuanya pada Pak Hartanto tanpa sepengetahuan Elea. Elea berpikir jika Dafri tidak akan berani melakukan itu karena sudah pasti ia tidak akan mendapatkan maaf dari mertuanya bahkan bisa jadi hidupnya akan dibuat lebih sengsara.“Mas Dafri … mengatakannya?”“Ya.”“Apa dia meminta Papa untuk membujukku?”“Tidak. Dia menghubungi Papa untuk mengaku kesalahannya dan minta maaf, tidak mengatakan hal lain lagi.”Dafri menghubungi mertuanya bukan karena ingin dibantu agar bisa kembali pada Elea tapi ia memang ingin meminta maaf dan menyesali semuanya. Bahkan siap menerima apapun hukuman yang akan diberikan padanya.Selama ini Pak hartanto menahan diri untuk tidak bicara pada Elea, bahkan ia memaksakan diri untuk pulang karena ingin melihat langsung kondisi Elea. Orang tua mana
POV AuthorBerbulan-bulan Dafri terbaring tak berdaya. Elea tidak akan pernah melepaskan Luna yang sudah membuat banyak masalah.Tidak pernah sekalipun Elea absen untuk berada di sisi suaminya. Bahkan saat usia kandungannya sudah tua dan masuk bulannya, Elea masih mengunjungi Dafri. “Mas, sebentar lagi anak kita lahir. Cepatlah bangun, aku ingin kamu menemaniku saat melahirkan nanti.”Setiap saat Elea selalu mengajak suaminya itu bicara meski percuma karena tidak ada respon apapun. Namun berbeda dengan sebelumnya yang sulit menahan desakan air mata.Sekarang Elea sudah bisa mengendalikan dirinya karena terlalu sering menangis akan berdampak buruk pada kandungannya.“Nanti setelah sehat, kamu juga harus pergi ke gym. Kamu tahu sendiri bukan kalau aku tidak suka lelaki dengan perut buncit.”Dengan telaten Elea membersihkan tubuh suaminya. Selama bisa melakukannya sendiri ia akan melarang orang lain untuk melakukan tugasnya itu.“El sudah makan belum?” Bu Lia datang membawakan kotak maka
Karena terburu-buru, orang yang baru saja akan masuk dan keluar secara bersamaan dari cafe itu harus bertubrukan.“Maaf, saya tidak sengaja.” Dafri membantu memunguti buku wanita itu yang berserakan.“Iya, tidak apa-apa. Saya yang salah, Pak.”“Vera! Ayo cepat.”Wanita itu dipanggil oleh temannya yang sudah berada di dalam mobil dan dengan langkah cepat meninggalkan Dafri yang masih membeku.Melihat sosok Vera membuat lelaki itu sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya. Pertemuan pertama namun sosok itu berhasil menyita perhatian Dafri apalagi saat melihat sorot matanya yang mirip dengan Elea.“Papa. Awas ya berani lihat-lihat kakak cantik!”Dafri tersentak mendengar suara cempreng bocah lima tahun yang sekarang melotot padanya. Bodyguard kecil yang selalu mengikuti kemanapun Dafri pergi bahkan Vano menolak untuk sekolah hanya karena ingin mengikuti sang ayah.“Siapa juga yang lihat, Papa tidak sengaja. Ayo masuk.” Dafri menggandeng tangan putranya masuk ke dalam cafe.Hati Dafr
“Aku tidak ridho kamu keluar satu langkah saja dari rumah ini! Aku masih suamimu, dosa kalau kamu tidak mengikuti perintahku!” Harya memperingati. Vera menyeringai. “Anda sudah kehilangan hak untuk melarang saya setelan anda membawa dia ke rumah ini sebagai madu. Oh ya, tadi anda bicara soal dosa? Apa anda pikir menyakiti hati istri tidak dosa tapi sudahlah dosa itu anda tanggung sendiri. Mulai detik ini tidak ada hubungan apapun lagi diantara kita.” Harya mencekal pergelangan tangan Vera. “Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu, Vera!” “Mas, sudah biarkan saja dulu Vera menenangkan hatinya. Aku yakin Vera tidak akan mau juga berpisah denganmu dan menjadi janda.” Ia bicara seperti sangat peduli padahal ia sangat bahagia melihat Vera keluar dari rumah ini dan nantinya ia yang akan berkuasa, tidak hanya menguasai Harya namun juga harta lelaki itu. “Dengar, Pak Harya Prasetya? Istri tersayang anda itu meminta anda membiarkan saya pergi tapi ingat satu hal jika saya tidak akan per
Vera tidak pulang ke rumah orang tuanya, ia belum siap. Meski tinggal bersama bukan dengan orang tua kandungnya, namun Vera sangat menyayangi mereka yang merawat Vera dari bayi sampai dewasa.Untuk malam ini Vera memilih untuk tidur di penginapan sementara waktu, meski beberapa tahun ke belakang ia hanya seorang ibu rumah tangga namun sebelum menikah Vera bekerja dan memiliki tabungan.Ia harus menyiapkan diri untuk menjadi seorang janda, biaya yang akan dibutuhkannya besar untuk melahirkan nanti. Meski memiliki tabungan namun Vera tidak mungkin mengandalkan itu selamanya."Aku harus mencari pekerjaan secepatnya. Pendidikanku tidak sia-sia, saat seperti inilah mandiri dibutuhkan. Semangat Vera, hidupmu berharga. Buktikan pada dunia kau tidak lemah setelah dihancurkan." Vera menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak akan mengemis untuk diberikan semangat dari orang lain.Vera menatap semua berkas miliknya yang akan digunakan untuk melamar pekerjaan. Saat pulang tadi ja menyempatkan untuk m
"Hm … anu, Bu."Bu Fitri mengernyit heran. "Anu apa?""Ini 'kan sudah malam, nanti saja ibu datang ke rumah. Lagi pula Vera juga pasti sudah istirahat, semenjak hamil dia jadi mudah kelelahan."Entah berapa kebohongan yang nantinya akan tercipta jika Harya terus menutupi semuanya."Baiklah, besok ibu akan ke rumah kalian. Ibu tidak sabar bertemu dengan Vera."Binar bahagia terlihat jelas di wajah keriputnya membuat hati Harya teriris. Ia harus membohongi ibunya demi menutupi apa yang sedang terjadi, tidak berpikir esok seperti apa. Harya saja tidak bisa menghubungi Vera, bagaimana ia bisa membujuk istrinya itu.Semuanya semakin kacau dan rumit karena kebohongan yang dibuat oleh Harya sendiri."I–ya, Bu.""Kamu sudah makan belum? Tadi ibu masak telur balado kesukaan Vera. Sekalian kamu bawa pulang buat dia ya." Bu Fitri beranjak ke dapur untuk menyiapkan telur balado untuk menantunya.Harya menjambak rambutnya frustasi. Ia menghela nafas kasar, rasanya berat sekali menjalani semua ini.
“Kamu datang ke sini memakai seragam. Kamu bolos?” Vera baru menyadari jika adik iparnya itu masih memakai seragam sekolah.Hanin tersenyum lebar. “Aku khawatir, makanya aku langsung datang ke sini. Aku tidak fokus belajar.”Vera mencebik. “Bilang saja kalau kamu malas sekolah.”“Berhubung sekarang aku sudah terlanjur bolos aku mau menemani Mbak di sini. Pokoknya Mbak tidak boleh menolak.”Vera tersenyum dengan kepedulian Hanin. “Mbak harus pergi. Kalau kamu mau menunggu di sini tidak apa-apa.”Dahi Hanin mengernyit. “Mbak mau pergi kemana? Biar aku temani, Mbak sedang hamil jadi tidak boleh pergi sendirian.”“Ka–mu tahu soal itu juga?”Hanin mengangguk. “Kalau itu ibu yang cerita padaku tadi pagi. Bang Harya yang memberitahu ibu, ibu bahkan mengatakan hari ini ingin datang ke rumah untuk bertemu dengan Mbak.”Vera diam, ia akan bicara pada ibu mertuanya secara langsung. Vera bukan Harya yang akan menutupi fakta dengan kebohongan. Keputusannya tidak akan bisa diganggu gugat lagi, sete
Niken menelan ludahnya dengan susah payah, ia termakan omongannya sendiri. Beginilah jika bermuka dua, ia menyulitkan hidupnya sendiri."Rasakan! Siapa suruh ingin kau bersandiwara, aku pun akan ikut permainanmu." Hanin membatin, ia tidak akan semudah itu membiarkan Niken lepas.Jika langsung ke inti membuatnya menderita rasanya tidak akan seru, lebih baik membuatnya menderita secara perlahan dan akhirnya ia akan frustasi sendiri."Kenapa melamun, Mbak? Atau Mbak sudah mau pulang? Pulang saja, biar rumah aku yang jaga. Kebetulan aku juga ingin bertemu dengan Bang Harya dan Mbak Vera untuk membicarakan rencana bulan madu kedua mereka."Mata Niken langsung membulat mendengar itu. "Bu–lan madu kedua?""Iya. Kenapa Mbak sepertinya kaget begitu?"Niken langsung menormalkan ekspresi wajahnya dan menggelengkan kepala. "Ti–dak, hanya saja rasanya aneh bicara bulan madu. Mereka bukan pasangan yang baru menikah.""Kenapa aneh, wajar mereka pergi bulan madu. Sekalian merayakan kehamilan Mbak Ver