Home / Rumah Tangga / Membalas Hinaan Mantan Suami / Bab 3. Telepon dari Mas Bagas

Share

Bab 3. Telepon dari Mas Bagas

Author: Eka Sa'diyah
last update Last Updated: 2024-02-01 10:09:31

Aku mengabaikan panggilan dari mantan suamiku itu. Menurutku itu lebih baik daripada harus menanggapi ucapannya yang tidak penting. Aku memilih pergi ke dapur menyiapkan makan siang untukku dan Ibu. Meski sudah berkecukupan, aku tetap melakukan pekerjaan rumah sendiri. Tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Aku tidak suka ada orang asing tinggal di rumahku.

“Rista, ponselmu berdering dari tadi!” Panggilan Ibu membuyarkan kegiatanku memasak. Aku mengambil ponsel dan menolak panggilan darinya.

“Mas Bagas menghubungiku lagi, Bu. Tidak pantas jika Rista menerima panggilannya, karena Maa Bagas juga sudah memiliki istri!” 

“Mungkin ingin bicara sama Ara!” Ibuku masih berharap pada Mas Bagas untuk mengingat Ara.

“Mas Bagas sudah tahu Ara di asrama. Jadi tidak ada alasan menghubungiku untuk bicara dengan Ara, Bu!” Ibuku mengangguk pelan. Mungkin paham dengan yang aku katakan. Memang tidak pantas jika kami saling berhubungan meski melalui sambungan telepon. Apalagi soal Ara, Mas Bagas bisa langsung menghubungi pihak yayasan dan bicara langsung pada Ara.

Ting 

Ting

Ting

Beberapa pesan masuk dari nomor Mas Bagas. Tanpa aku baca, aku segera menghapusnya kemudian menonaktifkan ponselku supaya tidak menggangguku.

Mood Ku benar-benar berantakan sejak bertemu dengan Mas Bagas. Imbasnya, makanan yang aku buat tidak terasa enak. Rasanya hambar tidak karuan.

“Bu, tolong cicipi masakan Rista! Benar-benar kacau hari ini!” Ibu mengambil sendok dan mencicipi kuah capcay yang aku buat. Tanpa berkomentar, Ibu meraih beberapa bumbu dan perasa untuk ditambahkan ke dalam capcay buatanku.

“Istirahatlah, Rista. Sebentar lagi dhuhur, lebih baik tenangkan dirimu di mushola. Berdzikirlah untuk menenangkan pikiran kamu!” Aku menurut apa kata Ibuku. Memang benar, setiap aku merasa gelisah, khawatir dan perasaan sedang kesal, Ibu selalu menyuruhku berwudhu kemudian berdzikir sampai benar-benar tenang.

Aku mengambil wudhu sebelum memasuki mushola kecil di rumah ini. Aku menyukai rumah yang terdapat mushola pribadi di dalamnya, sama seperti mendiang ayah. Rumah diwajibkan memiliki mushola di dalamnya meski tidak besar.

Setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat, aku lanjutkan dengan berdzikir hingga adzan dzuhur tiba. Tidak berapa lama, Ibu menyusulku di mushola untuk melakukan shalat dzuhur berjamaah. 

Usai makan siang, aku memeriksa semua laporan dari beberapa manajer yang ditugaskan di beberapa cabang. Aku benar-benar baru bisa menikmati beberapa hari ini setelah lima tahun berkecimpung langsung demi berjalannya usaha warisan ayah. 

“Ada masalah, Ris?” Ibu melihatku berkutat dengan laptop usai makan siang.

“Tidak ada, cuma memeriksa laporan harian saja, Bu. Alhamdulillah, sekarang Rista bisa sedikit lebih tenang karena semua sudah berjalan lancar,” Ibu duduk di sampingku usai membawakan aku camilan serta teh hangat untukku.

“Alhamdulillah. Semua ini hasil jerih payahmu dan juga ayahmu. Ibu bersyukur sekali, memiliki anak perempuan sepertimu. Aldi bagaimana? Apakah dia sudah menghubungimu hari ini?” Tiba-tiba Ibu menanyakan adikku. Anak bungsu yang tengah menempuh pendidikan di Yaman dengan jalur beasiswa prestasi. Adik lelaki ku jarang pulang, karena diperbantukan mengajar di salah satu yayasan di sana. 

“Hari ini belum menghubungi Rista, Bu. Mungkin nanti malam!” Aku mencoba menghibur Ibu yang rindu pada anak lelakinya. Aldi juga hampir setiap hari berkirim pesan padaku meski tidak bicara langsung melalui sambungan telepon.

“Baiklah. Ibu mau keluar menyiram tanaman dulu!” Di halaman rumah terdapat beberapa bunga mawar yang aku pesan khusus untuk Ibu. Bukan tanpa alasan, bunga mawar adalah bunga kesukaan Ibu dan Ayah.

“Ris-Rista. Lihat si Lala di depan!” Ibuku masuk dengan nafas tersengal-sengal. Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar rumah dan mendapati kondisi Lala dengan wajah lebam. Entah karena apa, yang jelas Lala jatuh terduduk dengan kondisi lebam di wajah. Sebenarnya aku malas sekali menolongnya, tetapi karena Ibuku terus mendesak, akhirnya aku terpaksa menghampirinya.

“La, kamu nggak apa-apa?” Aku mencoba tetap berbaik hati padanya. Akan tetapi rasa kesalku bertambah ketika kedua mata Lala menatap nyalang ke arahku.

“Ck, ngapain kamu kemari? Mau menertawakan aku?” Lala berdiri sambil mengibaskan rambutnya yang berwarna pirang yang di ombre dengan warna ungu kemudian pergi menggunakan motor scoopy berwarna pink. Ibu hanya beristighfar melihat sikap Lala barusan.

“Kok ada ya, gadis sejahat itu!” Ibuku menghela nafas besar menatap Lala yang semakin menjauh. Aku melihat guratan kecewa yang terpancar dari wajah Ibuku.

“Sudah turunan, Bu. Semua begitu!” Sahutku sambil berlalu.

“Huss, tidak boleh begitu. Mungkin dia tidak ada yang membimbing ke jalan yang benar!” Ibuku selalu begitu. Padahal sudah jelas Lala menunjukkan sikap buruknya padaku.

Aku merasa akan ada banyak gangguan setelah pindah kemari. Tapi bagaimana lagi, aku butuh tempat tinggal yang mudah menjangkau tempat usahaku serta asrama Ara.

Ponselku kembali bergetar panggilan dari nomor baru. Aku cukup tenang karena bukan nomor Mas Bagas tadi. Aku berharap jika ini adalah nomor salah satu pemilik lokasi yang aku sewa untuk pembukaan cabang selanjutnya.

“Halo.”Aku tidak mendengar suara siapapun disana.

“Halo, Rista. Aku ingin bicara padamu sebentar,” seketika aku menutup panggilan setelah tahu pemilik suara tersebut. Mas Bagas ternyata menghubungiku menggunakan nomor ponsel lain. Aku tidak menyangka dia tetap menghubungiku meski aku sudah menolaknya dari tadi.

Ting

[Rista, aku rindu padamu] Mual sekali aku membacanya. Tadi pagi menghinaku dan Ara, siang ini dia rindu padaku. Benar-benar pagi kedelai sore jadi tempe. Aku hapus pesannya, kemudian memblokir nomor baru yang digunakan Mas Bagas. Aku benar-benar ingin menjauh dari mantan suami dan keluarganya yang gila harta. 

Ting

Ting

Kedua mataku membulat sempurna melihat sebuah pesan dari nomor asli Mas Bagas yang belum sempat aku blokir. Benar-benar gila, sampai dia berani mengirim pesan memalukan seperti itu padaku.

Pesan apa yang dikirim Bagas?

Tunggu Bab selanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 41. Akhir Kisahku

    Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 40. Mencari sebuah jawaban

    Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 39. Hari bahagia

    Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 38. Lamaran

    Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 37. Seminggu diganti 2 hari

    Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 36. Ungkapan Hati Angga

    Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status