Share

Bab 4. Pemikiran Gila Mas Bagas

Aku tidak menyangka dengan jalan pikiran Mas Bagas dengan mengirim pesan itu padaku.

“Apa dia keracunan makanan sampai tidak bisa berpikir jernih?” Gumamku sambil menghapus pesan dari Mas Bagas. Aku juga segera memblokir nomor ponselnya.

“Kamu kenapa ngedumel sendiri?” 

“Mas Bagas, Bu. Setelah melihat kesuksesanku, tiba-tiba mengajak rujuk. Padahal tadinya menghina penampilanku!” Ibu menggeleng pelan sesekali terdengar lantunan istighfar dari bibirnya. Mungkin Ibu juga terkejut dengan sikap yang diambil mantan suamiku ini.

“Ibu tidak ingin kamu rujuk dengan Bagas. Ibu sudah terlalu kecewa dengannya, Ris!”

“Rista juga tidak mau, Bu. Kalau Rista sampai rujuk, sama saja menjadi pelakor. Lagian Rista tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Rista cukup bahagia menjalani hidup seperti ini. Membesarkan anak dan melanjutkan usaha keluarga!” 

Tidak banyak yang aku minta setelah perceraian. Jika setelah perceraian banyak yang menginginkan pasangan yang lebih baik. Namun bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin membesarkan anakku dengan baik serta memberikan pendidikan yang terbaik untuk Ara. Ditambah membesarkan usaha keluarga sudah membuatku tidak berhenti bersyukur akan hidupku yang sekarang.

Malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak karena tidak ada gangguan dari Mas Bagas. Ponsel aku nonaktifkan supaya tidak ada yang menghubungiku.

Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan panggilan dari karyawanku. 

“Bu. Pak Bagas tidak mau membayar makanan yang dia pesan bersama keluarganya. Katanya pembangunan restoran memakai uangnya!” Aku tidak heran Mas Bagas tidak mau membayar harga makanan dengan alasan masih ada hak dalam pembangunan restoran. Pasti dia ingin mengambil keuntungan dari restoran.

“Suruh dia bayar! Restoran tidak ada sangkut pautnya dengan Mas Bagas!” balasku pada karyawan yang mengirim kabar padaku. Aku mencari pemukul kasti milik Ara, kuganti gamisku dengan kostum olahraga syar’i. Aku lajukan mobilku ke restoran tempat Mas Bagas makan bersama keluarganya. Untung saja lokasi tidak terlalu jauh dari komplek perumahanku. 

Aku tenteng pemukul bola kasti ke dalam restoran. Beberapa pengunjung heran melihatku berdiri di samping keluarga Mas Bagas yang lagi asik menikmati sarapan.

"Enak ya?" Aku melihat mereka bertiga makan lahap seperti tidak pernah makan enak.

“Rista, aku senang kamu datang. Kita makan bersama!” Mas Bagas tidak malu mengajakku makan bersama padahal ada Dara di sampingnya. Benar-benar tidak tahu malu atau kemaluannya sudah putus.

“Sudah bayar makanannya?” Aku menyandarkan pemukul kasti itu di pundak seakan bersiap memukul seseorang.

“Untuk apa aku bayar. Aku mantan suami dan restoran ini ada andil dariku!” Mas Bagas berdiri dan mengedarkan pandangan ke pelanggan restoran berlagak seorang bos.

Aku dorong dada Mas Bagas menggunakan pemukul kasti yang kubawa. Tidak lupa aku tunjukkan senyum meremehkan padanya. Bukan karena sombong, tapi peringatan supaya tidak lagi meremehkan aku dan tidak mengaku pemilik restoran keluargaku.

“Kamu nggak keracunan makanan sampai membuat otakmu sedikit miring? Nafkah saja cuma dua puluh ribu, sok sok an ikut andil dalam pembangunan restoran. Jangan mimpi!” Mas Bagas terdiam mendengar ucapanku. Ditambah lagi pelanggan restoran menertawakan Mas Bagas. Tidak sedikit ada yang mengambil foto dan video Mas Bagas.

“Nafkah dua puluh ribu tetap harus disyukuri, Rista!” Mulut mantan mertuaku ini semakin membuatku gemas.

“Kamu yang sopan dong sama mantan suami kamu. Mas Bagas ikut andil juga dalam restoran ini!” Dara ikut nyolot juga, mulut wanita ini ingin sekali aku sumpal dengan ember berkarat.

“Mau aku sumpal mulutmu pakai pemukul ini. Sepertinya diameternya sesuai ukuran mulutmu!” Wajah Dara berubah ketakutan ditambah lagi dia kini menjadi pusat perhatian pelanggan restoran. Aku menatap kembali wajah Mas Bagas dengan tatapan nyalang. 

“Bayar atau aku pukul kepalamu pakai pemukul kasti? Aku bukan Rista yang mudah kau bodohi seperti saat menjadi istrimu!” Wajah Mas Bagas seketika berubah pucat dengan gayaku yang sekarang. Kudorong dadanya lagi pakai pemukul kasti. Beberapa karyawan memberikan acungan jempol padaku karena mungkin kedatangan keluarga Mas Bagas kurang menyenangkan.

“Bu, Pak Bagas tadi meminta uang lima juta pada kasir. Katanya bagi hasil keuntungan!” Aku tatap sekali lagi wajah mantan suamiku yang sudah lempeng ini.

“Cepat serahkan!” Kaki kananku aku angkat ke kursi. Tidak masalah aku dibilang preman syar’i atau apalah. Asalkan benalu-benalu di depanku pergi.

“Ti-tidak bisa, Rista. Aku–

Brak

Meja tempat makan aku tendang hingga roboh dan piring-piring di atasnya berjatuhan. Aku sama sekali tidak peduli dengan kerugian di meja ini asalkan mereka enyah dari restoran ku.

“Cepat berikan sebelum aku mematahkan kakimu supaya tidak lagi datang ke restoran ku!” Dengan tangan gemetar, Mas Bagas mengambil sejumlah uang yang diambil dari balik jas hitam yang dikenakannya kemudian menyerahkan padaku. 

“Aris, mana bill makanan dia?” Aku memanggil salah satu karyawanku untuk memberikan bill yang aku minta.

“Bayar semua total makanan itu!” Karyawan memberikan bill pada Mas Bagas. Mas Bagas akhirnya membayar makanan yang dia makan bersama Dara.

“Cepat pergi!” Usai mendengar hentakan suaraku, mereka bertiga ngacir begitu saja tanpa permisi. Benar-benar tidak tahu diri jadi orang.

Terdengar riuh tawa dan tepukan tangan dari beberapa karyawanku dan juga pelanggan restoran. 

“Bu Rista, hebat! Bisa membuat tiga benalu itu takut!” Salah satu karyawanku memberikan pujian padaku.

“Tadi aku sudah mikir bakal mengganti uang yang diambil Pak Bagas, Bu. Alhamdulillah, Bu Rista akhirnya menolong kami!” Nana, Kasir yang ketakutan karena khawatir akan diminta ganti rugi sejumlah uang yang diminta Mas Bagas.

“Cetak foto Mas Bagas dan sebarkan di cabang restoran yang lain. Beri keterangan kalau dia tidak boleh datang ke restoran kita alias dilarang!” Pihak admin segera mengerjakan tugasku membuat foto yang aku perintahkan. 

“Rista!” 

Aku menoleh ke sumber suara orang yang memanggilku. Dia terlihat melambaikan tangan padaku. Bibirku tersenyum melihat wanita yang sudah lama sekali tidak aku temui. 

“Maya!” Aku berbalik melambaikan tangan padanya. Maya, salah satu temanku yang juga sedang merintis usaha sandal jepitnya datang ke restoran.

“Maya, bagaimana kabarmu?” Aku menghamburkan pelukanku pada salah satu teman yang dulu selalu membuatku tertawa. Meskipun tidak terlalu dekat, namun aku selalu merindukan gaya kocaknya yang selalu membuatku tertawa.

Aku mempersilahkan teman lamaku ini duduk di ruang kerjaku. Tanpa diminta, karyawanku menyuguhkan minuman dan cemilan untuk kami.

“MasyaAllah, kamu tetap paling keren, Ris. Kamu bisa memajukan usaha restoran ayahmu yang dulu hampir bangkrut!” Dia selalu mendukung kemajuan aku sejak dulu. Meski tidak bisa membantu secara materi, namun dia selalu memberikan semangat serta solusi. Hanya saja di saat restoran mulai berkembang ketika aku bercerai, aku dan dia kehilangan kontak karena dia kehilangan ponselnya saat ikut pelatihan di luar kota.

“Alhamdulillah, May. Sejak aku berpisah dengan Mas Bagas, aku fokus melanjutkan usaha ayah serta membesarkan Ara!” Aku sebenarnya malu mengatakan perihal rumah tanggaku.

“Jadi kalian bercerai?” Aku mengangguk pelan sambil tersenyum kecut.

“Biasa aja kali, Ris. Lagian aku juga bersyukur banget kamu bercerai dari lelaki model benalu. Aku sudah kenal sama ibunya Bagas jadi tidak heran kamu bakal tidak betah!” Begitulah Maya, gaya bicaranya ceplas ceplos apa adanya tetapi sering benar adanya. Dia dulu yang paling tidak setuju aku berhubungan dengan Mas Bagas. 

Ting

Sebuah pesan dari nomor baru bernada ancaman. 

Siapa yang mengirim pesan ancaman pada Rista?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status