Tidak Masalah kamu menghinaku dulu, Mas. Namun sekarang kamu pasti terkejut, bukan? ketika ada salah satu manajer restoran memanggilku Bos! Betapa malunya dirimu bersama istri barumu melihat kesuksesanku setelah bercerai denganmu.
Lihat lebih banyakHari ini aku memutuskan pindah rumah lebih dekat dengan rumah makan milik mendiang ayahku yang sudah aku kelola usai perceraianku dengan Mas Bagas. Sengaja aku memilih pindah rumah dengan alasan supaya bisa cepat sampai ke restoran apalagi lokasi boarding school Ara juga tidak jauh dari sana. Aku menggunakan jasa sekaligus yang akan mengatur semua desain rumahku. Aku memilih rumah yang tidak terlalu besar, karena aku hanya tinggal bersama Ibuku saja.
“Ara, sudah disiapkan semua keperluannya?” tanyaku pada Ara, gadis kecilku yang kini sudah menginjak remaja. “Sudah, Ma. Tingga pembalut saja yang belum!” Sahut Ara sambil memainkan ponsel miliknya sebelum nanti akan diberikan padaku karena ada larangan membawa ponsel di asrama. Ara berusia 13 tahun dan kini masuk ke salah satu boarding school ternama di kota ini. Bukan tanpa alasan aku memilih sekolah berasrama karena aku ingin Ara menjadi wanita yang berakhlak yang baik dan wanita yang paham ilmu agama.Aku mampir sejenak ke sebuah supermarket terbesar di kota ini. Bukan karena hidupku berubah menjadi hedon, tetapi aku juga butuh beberapa barang yang harus aku beli untuk keperluan pribadi. Usai memarkirkan mobil hitamku, aku gegas mengambil troli yang sudah berjajar rapi di tempatnya.“Eh, ada si udik kampungan!” Aku sangat mengenali suara itu. Meski sudah lima tahun tidak bertemu namun suaranya masih sangat jelas ku kenali.“Ma, ada Papa disana! Kenapa harus bertemu Papa juga sih!” Aku berbalik menatap pemilik suara yang berada di belakangku. Sebenarnya aku juga sudah sangat kesal meski hanya mendengar suaranya. Sama seperti yang dirasakan Ara. Lima tahun lalu memang sangat menyakitkan, dimana kami berdua selalu dihina dengan alasan aku tidak bekerja dan miskin. Sedangkan Ara, dihina karena saat itu mengalami kesulitan dalam belajar sebab gangguan pada motoriknya, sehingga nilainya turun. Aku cukup menyadari dengan keterbatasan Ara. Setelah bercerai dengannya, aku berusaha keras supaya Ara bisa belajar dengan lancar meski aku tetap harus mengembangkan restoran milik mendiang ayahku yang dulunya hanya warung biasa.“Ara, kamu nggak salim?” Terlihat Mas Bagas mengulurkan tangannya kepada Ara. Aku melihat Ara mencium tangan Mas Bagas dengan wajah terpaksa. Bisa jadi karena ada aku, ibunya. Usai mencium punggung telapak tangan, Ara pun kembali di sampingku.“Penampilanmu tetap kampungan ya, Rista. Pakai jilbab besar kayak mau shalat saja!” Selalu saja penampilan berhijabku yang selalu dihina. Aku diam dan hendak berlalu meninggalkan ocehannya. Akan tetapi tangan kanannya dibentangkan untuk mencegahku pergi.“Rista, aku belum selesai bicara padamu! Kamu penampilan begini, memangnya mau pengajian di mall?” Semakin kesal karena hinaannya. Andai tidak ada orang, ingin aku tabrak saja dia pakai troli.“Pa. Ngapain hina kita terus! Papa nggak puas sudah menghina kita dan mengusir kita dulu?” Tatapan mata Mas Bagas berubah nyalang ke arah Ara. Tiba-tiba kedua mata Mas Bagas menatap almamater yang dikenakan Ara. Tertulis sebuah nama instansi pendidikan tergolong mahal. Mahal karena semua fasilitas serta sistem pendidikannya juga terkenal baik.“Attaqwa. Kamu sekolah disana?” Aku tersenyum melihat mantan suamiku sepertinya tidak percaya jika Ara bersekolah disana.“Iya, kenapa memangnya, Mas? Ada yang salah?” Aku melipat kedua tanganku di dada melihat wajah Mas Bagas yang terkejut.“Paling kamu minta keringanan, tidak mungkin kamu bisa menyekolahkan Ara di sana. Sekarang tinggal minta surat keterangan miskin bisa bersekolah dimana saja termasuk sekolah mahal pun!” Aku menggeleng pelan atas sikap mantan suamiku yang tidak terkendali dalam berucap. Aku maklumi, karena mertuaku juga gaya bicaranya sama dengan mantan suamiku.“Terserah kamu, Mas. Aku pergi dulu! Ayo, Ra!” Aku dan Ara memilih berlalu meninggalkan Mas Bagas dan memulai tujuan kami berbelanja.“Ma, mulut Papa kok tetep ember ya. Mirip sama Oma!” Tidak salah jika Ara bicara seperti itu. Bahkan setelah palu diketuk, Ara dimarahi habis-habisan sama neneknya tanpa sebab yang jelas. Setelah kejadian itu, aku memblokir semua nomor ponsel keluarga Mas Bagas tanpa terkecuali.Aku memilih beberapa cemilan untuk Ara sebagai bekalnya nanti di asrama, setelah selesai semua, kami segera membayar dan lagi-lagi kedua mataku mendadak jengah melihat tiga manusia ember di depanku.“Loh, Rista. Kamu ternyata belum berubah juga ya. Penampilan tetep kampungan juga!” Ingin rasanya aku sumpal mulutnya pakai kapas segede gaban. Sudah tua bukannya tobat, malah semakin ember.“Oh, Rista. Pantas saja Mas Bagas lebih memilihku daripada kamu. Habisnya kamu memang tidak bisa menjaga penampilan!” Kini kedua mataku beralih ke arah wanita seusiaku. Dia dulu sahabatku, namanya Dara. Setelah perceraianku, dia menikah dengan Mas Bagas. Itu pun aku dengar dari Ibuku yang mendapat undangan langsung dari Mas Bagas. Aku malas menanggapinya dan berlalu begitu saja. Aku biarkan dulu dia menghinaku habis-habisan karena setelah ini, mereka pasti akan tercengang dengan perubahanku.“Oma, penampilan Mama itu lebih baik daripada terbuka seperti tante ini. Ara malah seneng punya Mama yang menjaga auratnya. Ara saja ingin seperti Mama!” Aku meraih tangan Ara dan berlalu ke lantai dua untuk memeriksa restoran di sana. Aku membuka cabang di mall ini karena menurutku akan cukup menguntungkan.Aku duduk bersama Ara, karyawanku langsung menyuguhkan minuman untuk kami. Ternyata mereka juga datang ke restoran ini. Pasti mereka akan menghinaku dan Ara lagi.“Kamu ngapain makan disini. Restoran terbaik ini tidak cocok untukmu!” Dara melipat kedua tangannya di dadanya sembari menatap remeh ke arahku.“Memangnya tidak boleh makan di tempat seperti ini?” Sahutku sambil membenarkan hijab Ara yang miring sedikit.“Orang kampung tidak cocok makan disini!” imbuh mantan mertuaku.Tidak berapa lama, salah satu manajer datang membawa berkas untukku. Menurutku ini kebetulan sekali untuk membalas hinaan mereka.“Bu Rista. Semua laporan dua bulan sudah saya taruh di meja. Dan ini, dokumen perpanjangan sewa lokasi. Kita diberi harga khusus kalau mau perpanjang mulai sekarang!” Aku memeriksa berkas perpanjangan sewa lokasi.“Kenapa kamu memanggilnya seperti bos?” Dara sepertinya masih penasaran dengan karyawanku.Apa yang akan dikatakan karyawan itu?Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga
Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab
Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan
Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika
Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me
Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen