Share

Bab 2. Tercengang

Penulis: Eka Sa'diyah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-01 10:08:55

Aku maklumi jika mungkin bagi mereka aku tidak pantas dipanggil sebagai seorang atasan mereka. Karena yang mereka pandang pertama adalah penampilan. Penampilan menarik dianggapnya sebagai orang sukses serta berpendidikan seperti pada umumnya.

“Bu Rista pemilik restoran ini, Bu. Termasuk restoran induk yang ada di beberapa tempat!” Jawab Karyawanku yang aku minta menjadi manajer di restoran cabang ini.

“Tidak mungkin!” sahut mereka serempak. Aku tersenyum kecil mendengar mereka bertiga seakan terkejut dengan kesuksesan yang aku miliki sekarang.

Aku menyerahkan kembali dokumen yang sudah aku tandatangani kepada manajerku. Aku meminta Ara segera menghabiskan minumannya sebelum kembali ke boarding school.

“Rista, apakah yang dikatakan lelaki itu benar?” Mantan mertuaku serta mantan suamiku sepertinya masih tidak percaya. Kedua mata mereka bertiga menatapku seakan mengintimidasiku.

“Menurutmu bagaimana?” Aku penasaran dengan jawaban mereka.

“Menurutku itu tidak mungkin. Mana mungkin warung biasa berubah menjadi restoran terkenal dalam lima tahun!” Mas Bagas sepertinya masih tidak percaya yang terjadi padaku sekarang.

Dia memang suka merendahkan orang. Mereka tidak tahu trik pemasaran yang aku pakai untuk memajukan restoran kecil yang dirintis ayahku. Dulu aku memang pernah bilang jika ayahku cuma usaha warung makan biasa pada keluarga suamiku setelah melihat gelagat anehnya. Itulah sebabnya mereka sekeluarga selalu merendahkan aku. Belum lagi adik Mas Bagas yang tergolong memasuki usia remaja namun parasnya mirip tante-tante karena make up yang dipakai tidak sesuai dengan usianya.

“Kalau tidak percaya ya sudah. Aku tidak perlu meladeni orang yang menurutku tidak penting!” Aku menggandeng tangan Ara menuju ke lokasi parkir. Karyawanku yang kebetulan tengah senggang dengan cekatan membawakan belanjaan ku. Sebenarnya aku tidak suka memanfaatkan karyawanku untuk membantuku membawakan belanjaan ku, hanya saja aku ingin membuat mereka bertiga panas. Sengaja ingin memberi pelajaran akan kesombongan dan hinaannya kepadaku.

Sesampai di lokasi parkir, aku tidak berterima kasih begitu saja pada karyawan ini. Melainkan memberikan uang tip untuknya sekedar membeli minum.

“Harusnya Bu Rista tidak perlu memberi saya uang. Saya cukup senang bekerja di restoran Bu Rista!” Aku terkagum dengan salah satu karyawanku yang rendah hati seperti ini. 

“Tidak apa, rezeki untukmu hari ini!” setelah memastikan semua barang sudah siap, aku kembali melajukan mobilku menuju ke asrama. Tempat tinggal sementara bagi Ara yang menempuh pendidikan di sana.

Aku menatap bangunan megah yang dulu pernah bercita-cita menyekolahkan Ara disana. Setiap malam aku meminta kepada Allah supaya semua usahaku lancar dan bisa menyekolahkan Ara disana. Usaha memang tidak menghianati hasil. Usahaku lancar dan aku bisa mendaftarkan Ara di asrama.

“Ma, jaga diri baik-baik di rumah. Kalau Papa tetep ember, biarin aja!” Aku mengangguk cepat setelah Ara memberikan sebuah pesan untukku sebelum memasuki pintu utama asrama. 

“Mama ini hebat dan kuat. Mama juga sudah sabuk biru melati empat, yang pasti tidak akan kalah sama Papa!” Ucapanku membuat Ara tertawa. Aku dulu memang termasuk salah satu anggota perguruan pencak silat asli indonesia. Bahkan Ara mengikuti jejakku mengikuti kegiatan ini.

Aku melambaikan tangan pada gadisku yang sudah berusia remaja. Disana sudah ada beberapa ustadzah menyambut kedatangan anak didik mereka yang memang sudah waktunya kembali ke asrama. 

Aku kembali ke kediamanku usia mengantar anak gadisku ke asrama. Tidak lupa aku mampir ke sebuah toko kue tradisional kesukaan Ibuku. Kue carabikang yang masih hangat adalah kue kesukaan Ibu. Aku membeli beberapa kemudian kembali pulang. 

Entah kenapa nasibku begitu apes hari ini. Siang ini aku mendapati Lala, mantan adik iparku tengah berdiri di depan rumah tetanggaku. Entah apa yang dilakukannya. Aku berlalu memasuki halaman rumahku.

Aku malas sekali melihat wajahnya, bukan karena aku menjadi wanita sombong, semua kenangan buruk tentangnya menguar begitu saja. 

“Assalamu alaikum, Ibu!” Ibuku sudah berdiri menungguku di depan pintu. Sudah menjadi kebiasaan, Ibu akan menunggu kepulangan anak atau suaminya.

“Waalaikum salam, Nak. Bagaimana Ara? Apakah dia sudah sampai di asrama?” Aku mencium punggung telapak tangan wanita yang sudah melahirkan aku. 

“Alhamdulillah, meski baru satu semester tinggal di asrama, dia tidak pernah mengeluh. Malah Ara senang punya banyak teman di asrama,” Aku duduk di ruang keluarga bersama Ibuku sambil menikmati kue carabikang yang aku beli di toko kue.

“Itu ada mantan iparmu di rumah tetangga. Entah menunggu siapa, dari tadi Ibu lihat dia hanya berdiri dan berteriak memanggil anak lelakinya Bu Retno. Apa kamu tidak menyapanya?” Ibuku beranggapan semua orang akan berubah pada masanya. Nyatanya keluarga mantan suami belum berubah. Mungkin Lala juga sama, apalagi terkenal gadis judes.

“Tidak. Rista lelah habis dihina sama keluarga Mas Bagas. Tadi kami tidak sengaja bertemu di supermarket!” Wajah renta Ibuku yang pembawaannya tenang mendadak berubah. 

Dibelainya tanganku dan berkata, “Biarkan saja, Nak. Serahkan semua pada Allah. Jadilah wanita penyabar, hanya Allah yang membolak balikkan hati manusia!” begitulah Ibuku akan bicara jika aku dihina oleh mantan keluarga suamiku. Aku paham dengan karakter Ibuku, membenci perbuatan kasar apalagi balas dendam. Itulah sebabnya, mendiang ayahku sangat mencintai Ibuku. Disaat sakit, mendiang ayah sering meminta Ibu menemaninya dan membacakan shalawat untuknya. 

Tidak berapa lama, terdengar suara gaduh di depan rumah tetangga. Aku dan Ibu tidak keluar langsung, tetapi melihat kegaduhan di balik tirai jendela.

Lala tengah bersitegang dengan wanita paruh baya. Entah apa yang terjadi, tetapi sangat terlihat sekali bahwa Lala sedang memarahi seorang wanita.

“Aku tidak sudi anakku berpacaran denganmu!” Suara Bu Retno yang memang terdengar keras hingga sampai ke rumahku. Beberapa warga mulai berkerumun melihat kejadian di luar yang mengganggu.

“Anakmu itu jatuh cinta padaku, dan pantas menjadi pacarku. Aku berhak menjalin hubungan dengan Mas Tomi!” Aku melihat Lala dengan percaya diri layak menjalin hubungan dengan seseorang.

“Sudah, kita masuk saja, Bu. Urusan Lala biar menjadi urusannya. Lagian nanti jika kita melerainya, pasti dia akan memarahi kita!” Aku mengajak Ibuku untuk tidak mencampuri urusan mereka. Ibu menurut padaku, kami kembali ke ruang tengah menikmati kue yang aku beli tadi.

Drrtt

Ponselku kembali berdering dengan nomor baru. Aku melihat foto profilnya saja sudah membuatku malas menerima panggilannya.

Siapa yang menghubungi Rista?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 41. Akhir Kisahku

    Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 40. Mencari sebuah jawaban

    Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 39. Hari bahagia

    Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 38. Lamaran

    Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 37. Seminggu diganti 2 hari

    Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me

  • Membalas Hinaan Mantan Suami   Bab 36. Ungkapan Hati Angga

    Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status