"Bangun, Al. Ayo, kita masuk," ujar Mama menarik kedua pundakku.
Bingung. Sikap papa yang enggan bicara padaku membuat diri ini merasa tidak pantas untuk ikut masuk ke dalam rumah. Namun, untuk pergi pun aku tidak bisa. Papa sudah membawa Saffa ke dalam sana.
Tidak mungkin aku berteriak meminta Saffa dari papa. Untuk memaksa agar Papa bicara padaku pun, aku tidak punya hak.
Mulut-mulut Papa, mana bisa aku memaksakanya. Ah, aku benar-benar bingung.
"Alina, ayo!" Mama menarik kembali tanganku.
"Tapi, Mah. Papa tidak bicara. Dia tidak memaafkan Alina."
"Ck'. Lima tahun berpisah, kamu sudah lupa dengan karakter papamu? Apa kamu tidak mendengar apa yang tadi dia katakan?"
Aku menggelengkan kepala tanda tidak paham.
"Papa sudah menyuruh anak buahnya menyelidiki mantan suamimu, itu artinya dia akan membuat perhitungan dengan si Haikal itu. Sudah, ayo cepetan masuk," titah Mama lagi.
Aku mulai bergerak. Berdiri dan melangkahkan kaki mengikuti Mama.
Mata ini melihat ke sekeliling rumah. Tidak ada perubahan yang signifikan dari rumah ini. Suasananya, letak perabotannya pun hanya sedikit yang berubah. Dan satu lagi. Foto besar yang terpampang di ruang tamu membuatku menyunggingkan seulas senyum.
"Papa tidak menurunkan foto itu?"
Mama berhenti melangkah, melirik foto yang aku tunjuk. Foto sebuah keluarga yang tengah tersenyum bahagia.
Papa, mama, kakakku dan ... aku. Itu adalah foto lama sebelum aku mengenal cinta. Di mana anak perempuannya ini masih menjadi gadis manis yang penurut. Bukan pembangkang seperti lima tahun yang lalu.
"Apanya yang ingin diubah? Tidak ada yang harus diubah. Itu sudah benar, dan selamanya akan seperti itu," celetuk Papa yang ternyata berdiri tak jauh dari kami.
Saffa yang tadi berada di gendongannya, kini sudah turun dan berdiri dengan tangan digandeng Papa.
Benar kata mama. Lima tahun berpisah menjadikan aku anak yang tidak lagi mengenali sifat orang tuanya. Lupa, jika papa bukan tipe laki-laki yang suka berbasa-basi. Dia tegas, keras, namun ... pemaaf.
Aku berjalan cepat ketika dengan sukarela Papa membuka kedua tangannya mempersilakanku untuk masuk ke dalam dekapan hangatnya.
"Papa ...."
"Berhenti menangis. Ini bukan saatnya untuk meratap. Jika sudah berada di sini, itu artinya kamu menjadi tanggung jawab Papa lagi," ujarnya membuatku semakin mengeratkan pelukan.
Lama aku menenggelamkan wajah di dadanya yang masih gagah. Aku memang sudah berhenti menangis, tapi rasa sesal semakin besar ketika kurasakan kasih sayang mereka masih sangat begitu tulus untukku.
Aku merasa, akulah anak yang paling bodoh. Mengabaikan restu demi sebuah hubungan yang tidak abadi.
Sadar diri ini jika restu orang tua sangatlah penting. Sebesar apa pun cinta pasangan, tidak akan bisa menandingi tulusnya rasa cinta kasih orang tua.
Aku sudah merasakannya sendiri.
"Mama ... Cafa mau mamam."
Aku menarik diri, melepas pelukan dari tubuh Papa. Menatap wajah Saffa yang hanya diam melihatku dengan mata yang sendu.
"Astaga, apa dia belum makan?" tanya Papa.
Aku menggeleng lemah.
Aku baru ingat jika tadi keluar dari rumah Mas Haikal tanpa sarapan. Tentulah putriku akan merasakan perutnya keroncongan.
"Ya ampun, apa untuk memberikan makan satu anak pun dia tidak sanggup?" ujar Papa geram.
Aku paham ke mana arah bicaranya. Sebelum papa semakin emosi, mama langsung menggendong putriku untuk membawanya ke meja makan.
Mama juga memberikan isyarat padaku agar segera mengikuti dia tanpa harus menjawab pertanyaan Papa lagi. Bukan tidak sopan, tapi jika sudah mengobrol, papa akan lupa waktu.
"Duh Gusti ... rasanya Bibi sedang bermimpi ini. Neng Alina beneran pulang?"
Saat masuk ruang makan, aku disambut oleh Bi Narsih yang tak lain asisten rumah tangga di rumah ini. Lima tahun tidak berjumpa, wanita yang selalu mengomel jika aku bangun siang itu ternyata kini sudah banyak keriput di wajahnya.
Betapa jahatnya aku meninggalkan orang-orang yang aku sayangi.
"Apa kabar, Bi?" tanyaku seraya mencium tangannya. Dia sudah seperti orang tua kedua bagiku.
"Baik, Neng. Ya Allah, ini anaknya Neng Alina?" Bi Narsih beralih mengelus kepala putriku.
Aku hanya mengangguk untuk itu. Bi Narsih mencium kepala putriku dengan berlinang air mata. Ah, cengengnya dia tidak hilang meski usianya sudah semakin tua.
"Sudah, Bi. Jangan main drama terus, biarkan cucuku makan. Mending Bibi beli cemilan anak-anak ke supermarket, gih," ujar Papa posesif, enggan cucunya diganggu.
"Ih, nanti dulu, atuh, Pak. Masih mau lihat anaknya Neng Alina."
"Ngapain diliatain? Tidak kamu ucapkan pun, dia memang sudah cantik. Keturunan Dinata, gitu loh."
Aku masih menjadi penonton di sini. Humor papa sudah mulai keluar, meskipun ekspresinya masih tetap datar. Setidaknya, papa memang masih menerimaku dengan baik.
"Iya, Pak iya." Bi Narsih berlalu.
Kami pun mulai menikmati makan pagi yang sudah sangat terlambat.
Hatiku sangat teriris ketika melihat Saffa makan dengan begitu lahapnya. Dia benar-benar kelaparan, juga sangat menikmati hidangan yang disuguhkan. Bagiamana tidak, lauk di sini tidak seperti lauk yang kami nikmati di rumah Mas Haikal dulu.
Jika di rumah Mas Haikal, kami harus makan dengan lauk yang sedikit, tapi nasi yang banyak. Sedangkan di sini, Mama memberikan nasi yang sedikit, dengan lauk yang banyak pada piring Saffa.
Sangat kelihatan jika putriku jarang sekali makan lauk yang enak. Bahkan dia makan dengan begitu cepat, membuat kami menghentikan menyuapkan makanan, dan hanya menonton Saffa saja.
"Mama ... Cafa suka makan di sini. Ayamnya banyak, kalau di lumah nenek 'kan gak boleh makan banyak ayam, nanti bisa cacingan," celetuk Saffa membuat pandangan Mama dan Papa seketika menatapku dengan lekat.
Aku hanya bisa menggigit bibir memahami arti tatapan itu. Dan bisa aku lihat, Papa mengepalkan tangannya dengan kuat hingga urat-urat di tangannya terlihat jelas.
Ya Tuhan ... polos sekali putriku. Dia tidak tahu jika ucapan yang baru saja dia lontarkan akan menjadi sebuah ancaman untuk ayahnya.
"Oh, ya? Nenek yang bilang begitu?" tanya Mama pada putriku.
"Heem." Saffa mengangguk seraya bergumam. Matanya menyipit, karena mulut yang penuh terisi.
"Ok, sebentar lagi nenek-nenek itu yang akan seperti cacing kepanasan. Tunggu saja," ujar Mama dengan seringai menakutkan.
Bersambung
"Ada apa, Mah?" Aldi bertanya seraya menghampiri Mama yang duduk di ujung ranjang. "Duduk kalian semua. Lihatlah, apa yang Mama temukan di bawah bantal Papa?" ujar Mama seraya memperlihatkan kertas dengan coretan tinta di dalamnya. "Ternyata Papa sudah punya firasat akan pergi, dan dia buat surat wasiat ini untuk kita."Semua anak menantu memperhatikan kertas yang ada di tangan Mama. Sebagai anak laki-laki, Aldi ditunjuk Mama untuk membacakan apa yang Papa tulis di dalam sana. Aldi duduk di ujung ranjang bersama Mama, sedangkan aku dan Alina serta Adikara, berada di depannya seraya bersandar pada sandaran ranjang. "Assalamualaikum." Aldi mulai membacakan surat yang katanya ditulis langsung oleh Papa. "Istriku, anak-anakku, sebelum Papa menuliskan kata-kata penting dalam kertas putih ini, ijinkanlah terlebih dahulu untuk Papa mengucapkan beribu kata cinta untuk kalian."Aldi menghentikan sejenak bacaannya, lalu menarik napas dengan dalam. "Mama ... terima kasih atas cinta kasih yan
Kami yang ada di depan ruang jenazah berseru kaget saat tubuh Mama jatuh ke lantai. Ibu mertuaku pingsan. Cepat-cepat Om Gunawan dan Adikara mengangkat tubuh Mama, lalu membawanya ke salah satu ruang rawat yang ada di rumah sakit. Aku memanggil dokter agar memeriksa keadaan Mama yang tumbang. Mungkin kekehan karena terus menangis, shock juga atas meninggalnya Papa. "Gimana dengan Mama, Dokter?" tanyaku setelah dokter wanita itu memeriksa ibu mertuaku. "Ibu Marta mengalami shock, tapi tidak apa-apa, sebentar lagi juga siuman. Setelah bangun, nanti kasih makan, ya? Biar punya tenaga dan gak lemas lagi. Ini sudah saya buatkan resep obat buat diambil di apotik."Aku mengangguk. Alina yang melihat Mama bangun, langsung menghampiri ibunya itu dan memeluknya. Lagi. Tangis mereka berdua pecah membuatku memalingkan wajah menghapus air mata yang ikut tumpah. Segera aku keluar dari ruangan Mama, pergi ke apotik untuk mengambil obat yang tadi diberikan dokter. "Aruna, kamu mau ke mana?"
Om Gunawan yang baru saja datang bersama istrinya, langsung memeluk Aldi dan memberikan kekuatan agar suamiku itu bisa tegar menghadapi cobaan hidup yang berat ini. Sedangkan Bunda Nur, dia masuk ke ruangan di mana Mama berada. Ibu mertuaku itu tidak ingin jauh dari suaminya, terus saja menggenggam tangan Papa meskipun tahu genggamannya tidak akan terbalaskan. "Kenapa tidak pamit? Kenapa Papa pergi tidak mengatakan apa pun padaku, Om?" "Sudah, ikhlaskan. Gusti Allah tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Dan kepergian ayahmu, sudah jadi rencana-Nya."Aldi mengurai pelukan, dia mencoba kuat dan kembali ke ruangan Papa bersama Om Gun. Aku pun mengikuti mereka. Melihat wajah Papa untuk yang terakhir kali, sebelum dibawa ke ruang jenazah. Raut kehilangan bukan hanya dirasakan kami sebagai keluarga, tapi Om Gun juga. Yang kutahu mereka sudah bersahabat sejak dulu, dan Papa sudah menganggap Om Gunawan adalah saudara.Tidak heran, jika ayah mertua Alina itu ikut menitikkan air mata meli
Sambil terisak, Mama menceritakan bagaimana awal mula Papa sakit, hingga harus masuk ICU. Kata Mama, semuanya sangat cepat hingga membuat wanita berusia enam puluh tahunan itu shock luar biasa. Tubuh Mama sampai bergetar karena masih kaget dengan apa yang terjadi kepada suaminya. "Tadi dokter bilang apa?" tanya Aldi lagi. Pasalnya, sejak kami datang tidak ada dokter yang masuk ke ruangan Papa, Mama pun hanya menangis, tidak mengatakan apa pun jika tidak ditanya. "Dokter tidak mengatakan apa-apa pada Mama, Al. Dia bilang, akan membicarakan sakitnya Papa pada anak-anak Papa. Makanya, Mama terus menelpon kamu agar segera datang," papar Mama menjelaskan. "Kalau gitu, mendingan sekarang Abang temui dokter dulu untuk menanyakan kondisi Papa dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Biar Mama, aku yang temani di sini." Aku memberikan saran. Aldi melihatku dan Mama bergantian. Kemudian dia pamit untuk menemui dokter, agar semuanya jelas. "Mah, Mama tenang, ya? Aku yakin, Papa akan semb
Pagi ini langit begitu cerah, kusibak semua gorden agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya, karena tubuh yang terasa lelah. Satu minggu ke belakang, aku sangat sibuk dengan pekerjaan. Promo besar-besaran dilakukan perusahaan untuk menggaet konsumen baru, juga mempertahankan konsumen lama. Bazar dilakukan disetiap pusat perbelanjaan, hingga aku harus turun tangan menyiapkan dan mempromosikan barang produksi pabrik. Capek? Jangan ditanya. Makanya hari minggu ini aku sengaja bangun siang dan santai-santai di tempat tidur. "Bang!" Aku berteriak memanggil suamiku yang sedari bangun, aku belum melihatnya. "Tidak mungkin dia kerja," kataku lagi seraya keluar kamar, dan berdiri di balkon. Senyumku tersungging saat melihat orang yang kucari ada di halaman rumah. Dia sedang berolahraga ringan di sana. "Abang!" panggilku membuatnya mendongak. "Hey, sudah bangun?" Aku mengangguk. "Mandilah, sudah Abang buatkan sarapan untukmu."Aku mel
"Mau pulang naik taksi?" Aku menoleh pada Aldi yang bicara dari dalam mobil. "Silahkan berjalan keluar dari perumahan ini, baru Tuan Putri akan menemukan taksi."Setelahnya, Aldi keluar dari mobil, lalu masuk ke rumah tanpa mengajakku sama sekali. Seperti orang bodoh yang tidak punya arah tujuan, aku hanya diam seraya memainkan jari-jari tangan. Seandainya saja tadi aku menyadari sudah ada di depan rumah, tidak akan aku turun dari mobil seraya berucap demikian. Sekarang, aku malu sendiri karena ucapanku yang tidak sesuai dengan kenyataan. Aku melihat pintu rumah yang terbuka, tapi ragu untuk masuk ke sana. Aldi, juga tidak mengajakku bersamanya. Apa dia marah? Mungkinkah dia tak butuh aku lagi? Oh, hentikan pikiran kotor ini! Aku tidak mau bertengkar dengan Aldi gara-gara otakku yang selalu berpikir buruk tentang suamiku. "Masuk ajalah. Panas di luar terus," kataku seraya melangkahkan kaki menuju rumah. Di ruang tamu dan tengah Aldi tidak ada. Aku pun melanjutkan langkah henda
Jika bisa aku meminta, jika dunia bisa aku kendalikan sendiri, aku ingin hidup seribu tahun di sini, dengan orang yang sama. Dengan dia yang selalu menjadi tempatku bersandar, melebarkan dadanya hanya agar aku nyaman berada dalam dekapan hangatnya. Jatuh cinta? Aku merasakan itu setiap hari, setiap waktu, dan di setiap momen indah yang kami lewati. "Kenapa kamu liatin aku terus, Run?" Aldi bertanya dengan tangan menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Karena ... Abang tampan. Aku jatuh cinta pada Abang." Aku menempelkan kedua tangan di kedua sudut bibir agar suara setengah berbisik yang kukeluarkan hanya didengar Aldi. Suamiku terkekeh geli. Dia melipat kedua tangan di meja, lalu pandangannya lurus ke arahku. Kubalas tatapan itu dengan wajah imut dan bibir yang sedikit mengerucut. "I love you," kataku lagi dengan cara yang sama seperti tadi. Kini Aldi terbahak. Namun, segera dia menutup mulut dengan telapak tangan, tidak ingin suaranya didengar pengunjung yang lain. Apaka
"Aruna ...."Mataku terpaku pada pria yang baru saja datang dengan memakai baju tahanan. Pandangan kami sama-sama bertemu saling memandang dalam hingga akhirnya dia terlebih dahulu memalingkan wajah. Hari ini, Aldi membawaku bertemu dengan seseorang di masa lalu. Orang yang dulu sangat dekat, tapi harus berjarak karena masalah hidup yang rumit. Kami dulu seperti saudara kandung yang hubungannya sangat erat. Namun, harus renggang karena rasa benci dan keegoisan diri yang meninggi. Brukk!Aku tercengang dengan apa yang dilakukan Damar setelah berada di depanku. Dia menjauhkan tubuhnya, berlutut di depanku yang duduk bersebelahan dengan Aldi. "Dam," kataku, tenggorokanku tercekat, tak mampu berkata-kata. "Maafkan aku, Aruna. Maaf atas segala salah dan khilafku padamu. Pukul aku, pukul aku sesuka hatimu.""Tidak, Dam.""Pukul aku!!" Damar berteriak seraya memegang tanganku agar menyentuh tubuhnya. "Hentikan!" ujar Aldi menghentikan tangan Damar. "Jika seperti ini, kamu menghentika
"Sedang ganti seprai, Mbak. Mama dan Papa mau nginap, aku gak mau mereka merasa tidak nyaman dengan tidur di kasur yang tidak bersih."Aku tidak melihat pada Alina yang baru saja masuk. Tanganku terus menata tempat tidur agar terlihat bagus dan rapi. "Sampai segitunya kamu, Run," ujar Alina terkekeh. Setelah selesai mengganti seprai, aku duduk berdua di ujung ranjang dengan Alina. Wajahnya tidak seperti biasa. Dia terlihat murung dan tidak seceria tadi pagi. "Ada apa, Mbak?" tanyaku ingin tahu isi hatinya. Alina menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Dia memangku tangan, menautkan jari-jarinya. Sedangkan pandangannya lurus ke depan pada hiasan yang menggantung di dinding. "Aku gak tahu ini hanya pikiranku saja, atau memang ada sesuatu yang terjadi pada dia. Perasaanku tidak enak.""Siapa, Mbak?" tanyaku, karena aku tidak tahu siapa yang dibahas Alina."Naima. Dia baik-baik saja, kan?" Aku diam.Pertanyaan Alina tidak aku jawab dan malah meraih seprai yang teronggok di lan