Kira-kira jawaban apa yang akan diberikan Michael? Yuk, berikan komen, like, dan gems untuk mendukung Anaby ya.
Selesai memesan kamar untuk Sandra, Aslan melirik jam tangan kulit yang melingkar di pergelangan kirinya. Jarum panjang telah bergeser ke angka dua belas, menunjukkan pukul enam tepat.Wajah Aslan tampak berubah, diliputi rasa tanggung jawab yang kembali menguasai dirinya.“Aku harus mengantarmu pulang sekarang,” ucap Aslan. Ia menoleh ke arah Sandra dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Aku berjanji akan kembali ke rumah sakit malam ini juga. Ana pasti masih menunggu.”Sekilas gurat kecewa muncul di wajah Sandra. Namun, gadis itu segera mengangguk patuh. Ada batas yang tak bisa ia langgar sekarang, meskipun hatinya menginginkan lebih. Mereka berjalan menyusuri koridor hotel. Langkah mereka beriringan, walaupun hati Sandra masih tertinggal di ruang mewah yang begitu lama ia impikan.Sebelum mereka melangkah lebih jauh, seorang petugas hotel dengan senyum profesional menghampiri mereka. Lelaki berseragam hitam itu membungkuk sopan kepada Aslan.“Selamat sore, Tuan. Mohon maaf menggan
Tuan Aryan Lubis. Seorang detektif berpengalaman — yang dulu pernah menjadi tangan kanan kepercayaan sang ayah, kini menjadi harapan terakhir Anaby dalam membongkar kepalsuan yang membelit hidupnya.“Nona Anaby, sudah lama kita tidak berjumpa,” sapa pria itu dari seberang telepon.“Katakan saja siapa orangnya. Saya akan berusaha membantu Anda.”“Sandra dan Aslan,” jawab Anaby, menyebut dua nama yang membuat darahnya kembali mendidih.“Sandra sedang mencari tempat untuk merayakan ulang tahun ayahnya. Dan, saat ini mereka berdua pasti berada di Hotel Electon,” pungkas Anaby.“Tolong, Anda segera menuju hotel itu. Saya curiga, mereka berdua memiliki hubungan spesial di belakang saya.”“Nona yakin mereka akan memilih hotel itu?” tanya Tuan Aryan, setengah ragu.“Sangat yakin. Di kehidupan sebelumnya.…”Anaby langsung menghentikan ucapannya sendiri. Mustahil, ia berkata kepada Tuan Aryan bahwa ia telah mengetahui apa yang terjadi di masa depan.Sandra pernah memilih Hotel Electon untuk pes
Selepas kepergian Aslan dan Sandra, Anaby menatap dua sosok yang masih bergeming di sisi tempat tidur ayahnya. Nyonya Kemala dan Laura. Masing-masing dengan raut muram yang dilebih-lebihkan, seakan kehilangan seluruh kekuatan untuk berdiri.Keduanya tampak sangat terpukul—atau setidaknya, berusaha terlihat demikian. Padahal, baru satu jam yang lalu mereka berteriak padanya dengan suara lantang.Anaby berdiri tanpa terburu-buru. Ia memiringkan kepala sedikit, lalu mengedarkan pandangan dingin.“Mama… Laura,” panggil Anaby. Suaranya datar, nyaris seperti berbincang santai di ruang tamu.“Bukankah tadi pagi kalian marah-marah karena harus menunggu Papa? Kalian bilang aku anak tidak tahu diri, membiarkan Papa sekarat sendirian.”Anaby menyisipkan jeda, sambil menatap Ibu tirinya dan Laura secara bergantian.“Sekarang aku sudah di sini. Lalu, kenapa kalian belum pulang juga?”Pertanyaan itu menghantam seperti cambuk tenang yang tak butuh teriakan. Nyonya Kemala langsung mendongak. Sorot ma
Tak ingin membuang waktu dengan pertengkaran yang sia-sia, Anaby menghampiri petugas ICU yang berdiri tak jauh dari sana.“Selamat siang. Bagaimana kondisi papa saya? Apakah sudah bisa dijenguk sekarang?”Petugas itu menoleh, lalu mengangguk sopan. "Tuan Carlo akan dipindahkan ke ruang rawat biasa, karena kondisi Beliau sudah stabil. Silakan tunggu saja di luar.”Mata Anaby membulat, setitik kelegaan menyelinap di matanya. Sang ayah mulai pulih, itu artinya masih ada harapan untuk bersamanya di masa depan. Dari balik kaca bening ruangan ICU, Anaby pun memerhatikan dengan saksama. Di dalam ruangan memang ada seorang perawat yang duduk berjaga, tak jauh dari tempat tidur ayahnya.Sementara di sisi lain, seorang petugas ICU tengah memeriksa infus dan mengatur selang oksigen. Ia memberi instruksi ringan kepada rekan sejawatnya—menyiapkan brankar, catatan medis, serta jalur evakuasi menuju ruang rawat.“Jika saya boleh tahu, siapa yang menyewa perawat untuk papa saya?” tanya Anaby, penasa
Dengan langkah tergesa, Anaby menyusuri koridor apartemen menuju parkiran bawah tanah. Matanya langsung menangkap mobil miliknya yang masih terparkir di tempat semula —aman, seperti yang diharapkannya. Tanpa pikir panjang, Anaby meraih gagang pintu dan melesak ke kursi pengemudi. Sebelum menyalakan mesin, pandangannya jatuh pada kilau lembut cincin berlian yang melingkari jari manisnya.Anaby menatapnya cukup lama, memperhatikan betapa cantiknya perhiasan itu. Cincin pernikahan ini bukan hanya simbol dari ikatan suci, tetapi juga titik balik dari hidupnya yang pernah hancur. Perlahan, bibir Anaby melengkung, membentuk seulas senyum samar.“Akhirnya… aku telah memilih Michael,” bisiknya lirih, seolah hanya ingin didengar oleh hatinya sendiri. “Aslan tidak akan bisa menjeratku lagi.”Dalam hitungan detik, senyuman itu segera memudar. Dengan berat hati, Anaby melepas cincin pernikahannya lalu menyimpan di dalam tas. Masih terlalu dini untuk mengenakannya di hadapan para pengkhianat. A
Wajah Michael berubah tak terbaca. Tanpa berkata-kata, ia berjalan mendekat lalu berdiri tepat di belakang Anaby. Sorot matanya yang sulit ditebak, membuat jantung Anaby kembali berpacu tidak karuan. Angin sejuk dari pendingin ruangan seolah tak terasa, karena kehadiran pria itu menciptakan kehangatan asing yang menjalar dari kulit ke hati.“Ritsletingnya… dari atas sampai ke punggung bawah,” lirih Anaby, sembari menunduk malu.Michael tidak menjawab, tetapi jemarinya yang hangat mulai membuka akses ke punggung yang tertutup renda. Gerakan pria itu sangat hati-hati, seolah ia sedang membuka sesuatu yang jauh lebih dari sekadar kain. Anaby menahan napas, sementara jari-jari Michael mulai bekerja di beberapa pengait kecil. Jemari itu terasa ringan tetapi nyata, bak aliran listrik halus yang menggetarkan nyali. Dalam hitungan detik, pengait terbuka satu per satu, dan perlahan ritsleting panjang itu ditarik turun. Saat gaun mulai mengendur, pori-pori kulit Anaby meremang. Ia bisa merasa
Usai ciuman pertama mereka sebagai pasangan suami istri, ruangan gereja kembali dipenuhi keheningan. Pastor Benediktus mundur selangkah dan memberi isyarat kepada dua orang petugas—seorang dari gereja, satunya lagi dari kantor urusan sipil. Mereka membawa map cokelat dan buku besar dengan sampul berukir lambang negara di sudutnya.“Tuan dan Nyonya Rajasa,” ujar petugas urusan sipil dengan nada penuh penghormatan, “silakan menandatangani dokumen pernikahan, sebagai bagian akhir dari prosesi pemberkatan.”Michael mengangguk, lalu meraih pulpen yang disodorkan tanpa jeda. Ia menorehkan tanda tangannya dengan goresan mantap, penuh kepastian. Tiada satu helai pun keraguan yang terpancar dari caranya menggenggam pulpen, seolah segala keputusan telah menuju babak final.Anaby menyusul perlahan. Jemarinya sempat bergetar ketika ia meraih pena logam itu. Ia melirik Michael sekilas, lalu menatap namanya sendiri yang tercetak di atas baris kosong. Suatu perasaan yang tak mampu ia lukiskan menye
Mobil melambat, sebelum berhenti perlahan di halaman sebuah gereja kecil di pinggir kota Grenada. Gereja itu dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang melambai pelan diterpa angin. Bangunannya tidak megah, tetapi memancarkan pesona klasik yang mengundang kedamaian. Dinding gereja Saint Anna terbuat dari batu alam berwarna kelabu pucat, dengan jendela-jendela lengkung berhias kaca patri. Menara loncengnya menjulang sederhana, seperti penjaga setia yang mencatat setiap janji suci yang pernah terucap.Pintu kayu besar terbuka, dan di sana berdiri seorang pria muda bersetelan hitam elegan. Pembawaannya memancarkan ketenangan profesional.“Selamat datang, Nona Anaby,” sapanya sambil membungkuk hormat. “Saya Samuel, asisten pribadi Tuan Michael. Beliau sudah menanti di altar.” Samuel menyerahkan buket bunga yang terdiri dari rangkaian ‘forget-me-nots’ berwarna biru pucat, dipadu dengan gardenia putih yang mekar sempurna—lambang cinta sejati dan kesetiaan abadi.Anaby menerima buket itu den
Kuas-kuas halus menari di permukaan wajah Anaby, menyapukan rona cerah yang membuat kulit Anaby lebih segar. Seorang perias memulas kelopak matanya dengan gradasi warna netral, lalu membingkai bulu mata Anaby yang lentik dengan eyeliner tipis dan maskara. Bibirnya disentuh oleh warna mawar lembut, menyempurnakan tampilan yang alami sekaligus memesona.Di belakangnya, penata rambut menata helaian rambut panjang Anaby dengan cermat. Melilitkannya ke atas membentuk sanggul anggun, dan membiarkan beberapa helai tergerai menyentuh bahu.Di antara lilitan itu, terselip rangkaian bunga kecil berwarna putih. Mengingatkan pada potret para dewi dalam relief-relief Yunani kuno—megah, murni, dan memukau.Anaby menatap pantulan dirinya pada cermin besar. Penampilannya kini tak ubahnya seperti seorang calon permaisuri yang akan melangkah ke pelaminan. Namun, kilau matanya menyimpan kisah yang terlalu perih untuk diceritakan ulang.“Anda cantik sekali, Nona,” puji salah satu perias dengan kagum, sam