Bagaimana kondisi Anaby selama Michael pergi? Mampukah Anaby menjauhi Aslan? Jangan lupa tinggalkan jejak like dan gems setelah baca ya.
“Belum saatnya,” jawab Aslan, lembut dan merendah. "Saya belum layak menggantikan posisi Anda, Tuan Carlo. Saya masih dalam tahap belajar.”Aslan menggeser posisi duduknya sembari menyentuh lengan Tuan Carlo. Meski sorot matanya menyimpan bara ambisi, tetapi ia tetap menampilkan ekspresi penuh kerendahan hati. Namun tak berselang lama, Aslan melanjutkan dengan nada antusias.“Anda pasti ingat bahwa besok akan berlangsung rapat tahunan dengan dewan direksi. Saya berniat memperkenalkan sebuah program pembelajaran matematika terbaru,” pungkas Aslan.“Program ini khusus untuk siswa SMA yang bersiap menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi. Jika rencana program saya berhasil mendapat lampu hijau, maka saya berharap itu cukup untuk menunjukkan kemampuan saya.”Sinar terang dari lampu gantung membentuk bayangan halus di dahi Tuan Carlo. Tatapannya menghangat, membaur antara kebanggaan dan rasa lega yang kentara.“Bagus, Aslan. Aku tidak salah memilihmu,” ujarnya, penuh makn
Sebelum Aslan bertanya lebih lanjut, Anaby buru-buru menyembunyikan layar ponsel di balik tubuhnya. Senyum yang tadi begitu alami perlahan memudar. Ketegangan mulai merayap di antara mereka, bagai hawa dingin yang menyusup diam-diam di sela pakaian hangat.Anaby menarik dagunya sedikit lebih tinggi. “Aku sedang membalas pesan dari teman. Wajar kalau aku tersenyum.”Aslan mengerutkan kening, jelas tak puas dengan jawaban itu.“Ana, aku tahu kau masih kecewa padaku. Tapi, setidaknya jangan menyembunyikan sesuatu dariku. Kita sedang memperbaiki hubungan, bukan?”Wajah Aslan begitu memelas, seolah menyiratkan penyesalan yang begitu dalam.Dahulu, hati Anaby pasti akan luluh jika melihat sinar mata Aslan yang seperti ini. Namun, sekarang yang terekam di ingatan Anaby justru cara Michael menatapnya, sebelum mereka berdua berpisah di apartemen.“Aku tidak menyembunyikan apa pun,” imbuh Anaby, datar. “Aku juga tidak berutang penjelasan pada siapapun.”Aslan ingin berkata sesuatu lagi, tetapi
Anaby terdiam beberapa saat, lalu pelan-pelan berbalik arah. Seketika, satu ide cemerlang muncul. Mungkin ini saat yang tepat untuk membalikkan keadaan. Ia ingin tahu bagaimana rasanya membuat Michael tak berdaya, sebelum mereka harus berpisah. Sesekali, ia perlu membuat pria itu merasakan apa yang dia alami semalam.Dengan tatapan lembut dan gerakan yang anggun, ia berjalan mendekati Michael yang baru saja selesai mengancingkan kemejanya. Pria itu sempat mematung, keningnya mengernyit saat Anaby berdiri tepat di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Anaby mengangkat tangan dan memegang dasi Michael. Jari-jarinya yang ramping merapikannya dengan gerakan terlatih. Lalu, ia menarik simpul dasi ke atas hingga benda itu menempel rapi di kerah kemeja.Michael hanya menatapnya tanpa bergerak sedikit pun. Ada ketegangan halus di garis rahangnya, matanya tak berkedip memandangi perempuan yang hanya berjarak satu jengkal darinya .“Aku tidak akan dekat-dekat dengan Aslan,” tutur Anaby, penuh ke
Kesal dan lelah oleh pikirannya sendiri, Anaby membalikkan tubuh. Jika Michael ingin mengganggunya, biar saja. Ia tidak sanggup lagi tidur dalam posisi ini—sendiri, rindu, dan terlalu dekat dengan seseorang yang bisa mengaduk-aduk perasaannya.Begitu ia berbalik, mata mereka bertemu. Michael masih terbaring tenang, satu lengannya disilangkan di belakang kepala.“Kenapa belum tidur?” tanyanya pelan, datar seperti biasa.Anaby mendengus, merasa ingin melemparkan bantal ke wajah pria itu.“Bukankah kau penyebabnya? Tapi, pura-pura tidak tahu,” rutuknya di dalam hati. Namun di bibirnya, Anaby hanya berucap, “Aku tidak terbiasa tidur di tempat lain. Apalagi, tidak ada…”Buru-buru, Anaby menghentikan ucapannya, matanya melebar. Tidak mungkin dia menyebut Bubu di hadapan Michael.“Kalau kau ingin memeluk sesuatu, katakan saja,” ujar Michael tiba-tiba.Bola mata Anaby membulat seketika. Ia berpikir mungkinkah pria ini memiliki indera keenam, sehingga bisa mengetahui isi hatinya.“Tidak perlu,
Sembari memejamkan mata, Anaby mencoba mengabaikan semuanya, hingga satu ingatan tiba-tiba menyentaknya. Tentang seseorang di rumah sakit.“Kau sudah tidur?” tanya Anaby, nyaris berbisik.“Seseorang yang sudah tidur, tidak akan bisa menjawab,” sahut Michael santai dari balik punggungnya.Anaby langsung membuka mata dan membalikkan badan dengan pelan. Kini wajahnya menghadap Michael yang berbaring dengan mata setengah terpejam.Piyama biru tua yang dikenakannya memperkuat citra pria itu sebagai sosok yang tak hanya kuat, tetapi juga misterius. Pria yang tak pernah bisa ditebak isi hatinya.“A-aku ingin berterima kasih,” tutur Anaby. “Karena kau sudah mengirimkan perawat untuk menjaga Papa.”Tak ada gerakan di wajah Michael. Hanya rahangnya yang tampak mengeras sedikit, sebelum pria itu melirik Anaby dari ekor mata.“Hari ini kau mengucapkan terima kasih terlalu banyak,” ujarnya datar. “Aku bosan mendengarnya.”Anaby tercengang. Ia menegakkan tubuh sedikit, menyandarkan diri pada siku.
Langkah Anaby terhenti di depan deretan lemari. Jari-jarinya menyentuh lembut koleksi baju dan beberapa gaun tidur wanita yang tergantung rapi, sebagian masih berbalut plastik tipis seperti baru saja keluar dari butik ternama.Pandangannya tertumbuk pada label-label kecil yang tergantung di kerah—semuanya ukuran tubuhnya. Semua tampak belum pernah disentuh.Ia menelan ludah. Tak perlu berpikir panjang untuk menebak siapa yang menyediakan semua ini. Michael, atau lebih tepatnya, orang suruhan Michael. Lelaki ini memang selalu tahu cara mengacaukan ketenangannya tanpa berkata banyak.Setelah menimbang-nimbang, Anaby memilih gaun tidur sutra berwarna hitam. Paling tertutup di antara semuanya, sekaligus tampak nyaman untuk dipakai.Sembari menggenggam gaun pilihannya, Anaby melangkah ke kamar mandi. Sesaat setelah pintu tertutup rapat, air hangat mengalir di atas tubuhnya. Membawa serta rasa canggung yang masih tertinggal sejak makan malam.
Dengan gerakan canggung dan terburu-buru, Anaby mendorong perlahan tubuh Michael menjauh, mencoba melepaskan diri dari pelukannya yang hangat dan tak terduga. Gadis itu berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya dari tatapan tajam Michael.“Kalau kau ingin mencicipi makanannya… silakan,” gumam Anaby lirih, hampir tak terdengar. Ia langsung melangkah menuju kursinya dan duduk dengan tubuh kaku.Michael tidak menjawab. Ia menatap gadis itu sesaat, lalu menyerahkan tas kertas yang masih ia pegang ke tangan Anaby. “Ini milikmu,” katanya singkat, sebelum kembali duduk di kursinya sendiri, tepat di seberang Anaby.Michael mengambil gelas anggurnya dan meminumnya dengan santai. Pandangannya sesekali melirik ke arah Anaby yang sedang sibuk membongkar isi tasnya.Jemari gadis itu tampak gemetar saat mengeluarkan dua ayam goreng, dua burger, dan dua bungkus kentang goreng, menatanya di meja dengan hati-hati.Diam-diam, Anaby merutuk dirinya sendiri. Entah mengapa setiap kali mereka berdekat
Anaby menatap ke depan, lampu jalanan tampak kabur oleh benaknya yang bergumul. Ia mengetukkan jemarinya di setir, masih belum menemukan jawaban.Waktunya pun sangat sempit. Jika ia terlambat datang ke apartemen Michael, pria itu pasti tidak akan senang.Merasa gundah sendiri, perut Anaby di dalam sana justru berteriak minta diisi. Akhirnya, ia memutuskan untuk melajukan mobilnya dan mencari restoran terdekat.Setelah berkendara beberapa menit, Anaby berhenti di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari gedung apartemen Michael. Pilihannya bukan tanpa pertimbangan.Daripada bingung memikirkan hadiah untuk Michael, lebih baik ia membeli makanan. Setidaknya, makanan bisa menjadi jembatan kecil menuju perbincangan yang lebih nyaman, setelah menandatangani kontrak.Dari jendela mobil, restoran itu tampak ramai, tetapi tak menyurutkan niat Anaby. Ia segera memesan dua potong ayam goreng, dua burger keju, dan seporsi besar kentang goreng. Usai menyebutkan pesanan, Anaby tiba-tiba ingin
Selesai memesan kamar untuk Sandra, Aslan melirik jam tangan kulit yang melingkar di pergelangan kirinya. Jarum panjang telah bergeser ke angka dua belas, menunjukkan pukul enam tepat.Wajah Aslan tampak berubah, diliputi rasa tanggung jawab yang kembali menguasai dirinya.“Aku harus mengantarmu pulang sekarang,” ucap Aslan. Ia menoleh ke arah Sandra dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Aku berjanji akan kembali ke rumah sakit malam ini juga. Ana pasti masih menunggu.”Sekilas gurat kecewa muncul di wajah Sandra. Namun, gadis itu segera mengangguk patuh. Ada batas yang tak bisa ia langgar sekarang, meskipun hatinya menginginkan lebih. Mereka berjalan menyusuri koridor hotel. Langkah mereka beriringan, walaupun hati Sandra masih tertinggal di ruang mewah yang begitu lama ia impikan.Sebelum mereka melangkah lebih jauh, seorang petugas hotel dengan senyum profesional menghampiri mereka. Lelaki berseragam hitam itu membungkuk sopan kepada Aslan.“Selamat sore, Tuan. Mohon maaf menggang