Cuaca Jakarta cukup terik. Sepasang pria dan wanita baru saja keluar dari bandara Soetta. Masing-masing dari mereka membawa satu ransel berukuran sedang. Wajah si wanita tampak tegang dengan raut dingin sedangkan si pria tampak lebih santai tapi tetap waspada.“Aku harus ke toilet,” ucap Mei sambil melirik Erik di sebelahnya.“Oke. Aku akan menunggumu di cafe itu.” Erik menunjuk satu cafe yang berada tidak jauh dari pintu toilet.Mei mengangguk. “Oke, pesankan aku latte.”“Siap. Ada lagi?”Mei menggeleng. “Itu saja.”Saat mereka hendak berpisah, tiba-tiba saja Erik menahan tangan Mei. “Mana tasmu? Biar aku bawakan,” ucapnya.Mei langsung tersenyum. “Kau memang teman terbaik,” ucapnya tulus.“Hanya teman? Yakin?” Erik mencoba menggoda Mei.Namun Mei malah berdecak. “Jangan aneh-aneh, Erik! Aku tidak ingin penggemarmu di sasana membenciku.”Jawaban yang Mei berikan justru membuat Erik semakin enggan melepas tangan Mei. “Apa itu berarti jika tidak ada penggemar, kamu mempertimbangkan unt
“Ini akan menjadi tempat tinggal kita selama berada di Jakarta.” Dengan sebuah kartu, Erik membuka pintu apartemen yang dipinjamnya dari Dodi.Sebuah apartemen dengan dua kamar tidur, sebuah dapur sederhana dan satu set sofa. Dalam hati, Mei cukup bersyukur dengan tempat ini. Dia masih bisa beristrahat dengan baik tanpa takut Erik harus tidur di sofa.Mei berjalan ke arah dapur, membuka lemari esnya yang ternyata sudah terisi. Mungkin ini memang fasilitas yang diberikan Dodi.“Dodi beneran tidak tinggal di sini, ‘kan?” Mei memastikan sekali lagi.Erik mengangguk. “Tenang aja, dia punya tiga apartemen. Dia pakai satu, yang dua disewakan. Kebetulan yang baru dua minggu yang lalu dikembalikan oleh penyewa terakhir. Dan untungnya masih belum ada lagi yang menyewa. Jadi kita bisa pakai sampai semua urusan kita di sini tuntas.”“Urusan kita?” Mei menatap Erik dalam-dalam.“Urusan kita, Mei.” Erik berjalan perlahan ke arah Mei. Dia berdiri tepat di depan wanita yang sudah menawan hatinya. Ma
“Lily sudah memberiku lokasi terkini Toni Kurniawan,” ucap Mei saat sedang sibuk memasak sarapan.Erik baru saja keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan wangi sabun tercium kuat di hidung Mei. Dengan santainya, Erik duduk menghadap kitchen island¸ memperhatikan gerak-gerik wanita yang sudah mengobrak-abrik hatinya.“Di mana?” tanya Erik. Dia mengambil satu gelas jus apel tanpa es yang ada di meja. “Eh, ini memang buat aku, ‘kan?”Mei menoleh sebentar lalu mengangguk. “Ambil aja! Itu memang buat kamu. Aku lebih suka teh hangat,” jawab Mei. “Oh iya, Lily bilang Toni ada di Jakarta Selatan.”“Oke, kita bisa berangkat setelah sarapan,” sahut Erik.Mei mengangguk. Dia mulai memindahkan masakannya ke atas piring. Telur mata sapi setengah matang, sosis bakar, kentang tumbuk, dan buncis, siap dinikmati.“Tumben masak begini? Biasanya nasi,” ujar Erik sambil mencomot kentang tumbuknya. Kepalanya mengangguk tanda menikmati masakan Mei.“Aku tahu kau jarang makan nasi kalau pagi begini. Jad
Matahari telah terbenam sempurna. Mei sudah meyakinkan dirinya untuk totalitas mencari pembunuh suaminya. Dia bersumpah tidak akan membuat penjahat brengsek itu hidup dengan tenang.Tok! Tok!“Mei, sudah belum? Kenapa lama?” Erik berteriak dari luar kamar Mei.Ketukan itu sontak membuyarkan lamunan Mei. “Iya, sebentar!!” teriak Mei.Mei kembai mematut dirinya di cermin. Dia memakai atasan halter yang bawahnya dipasang karet dengan panjang tepat sampai di pinggang Mei. Baju itu terbuat dari kain sifon hingga memamerkan lekuk tubuh atasnya dengan sangat baik meski baju itu tidak ketat.Untuk bawahan, Mei tetap nyaman dengan celana panjang. Ibu satu anak itu mempercantik tampilannya dengan memakai sepatu setinggi tujuh sentimeter yang cantik meski modelnya sederhana.Mei membuka pintu kamarnya dan Erik mematung begitu saja. Pria itu merasa seakan seluruh kesadarannya tersedot pada satu sosok di depannya.“Erik!!” Mei menjentikkan jarinya di depan wajah pria yang melamun itu.“Eh?” Erik g
Mei terus diseret oleh dua pengawal itu. Sesekali, dia berpura-pura menoleh ke belakang, memastikan Erik masih mengawasinya. Bagaimana pun juga, Mei rasa dia akan bertemu dengan teman-teman penjaga yang menyeretnya ini ke mana pun dia akan dibawa. Dan Mei akan sangat kesulitan menghadapi beberapa pria besar seperti mereka ini sekaligus.Setelah menaiki dua tangga, Mama Alan itu dibawa masuk ke sebuah ruangan di lantai tiga. Ruangan itu tidak begitu luas. Dindingnya dicat merah. Kursi-kursi dan meja besar dari kayu yang dipelitur diletakkan di tengah. Gordennya yang tebal dan tinggi menggunakan kain berwarna cokelat. Ada juga lukisan-lukisan berukuran besar dipajang di tembok. Secara keseluruhan, ruangan ini cukup suram bagi Mei. Tidak ada kehangatan dalam udaranya.“Duduk!”Bahu Mei ditekan ke bawah, memaksanya untuk duduk. Mei menurut saja. lengannya sudah dilepas. Kemudian dia mendengar suara langkah menjauh disusul dengan pintu yang tertutup.Mei mengedarkan pandangannya. Sendiri.
Toni menyesap martini dalam gelasnya. Dia tengah berdiri di depan jendela. Matanya menatap keluar tapi tatapannya kosong. Sesekali, da akan menggoyang gelasnya sebelum meminumnya lagi hingga gelasnya kembali kosong. Kalimat yang diucapkan wanita itu terus terngiang di kepalanya. Otaknya mencoba mengingat peristiwa dua tahun yang lalu.Toni menyerah. Otaknya buntu. Dia pun akhirnya duduk dan membuka laci mejanya, mengambil sebuah buku jurnal agenda yang selalu menemaninya tiga tahun ini. Tangannya bergerak membuka jurnalnya, membolak-balik kertas di dalamnya, mencari petunjuk dua tahun yang lalu. Namun dia tidak menemukan apa pun. Hanya ada catatan transaksi obat dan minuman ilegal yang biasa dia lakukan di beberapa kota di Jawa, termasuk Surabaya.Toni mendengus. Ditutupnya jurnal itu dengan kasar. Dia mendadak kesal dengan dirinya sendiri. Untuk apa dia bersusah-susah membuka jurnal dan membacanya lembar demi lembar?? Untuk wanita yang dia bahkan tidak tahu namanya?? Gila!! Toni tida
Mei sudah mulai mengantuk. Beberapa kali dia tampak menutupi mulutnya saat menguap.“Tidurlah kalau mengantuk! Aku akan berjaga.” Erik mengelus rambut Mei dengan lembut.Mereka berdua masih berada di dalam mobil di seberang club milik Toni. Seperti rencana sebelumnya, mereka akan mengintai pria dingin dan dominan tersebut lalu mengikuti ke mana dia akan pergi dengan harapan mereka akan menemukan sesuatu.Mei menggeleng. “Aku akan membeli kopi saja.”“Mei, jangan dipaksakan! Kalau kamu terlalu capek, kamu akan sakit. Dan kau tidak akan bisa membalas pembunuh suamimu.” Erik mencoba memberi saran.Mei menghela nafasnya. Dia emmang sudah sangat mengantuk. Bukan kerana dia lemah, tapi karena ini memang sudah pukul satu pagi. Dia sudah meminum dua gelas kopi. Wajar saja Erik mencegahnya untuk membeli satu gelas lagi.“Kalau begitu aku ke toilet sekalian membeli air putih di mini market itu.” Mei menunjuk satu mini market yang kemarin dia datangi.Erik pun mengangguk.Tangan Mei segera membu
Seperti memiliki alarm dalam tubuhnya, Toni terbangun tepat pukul lima pagi. Matahari masih malu-malu mengintip di ujung timur.Matanya mengerjap perlahan, berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Saat matanya menangkap sosok wanita berambut panjang terlelap di sampingnya, barulah seluruh kesadarannya terkumpul. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Tangannya terulur merapikan rambut Mery yang menutupi pipinya. Saat wajah ayunya terlihat jelas, Toni mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi mulus itu. Matanya memandang lekat-lekat wanita yang masih tertidur itu. Ingin rasanya Toni berlama-lama memeluk dan menikmati halus kulit Mary, tapi masih ada yang harus dia lakukan pagi ini.Dengan berat hati, Toni pun beranjak. Tubuhnya dibiarkan polos saat dia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Lima belas menit kemudian, pria pendiam itu sudah memakai kaos dan sweatpants. Keluar dari kamar, kakinya melangkah menuju dapur.Suasana club pagi ini sangat sepi. Hanya ada beberapa saj