Sejak dulu, Lara sangat benci dengan Alex. Setelah sekian tahun berlalu, rasa benci itu masih sama besarnya.
Lara tidak salah dengar saat Alex baru saja mengatakan agar Lara kembali ke rumahnya sebagai syarat dia akan menjadi pendonor untuk Shenina."Ibu tolong putuskan segera ya, anak anda butuh pertolongan dengan cepat. Kantong darah yang kami berikan untuknya itu kantong darah terakhir yang kami punya di rumah sakit ini."Dokter yang tadi bicara dengan Lara undur diri. Menyisakan dirinya yang berhadapan empat mata dengan lelaki yang paling dia benci di dunia ini.Alex menunggu jawaban Lara yang tersembunyi dalam diam, dia tak juga bicara, mereka diselubungi bisu meski kesibukan rumah sakit berlalu-lalang tanpa henti.Lara hengkang meninggalkan Alex, akan dia cari sendiri golongan darah yang sama dengan Shenina. Dia tidak membutuhkan bantuan lelaki arogan itu.Namun, langkah gelisahnya terhenti saat dia mendengar Alex yang berujar, "Putuskan Lara, kamu yang memegang hidup dan mati Shenina sekarang."Lara pelahan memutar tubuhnya pada Alex. Mata mereka kembali bertemu dengan keadaan yang berbanding terbalik. Alex yang berbicara dengan penuh kemenangan, sedangkan Lara yang berselimut gelisah."Aku tidak memberimu syarat yang sulit kok. Aku hanya minta kamu kembali padaku daripada hidup di luar dan—"PLAK!Tangan Lara melayang menampar pipi sebelah kiri Alex hingga lelaki itu berpaling dengan cepat.Suara pertemuan tangan dan pipi itu menggema mengambil alih perhatian semua orang yang ada di sana selama sepersekian detik.Lara tidak peduli, dia abai pada seluruh pandangan miring yang dialamatkan padanya dan mengatakan, "Tutup mulutmu!" Alex tak menjawabnya."Pergilah, Alex! Jangan ganggu kami!"Alex menghela napasnya, mengunci manik mata Lara saat bertanya, "Kamu akan egois dengan menolak bantuanku?""Kamu tidak menawarkan bantuan, Alex. Kamu mencari kesempatan di atas penderitaan orang lain. Di atas penderitaanku.""Ini kesepakatan, Lara. Kalau kamu mau kembali ke rumahku, aku akan serahkan berapapun banyak darah yang dibutuhkan oleh Shenina.""Kenapa?" tanya Lara dengan tawa lirih yang mengandung jelaga hati."Kenapa?" tanya Alex balik dengan kedua alis yang nyaris bertemu. "Kenapa kamu peduli denganku dan Shenina? Kamu cukup tidak perlu bersikap baik karena kamu tidak pernah melakukan itu sejak awal, Alex!"Alex tampak menggertakkan rahangnya. Menatap pipi Lara yang basah membuatnya sedikit banyak tahu jika penderitaan yang dia pikul di kedua bahu kecilnya ini tidak main-main."Aku tidak membutuhkan bantuanmu, Alex. Pergi kamu dari sini! PERGI!"Jeritannya menyiratkan kebencian yang bergejolak. Lara mendorong dada Alex menggunakan kedua tangannya dengan keras. Membuat tubuh kekar lelaki itu satu langkah terhuyung ke belakang."Aku tidak sudi menerima darahmu! Aku tidak butuh bantuanmu, jadi sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi, sampai kapanpun!"Alex masih bergeming. Kedua netranya menerpa sayu pada Lara yang kedua pipinya masih dipenuhi oleh cairan bening, air matanya.Lara memalingkan wajahnya, dia tidak mau melihat Alex barang hanya sekejap.Tidak ingin menimbulkam kegaduhan yang lebih besar, Alex perlahan pergi dari hadapan Lara. Dia pergi dengan langkah yang terasa gamang.Sedangkan Lara dipenuhi kebencian yang besar saat dia memandang punggung bidangnya yang menghilang di tikungan.Lara menyeka air matanya, dia mengambil ponsel dari dalam tasnya sebelum sebuah panggilan tiba di telinganya"Lara."Lara mengangkat wajahnya, pada seorang lelaki yang masih mengenakan jas dokternya. Dia sedang menggulung stetoskop saat berjalan mendekat pada Lara."Dokter Karel?" sapa Lara dengan tersenyum pahit "Maaf aku masih di ruang operasi pas kamu telepon tadi. Bagaimana Shenina? Apa dia baik-baik saja?"Lara lebih dulu menggeleng, baru saja air matanya dia seka, tapi sekarang kembali terjatuh."Tidak, dia butuh donor darah golongan O rhesus negatif. Apa Dokter Karel golongan darahnya sama dengan Shen?"Karel dengan kecewa menjawab Lara, "Maaf. Bukan, Lara. Tapi coba aku tanyakan ke teman-temanku ya?""Baik, terima kasih."Karel berjalan dengan gegas menjauhi Lara. Hanya lelaki itu harapan Lara satu-satunya untuk mendapatkan donor darah yang sama dengan Shenina.Entah sudah berapa banyak kebaikan yang dilakukan olehnya, rasanya Lara tidak bisa menguraikannya satu demi satu.Lelaki itulah yang menolong Lara saat dia diusir dari rumah Alex. Lelaki itu yang menemukan Lara jatuh pingsan di atas jalur pedestrian dengan keadaan memucat diguyur air hujan.Selepas Lara meninggalkannya di halte sore hari itu, Karel yang khawatir diam-diam mengikuti Lara. Kekhawatirannya terbukti benar tatkala dia melihat Lara keluar dari rumah Alex dan pingsan di pinggir jalan.Dari Karel, Lara menata ulang hidupnya. Dia bekerja di apotek milik Karel, berjuang mengumpulkan tabungan untuk kelahiran anak-anaknya.Lara melalui waktu yang sulit dengan membesarkan anak kembarnya, Shenina dan Neo. Dia bekerja, menitipkan anak-anaknya di tempat penitipan hingga dia pulang. Semua dia lakukan untuk memberi mereka hidup yang baik.Saat kebahagiaan mulai tertata, tak dia sangka hari seperti ini akan datang. Pertemuannya dengan Alex adalah hal yang tidak pernah dia harapkan.Lara tak akan kembali padanya apalagi membiarkan darah lelaki angkuh itu mengalir untuk Shenina.Kedatangannya tidak akan membawa perubahan hidup bagi Lara, atau pun memperbaiki hati yang telah dia patahkan tak hanya sekali.Lara duduk dengan habis tenaga di kursi tunggu IGD, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dia harap Karel berhasil. Tidak ada harapan lain selain Karel.Dari sudut lain tempat, Alex menyaksikan Lara yang kembali terisak. Kedua bahunya berguncang, hal yang dulu berulang kali dilihat oleh Alex dan dia tak peduli. Kenyataan yang tak sama seperti yang dia rasakan sekarang ini. Rasa bersalah yang dia pikul kembali mengambil alih. Alex berpikir, memang ini sedikit terlambat. Tapi, apa tidak bisa dia memperbaikinya?Meski Lara mengelak jujur siapa ayah anak gadis mungil itu, Alex yakin itu adalah anaknya. Alex yakin itu adalah benih yang dia tanamkan untuk Lara, kehamilan yang tidak dia akui dan Alex malah menuduhnya berbohong.Alex menunduk, memandang telapak tangannya. Tangan itulah yang dulu mengusir Lara pergi tanpa peri kemanusiaan. "Kenapa aku dulu bisa seperti itu?" sesalnya penuh sesak, hatinya kini dipenuhi oleh retakan.Dia tercenung selama beberapa saat. Kepalanya pening menyadari dia ditolak oleh Lara. Namun, dia tidak menyerah, dia tidak akan melakukan kesalahan lagi kali ini.Alex beranjak, kakinya dia bawa menyusuri sepanjang koridor yang mengantarnya pada dokter yang tadi menangani Shenina. "Dokter?" sapanya ragu-ragu.Dokter lelaki tersebut memutar kepalanya pada kedatangan Alex."Bapak yang tadi dengan ibunya Shenina?""Iya.""Ada perlu apa?"Alex memiringkan kepalanya sekilas ke kiri sebelum menjawab, "Saya mau mendonorkan darah untuk pasien bernama Shenina tadi. Tapi, tolong jangan bilang pada ibunya kalau saya yang jadi pendonor. Rahasiakan ini darinya!"Lara tidak bisa menahan haru melihat api yang meliuk di atas lilin kecil pada kue black forest yang dibawa oleh Neo. “Selamat ulang tahun, Mama,” kata Shenina pertama-tama. “Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya.” Lara dengan segera melakukan itu. Ia merapatkan tangannya dan berdoa agar kebahagiaan ini tidak pernah putus. Untuknya, untuk keluarganya. Agar mereka diberkati dalam kebahagiaan yang sempurna. Barulah setelah itu Lara menunduk, merendahkan tinggi tubuhnya untuk meniup lilinnya. Lara menerima kue dari Neo yang mengatakan, “Selamat ulang tahun untuk Mama,” katanya manis. “Tidak banyak yang Neo minta selain Mama menjadi Mama yang bahagia.” “Selamat ulang tahun, Mama,” kali ini Shenina yang berujar. “Shen juga memiliki harapan yang sama, semoga Mama tetap bahagia. Dan tetap menjadi Mama cantiknya Shen.” Lara lebih dulu meletakkan kue ulang tahun dari para kesayangannya ke atas meja makan kemudian ia memeluk si kembar yang dengan senang hati membalasnya. “Terima kasih unt
*** Merasakan dingin yang memeluknya, Lara membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal bahkan setelah ia membuka matanya. Ia baru saja berpikir dirinya sedang tidur di lantai seperti lima tahun silam agar anak-anaknya bisa tidur dengan nyaman di atas ranjang. Ia menggigil, kenangan akan sulitnya masa lalu sekali lagi membuatnya terjaga dengan keadaan yang berbeda. Dulu, Lara terbangun karena dingin dan tidak nyaman, tidak ada selimut untuknya selain ia menggunakan apapun untuk menutupi tubuhnya. Tetapi sekarang ia terbangun di tempat yang nyaman dan bahkan tidak sendirian. Tangisan Sky itulah yang pasti membuat intuisi seorang ibu dalam dirinya membuka mata. Dan saat hal itu ia lakukan, Lara telah menjumpai Alex yang berdiri dan menggendong Sky. Ia tampak memandang Lara dengan hanya bibirnya saja yang bergerak seolah bertanya, ‘Kenapa kamu bangun?’ “Sky baik-baik saja?” tanya Lara lirih. Alex mengangguk, menunjukkan Sky yang kembali terlelap saat Alex menepuk lem
.... Dari tempat bulan madu Karel dan Sunny. Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Lara bahwa ada kemungkinan mereka memang sedang berbulan madu ... hal itu memang benar! Mereka pergi berbulan madu setelah penantian yang cukup panjang dan lama mengurus izin cuti Karel yang notabene adalah seorang dokter yang bisa dikatakan ... hm ... masih baru di tempat ia bekerja. Udara sejuk Edinburgh membelai wajah Sunny begitu ia membuka pintu geser di sebuah hotel tempat mereka menghabiskan waktu selama mereka di sini. Ia memandang ke luar dan berdiri di balkon. Pandangannya ia jatuhkan paada jalan yang tampak lengang pada hari MInggu pagi ini yang sebagian besarnya basah oleh sisa hujan. Semalam memang Edinburgh diguyur hujan. Bukan hujan deras tetapi itu cukup untuk membuat bunga kecil dan dahan pepohonan kedinginan pagi ini. “Cantik sekali pemandangan setelah hujan,” gumamnya. Meski ia sebenarnya juga suka pemandangan sebelum hujan, tetapi setelah curahan air turun dari langit ... ia
.... “Apakah Neo dan Shenina suka dengan sekolah baru mereka, Lara?” tanya Alex pada Lara yang saat ini tengah menatapnya setelah mengalihkan wajahnya dari layar ponsel yang ada di tangannya. “Aku rasa mereka senang,” jawab Lara. Memandang sekilas pada jam digital yang ada di atas meja kemudian pada Sky yang terlelap di dalam box bayi miliknya. “Karena mereka bisa bertemu dengan si kembar Zio dan Asha juga, ‘kan? Kamu ‘kan tahu kalau mereka itu bestie.” Alex tak bisa menahan senyumnya. Ia menutup laptop yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas yang tak jauh dari ranjang sebelum meraih ponsel Lara. “Jangan main ponsel terus! Peluk aku sekarang, hm?” Alex merengkuh pinggang Lara, membuatnya berbaring dengan nyaman saat mereka merasakan hangat di bawah satu selimut yang sama. Mereka saling memagut untuk beberapa lama sebelum Alex mengecup pipinya. “Cantik sekali ....” “Bukankah aku memang selalu cantik?” tanya Lara, menyentuh garis dagu Alex, tersenyum saat merasaka
*** . . Berhasilkah? Tidak! Tapi mungkin saja, 'kan? Pertentangan batin sedang bergejolak di dalam benak Kalisha. Ia berdiri bersandar di pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Menggenggam sebuah test pack yang ada di tangannya. Yang baru saja ia gunakan untuk mengetes, apakah ia benar hamil ataukah tidak. Ia memang sering terlambat datang bulan. Tapi tak seperti kali ini. Ini sangat jauh dari hari biasanya. Jadi ia ingin melakukan tes. Sejak pernikahannya dengan Ibra, lebih dari satu tahun lamanya, lebih dari berbulan-bulan pula ia selalu terlambat datang bulan dan hasilnya selalu satu garis setiap ia ingin melihatnya. Dan ia tak pernah mengharap lebih soal itu. Tapi sekarang, dadanya berdebar lebih dari biasanya. Sebagai seorang perawat yang tahu betul seperti apa detak jantung normal dan detak jantung yang tidak normal, maka Kalisha akan menggolongkan ini sebagai detak jantung yang tidak normal. Berisik sekali. Berdentum. Seolah tak mau diam setiap kali tanya muncul m
Yang dilihat oleh Lara itu adalah Roy, ayahnya. Ia tak berdiri di sana sendirian melainkan bersama dengan ibunya Lara, Laras. Tak ia ketahuai berapa lama waku berjalan hingga membawa Roy ke hadapannya. Sudah tahun demi tahun berlalu, bukan? Lara memang mendengar jika hukuman untuk ayahnya itu mendapatkan keringanan karena ia berperilaku baik selama menjadi tahanan. Dan ternyata, kepulangannya itu adalah hari ini. Atau mungkin beberapa saat lebih awal dari hari ini karena setidaknya ia membutuhkan waktu untuk bersiap ke sini. Barangkali dengan meneguhkan hatinya untuk bisa menghadapi Lara. Sebab beberapa kali Lara mengunjunginya di tahanan, Roy selalu mengatakan hal yang sama. ‘Mungkin nanti Papa tidak bisa langsung menemuimu karena merasa sangat bersalah, Lara.’ Tapi sekarang dia di sini. Di hadapan Lara. Berdiri dengan tampak canggung dan air matanya mengembun membasahi pipi saat ia tersenyum dan membiarkan Lara datang guna memeluknya. “Papa ....” Lara mengulanginya sekali