Setengah jam berlalu, seorang perempuan berambut panjang berlari memasuki teras instalasi gawat darurat, itu adalah Lara.
Dia mendekat pada guru playground yang baru saja dia sapa sebagai Lily, yang memberi tahunya bahwa anaknya yang bernama Shenina sedang ditangani oleh tenaga medis."Maaf kami lalai, Bu Lara," ucap Lily seraya menunduk di depan Lara yang kedua bahunya jatuh.Lara tidak serta-merta memberinya jawaban karena kedua matanya mengarah lurus pada pintu ruang IGD yang tertutup. Di dalam sana, Lara yakin Shenina kecil sedang kesakitan."Apa yang terjadi, Miss Lily?" tanya Lara pada Lily dengan suara yang gemetar."Shenina tadi bertengkar dengan teman-temannya.""Shen bertengkar?" ulangi Lara, dia tidak percaya karena baginya Shenina adalah anak yang cenderung pendiam."Iya. Dia bertengkar dengan teman-temannya karena mereka bilang kalau ...." Ada jeda yang menjadi pertimbangan Lily, mimik wajahnya seperti bicara, 'Haruskah aku katakan ini?'Namun, akhirnya Lily mengaku, "Mereka bilang kalau Shenina anak haram yang tidak punya ayah sejak lahir."Gemuruh petir yang ada di luar terasa sampai di puncak kepalanya, air mata Lara seketika luruh. Dia hampir jatuh ke lantai jika Lily tidak menahan kedua bahunya dengan gegas.Dia meremas dadanya yang dipenuhi sesak. Menyadari Shenina mengalami perundungan verbal membuat setiap inci tubuhnya terasa nyeri. Lara merutuki dirinya sendiri, marah karena dia tidak tahu jika anak gadisnya menanggung luka seperti ini.Tapi apa yang bisa dia lakukan? Lara memang tidak bisa mengatakan kepada gadis kecil itu siapa ayahnya karena pernikahannya dengan Alex tidak pernah diakui.Dari kursi tunggu IGD, Alex mendengar percakapan Lara dan Lily. Alex menyaksikan kedua bahu Lara yang merosot dan tangisnya yang penuh isak.Saat itu, Lara melihat keberadaannya di sini. Seolah keberadaannya semula tidak tampak, sekarang Lara memutar kepalanya menghadap Alex. Perlahan, jarum jam seperti melambat menunggu saat-saat manik mata mereka bersambut pandang.Setelah belakangan ini menghantui angan dan pikirannya, tak bisa ditemukan, menghilang tanpa kabar dan menyiksa Alex dalam rasa bersalah, sekarang mereka dipertemukan.Kedua kaki Lara rasanya kebas saat dia mengambil satu langkah mundur mengetahui siapa lelaki yang dia temukan ada di sana, duduk dan mengawasinya."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lara dengan air mata yang masih bermuara di pipinya.Riak kebencian menyeruak menyerang Alex yang perlahan bangun dari duduk dan mengayunkan langkah kakinya mendekat pada Lara."Pergi kamu dari sini!" usirnya dengan kebencian yang hebat saat Alex hanya bergeming."Pergi kamu dari sini, Alex!" jeritnya tersirat putus asa.Lara hampir mendorong Alex enyah dari depan pucuk hidungnya sebelum Lily mengatakan, "Tapi Tuan ini yang membawa Shenina ke sini, Bu Lara."Lara tidak menduga akan hal itu. Ucapan Lily sejenak membuatnya tercenung di tempatnya berdiri, dia menelan salivanya dengan pelan, tidak suka dengan kebetulan yang datang menghampirinya.Lara yang tadinya tak sudi memandang Alex kini terpaksa melakukannya."Kamu yang membawanya ke sini?" tanya Lara lirih."Iya, Lara. Aku tadi melihatnya jadi korban—""Dia sudah dapat perawatan dari dokter. Kamu bisa pergi dari sini sekarang!"Lara enggan mengatakan terima kasih. Dia tidak ingin berlama-lama berbincang dengan Alex dan ingin lelaki itu sebaiknya pergi saja dari sini."Aku tidak akan pergi, Lara. Aku akan di sini sampai mendengar kabar dari dokter.""Kenapa kamu tidak ingin pergi? Aku tidak butuh kamu, Alex! Kamu bisa tinggalkan kami. Tidak perlu—""Apa dia anakku?"Tanya dari Alex membuat Lara sirap hati."Itu bukan urusanmu, Alex!""Tentu itu ada hubungannya, Lara. Kita menikah dan saat itu kamu bilang padaku kalau kamu hamil. Kalau hari itu kamu mengatakan kebenaran, dan dilihat dari umurnya, aku bisa pastikan dia benar anakku.""Jangan mengatakan omong kosong! Shenina bukan anakmu, dan tidak akan menjadi anakmu.""Lalu anak siapa?" desak Alex masih tak ingin menyerah."Bukannya aku bilang itu bukan urusanmu?""Kalau bukan anakku, lalu di mana ayahnya, Lara?""Kamu tidak perlu tahu hidup kami, Alex!""Aku dengar dia diejek sebagai anak haram karena tidak memiliki ayah sejak lahir. Artinya benar kalau dia anak yang kamu katakan padaku hari itu, 'kan?"Kedua bibir Lara terpasung saat Alex menunggu jawabannya. Rahang kecilnya terasa sakit saat dia terjebak di dalam situasi yang mempertemukannya sekali lagi dengan masa lalu.Sesak, kenapa saat Lara mulai menata hidupnya Alex tiba-tiba kembali? Padahal ini telah lebih dari setengah dekade berlalu."Keluarganya anak Shenina?"Seorang dokter keluar dari ruang IGD dan menyapa Lara dengan wajah yang sedikit tidak tenang."Saya ibunya Shenina, Dokter. Bagaimana keadaannya?""Dia mengalami retak tulang kaki, pendarahannya sedikit parah dan sekarang kami butuh donor darah seperti golongan darah Shenina. O rhesus negatif. Kami harap, Ibu memiliki golongan darah yang sama dengannya karena golongan darah itu langka dan tidak ada stok di rumah sakit ini."Lara menutup bibir dengan menggunakan sebelah tangannya saat menjawab dokter yang bertugas dengan sebuah gelengan penuh kekecewaan."Golongan darah saya tidak sama dengannya, Dokter."Lara tidak tahu harus melakukan apa karena rasanya kepalanya berhenti bekerja. Kepanikan melandanya karena dia takut ... dia takut akan kehilangan Shenina.Sebagai seorang ibu, siapa yang tidak ikut merasa sakit jika dihadapkan di keadaan seperti ini?Lara dengan putus asa satu langkah mendekat pada dokter dan merapatkan kedua tangannya memohon, "Tolong lakukan apapun untuk menyelamatkan Shenina, Dokter. Apa darah saya ini tidak bisa menggantikan yang Dokter perlukan? Dokter bisa ambil darah saya, Dokter boleh ambil semau Dokter, saya akan lakukan apapun tapi tolong—""Bu Lara, tolong tenang dan jangan panik!"Dokter di hadapannya itu meraih kedua bahu Lara, mencoba menenangkannya. Karena siapapun bisa melihat jika Lara sedang kehilangan kontrol diri. "Kalau bukan Ibu, apa ada anggota keluarga yang punya golongan darah yang sama dengan Shenina?"Dengan hati yang retak, Lara menunduk, "Saya tidak punya keluarga, Dokter. Hanya ada saya dan anak-anak saya saja."Lara berpikir dirinya tidak berguna karena tidak bisa menyelamatkan nyawa Shenina, darah dagingnya sendiri.Saat keputusasaan menyelimuti Lara dari segala sisi, suara dalam milik Alex membuatnya membuka mata."Aku O rhesus negatif. Aku bisa jadi pendonor untuk Shenina."Tidak ada beban saat dia mengatakan demikian. Matanya menatap lurus pada Lara alih-alih menghadap pada dokter yang sedang menunggu mereka."Kalau begitu mari, Bapak tolong ikut kami!"Namun, Alex tidak melakukannya, dia tidak ikut dengan dokter itu tetapi satu langkah mendekat pada Lara dengan senyum yang terkembang."Aku bisa menjadi pendonor untuk Shenina tapi ada syaratnya.""Syarat?" ulangi Lara seraya meremas jari-jari tangannya yang jatuh di atas lutut."Iya, aku akan jadi pendonor untuk Shenina tapi dengan syarat kamu harus kembali ke rumahku. Kembalilah padaku, Lara!"Lara tidak bisa menahan haru melihat api yang meliuk di atas lilin kecil pada kue black forest yang dibawa oleh Neo. “Selamat ulang tahun, Mama,” kata Shenina pertama-tama. “Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya.” Lara dengan segera melakukan itu. Ia merapatkan tangannya dan berdoa agar kebahagiaan ini tidak pernah putus. Untuknya, untuk keluarganya. Agar mereka diberkati dalam kebahagiaan yang sempurna. Barulah setelah itu Lara menunduk, merendahkan tinggi tubuhnya untuk meniup lilinnya. Lara menerima kue dari Neo yang mengatakan, “Selamat ulang tahun untuk Mama,” katanya manis. “Tidak banyak yang Neo minta selain Mama menjadi Mama yang bahagia.” “Selamat ulang tahun, Mama,” kali ini Shenina yang berujar. “Shen juga memiliki harapan yang sama, semoga Mama tetap bahagia. Dan tetap menjadi Mama cantiknya Shen.” Lara lebih dulu meletakkan kue ulang tahun dari para kesayangannya ke atas meja makan kemudian ia memeluk si kembar yang dengan senang hati membalasnya. “Terima kasih unt
*** Merasakan dingin yang memeluknya, Lara membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal bahkan setelah ia membuka matanya. Ia baru saja berpikir dirinya sedang tidur di lantai seperti lima tahun silam agar anak-anaknya bisa tidur dengan nyaman di atas ranjang. Ia menggigil, kenangan akan sulitnya masa lalu sekali lagi membuatnya terjaga dengan keadaan yang berbeda. Dulu, Lara terbangun karena dingin dan tidak nyaman, tidak ada selimut untuknya selain ia menggunakan apapun untuk menutupi tubuhnya. Tetapi sekarang ia terbangun di tempat yang nyaman dan bahkan tidak sendirian. Tangisan Sky itulah yang pasti membuat intuisi seorang ibu dalam dirinya membuka mata. Dan saat hal itu ia lakukan, Lara telah menjumpai Alex yang berdiri dan menggendong Sky. Ia tampak memandang Lara dengan hanya bibirnya saja yang bergerak seolah bertanya, ‘Kenapa kamu bangun?’ “Sky baik-baik saja?” tanya Lara lirih. Alex mengangguk, menunjukkan Sky yang kembali terlelap saat Alex menepuk lem
.... Dari tempat bulan madu Karel dan Sunny. Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Lara bahwa ada kemungkinan mereka memang sedang berbulan madu ... hal itu memang benar! Mereka pergi berbulan madu setelah penantian yang cukup panjang dan lama mengurus izin cuti Karel yang notabene adalah seorang dokter yang bisa dikatakan ... hm ... masih baru di tempat ia bekerja. Udara sejuk Edinburgh membelai wajah Sunny begitu ia membuka pintu geser di sebuah hotel tempat mereka menghabiskan waktu selama mereka di sini. Ia memandang ke luar dan berdiri di balkon. Pandangannya ia jatuhkan paada jalan yang tampak lengang pada hari MInggu pagi ini yang sebagian besarnya basah oleh sisa hujan. Semalam memang Edinburgh diguyur hujan. Bukan hujan deras tetapi itu cukup untuk membuat bunga kecil dan dahan pepohonan kedinginan pagi ini. “Cantik sekali pemandangan setelah hujan,” gumamnya. Meski ia sebenarnya juga suka pemandangan sebelum hujan, tetapi setelah curahan air turun dari langit ... ia
.... “Apakah Neo dan Shenina suka dengan sekolah baru mereka, Lara?” tanya Alex pada Lara yang saat ini tengah menatapnya setelah mengalihkan wajahnya dari layar ponsel yang ada di tangannya. “Aku rasa mereka senang,” jawab Lara. Memandang sekilas pada jam digital yang ada di atas meja kemudian pada Sky yang terlelap di dalam box bayi miliknya. “Karena mereka bisa bertemu dengan si kembar Zio dan Asha juga, ‘kan? Kamu ‘kan tahu kalau mereka itu bestie.” Alex tak bisa menahan senyumnya. Ia menutup laptop yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas yang tak jauh dari ranjang sebelum meraih ponsel Lara. “Jangan main ponsel terus! Peluk aku sekarang, hm?” Alex merengkuh pinggang Lara, membuatnya berbaring dengan nyaman saat mereka merasakan hangat di bawah satu selimut yang sama. Mereka saling memagut untuk beberapa lama sebelum Alex mengecup pipinya. “Cantik sekali ....” “Bukankah aku memang selalu cantik?” tanya Lara, menyentuh garis dagu Alex, tersenyum saat merasaka
*** . . Berhasilkah? Tidak! Tapi mungkin saja, 'kan? Pertentangan batin sedang bergejolak di dalam benak Kalisha. Ia berdiri bersandar di pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Menggenggam sebuah test pack yang ada di tangannya. Yang baru saja ia gunakan untuk mengetes, apakah ia benar hamil ataukah tidak. Ia memang sering terlambat datang bulan. Tapi tak seperti kali ini. Ini sangat jauh dari hari biasanya. Jadi ia ingin melakukan tes. Sejak pernikahannya dengan Ibra, lebih dari satu tahun lamanya, lebih dari berbulan-bulan pula ia selalu terlambat datang bulan dan hasilnya selalu satu garis setiap ia ingin melihatnya. Dan ia tak pernah mengharap lebih soal itu. Tapi sekarang, dadanya berdebar lebih dari biasanya. Sebagai seorang perawat yang tahu betul seperti apa detak jantung normal dan detak jantung yang tidak normal, maka Kalisha akan menggolongkan ini sebagai detak jantung yang tidak normal. Berisik sekali. Berdentum. Seolah tak mau diam setiap kali tanya muncul m
Yang dilihat oleh Lara itu adalah Roy, ayahnya. Ia tak berdiri di sana sendirian melainkan bersama dengan ibunya Lara, Laras. Tak ia ketahuai berapa lama waku berjalan hingga membawa Roy ke hadapannya. Sudah tahun demi tahun berlalu, bukan? Lara memang mendengar jika hukuman untuk ayahnya itu mendapatkan keringanan karena ia berperilaku baik selama menjadi tahanan. Dan ternyata, kepulangannya itu adalah hari ini. Atau mungkin beberapa saat lebih awal dari hari ini karena setidaknya ia membutuhkan waktu untuk bersiap ke sini. Barangkali dengan meneguhkan hatinya untuk bisa menghadapi Lara. Sebab beberapa kali Lara mengunjunginya di tahanan, Roy selalu mengatakan hal yang sama. ‘Mungkin nanti Papa tidak bisa langsung menemuimu karena merasa sangat bersalah, Lara.’ Tapi sekarang dia di sini. Di hadapan Lara. Berdiri dengan tampak canggung dan air matanya mengembun membasahi pipi saat ia tersenyum dan membiarkan Lara datang guna memeluknya. “Papa ....” Lara mengulanginya sekali