"Hai, Uncle siapa ya?"
Angela mencoba bertanya. Karena dia sangat penasaran. Namun, Martin malah memberi kode pada kedua karyawannya untuk pergi sekarang. Mereka mengangguk cepat kemudian berlalu pergi, meninggalkan Martin sedang memicingkan mata, mengamati wajah yang mirip dengannya itu.Martin terlihat enggan menyahut. Namun, entah mengapa kedua bocah itu menarik perhatiannya sekarang.Dengan sabar Angela menanti jawaban dan pada akhirnya baru sadar akan tujuan awalnya datang kemari. "Astaga, wanita penjahat itu belum membayal!" celetuknya tiba-tiba.Secepat kilat Angela memutar kepala ke samping, melihat Angelo masih bergeming dengan kepala mendongak ke atas."Abang, ayo kita minta bantuan olang ini untuk naik ke atas?" kata Angela sambil menepuk kuat pundak Angelo.Angelo tersentak, dengan cepat menoleh ke samping kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Angela. "Kau benar, tapi sebaiknya jangan minta bantuan orang ini, lihatlah dia terlihat menyeramkan," sahutnya sambil melirik-lirik Martin.Angela pun ikut berbisik."Belalti Abang bilang dili sendili kalau Abang menyelamkan, soalnya wajah Uncle ini milip dengan Abang, apa jangan-jangan, plia ini, Daddy ya" Angela membekap mulutnya seketika lalu melirik Martin sekilas. "Tapi tidak mungkin, masa Daddy bangkit dali kubulan."Mendengar penuturan Angela, mata Angelo mendelik tajam sejenak. "Jangan gila, wajah bisa saja mirip."Sementara Martin menghela napas kasar. Meskipun Angelo dan Angela berbisik satu sama lain, dia dapat mendengar dengan jelas celotehan keduanya."Kalian mau ke atas?" Martin angkat bicara ketika melihat Lopez baru saja tiba.Dahi Lopez berkerut kuat, melihat kedua bocah itu. Matanya langsung melirik-lirik Angelo dan Angela yang begitu mirip dengan atasannya. Ingin bertanya pada Martin. Namun, dia urungkan.Angela reflek mengangguk. "Iya, Uncle. Kami mau ke atas."Dengan alis mata sebelah kiri terangkat sedikit, Martin membuka suara lagi. "Hm, tapi di mana orang tua kalian dan ada keperluan apa kalian di sini?"Saat mendapat sebuah pertanyaan Angelo dan Angela melempar pandangan satu sama lain.Angelo hendak menggerakkan bibir. Namun, gerakan bibirnya kalah cepat dari Angela."Sebenalnya, kami mau bertemu wanita yang tidak membayal dagangan kami, Uncle! Jadi bisakah Uncle menekan tombol lima belas, kami mau membuat pelajalan dengannya!" seru Angela menahan kesal kala teringat kejadian tadi.Angelo terperangah karena Angela terlalu jujur."Baiklah, ayo kita ke atas!" Martin maju beberapa langkah kemudian menekan angka lima belas, di mana kantor pribadinya berada.Angela tersenyum sumringah, lantas menarik cepat tangan Angelo untuk masuk ke dalam lift.Sementara Martin tengah memberikan bahasa isyarat kepada Lopez, yang hanya diketahui mereka. Martin memberi perintah pada Lopez untuk membawa Angelo dan Angela ke dalam kantornya sekarang bagaimanapun caranya. Entah mengapa, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ini. Martin hendak memastikan sendiri nanti begitu sampai di dalam kantor.Tak berselang lama, Angelo dan Angela telah sampai di lantai lima belas."Bagaimana ciri-ciri wanita yang kalian cari?" tanya Lopez saat Angelo dan Angela berada di luar lift."Jelek, lambutnya panjang, gaunnya belwalna melah dan sangat kuno!" seru Angela dengan wajah menahan kesal hingga kedua pipinya mengembung.Lopez tersenyum kecut lantas mengangguk pelan."Oh, sepertinya saya tahu siapa wanita jelek itu, Nona kecil," kilah Lopez, padahal dia tidak tahu sama sekali. Tapi, titah Martin harus segera dilaksanakan.Mata bulat Angela langsung berseri-seri. "Benalkah? Oh bagus itu, ayo cepat antal kami ke sana!"Angelo menahan tangan Angela seketika. "Angela, kau jangan percaya, bisa saja mereka berbohong.""Untuk apa anak buahku berbohong, kalian tidak lihat wanita bergaun merah berdiri di depan ruang itu!" Bukan Angela yang menanggapi, melainkan Martin.Martin baru saja melihat pakaian yang dikenakan Cordelia, berwarna merah dan memang terlihat sangat kuno.Saat ini, Cordelia bersama Ursula di depan pintu ruangannya dan tidak menyadari keberadaan mereka.Angelo dan Angela serempak memutar kepala. Keempat pasang mata mungil itu langsung melebar."Wah, tuh kan benal, ayo kita beli pelajalan!" seru Angela, berapi-api.Tanpa meminta persetujuan dari Angelo, Angela berlari kecil ke arah Cordelia. Sedangkan Angelo tampak panik dan mengejar Angela pula. Sementara Martin mengekori mereka dari belakang bersama Lopez."Hei, Aunty, cepat bayal daganganku!" teriak Angela dengan napas terengah-engah.Cordelia dan Ursula terperanjat kaget. Melihat bocah tadi berada di perusahaan Martin. Dengan wajah menahan malu, Cordelia melirik Martin."Cordelia, apa yang kau lakukan tadi sehingga mereka bisa datang ke sini?" tanya Martin seketika dengan raut wajah datar.Cordelia mendekat lalu bergelayut manja di lengan Martin. "Oh Baby, maafkan aku, tadi aku lupa membawa uang."Martin enggan membalas, malah memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu melirik Angelo dan Angela secara bergantian.Dengan muka kesal, Angela menatap tajam Cordelia. "Cih, alasan, cepat bayal sekalang!"Cordelia melototkan mata, sebisa mungkin tidak melontarkan kasar di hadapan Martin."Aku yang akan membayar, akan aku gandakan menjadi dua kali lipat, ayo ikutlah aku ke dalam dulu!" Martin menurunkan cepat tangan Cordelia. Kemudian berjalan, melewati Cordelia.Cordelia menahan kesal. Tanpa banyak kata berlari kecil, menghampiri Martin.Lopez tersenyum penuh kemenangan kala rencananya untuk membawa Angelo dan Angela ke dalam ruangan berjalan mulus.Tanpa menaruh rasa curiga, Angela mengikuti langkah kaki Martin. Sedangkan Angelo mulai resah, entah karena apa, sebab Angela melakukan sesuatu di luar kendalinya. Dia pun terpaksa masuk bersama Angela ke dalam ruangan besar."Keluarlah, Cordelia, aku ada urusan sebentar," kata Martin setelah duduk di atas sofa yang berhadapan dengan Angelo dan Angela.'Sialan, dua bocah ini!' gerutu Cordelia di dalam hati sambil melempar senyum tipis kepada Martin."Oke Baby, kalau begitu aku keluar dulu." Cordelia melirik Ursula yang sejak tadi berada di dekatnya. "Ayo, Ursula kita keluar."Ursula mengangguk patuh.Sebelum keluar, Cordelia menatap dingin Angela. Angela pun membalas balik.Sesampainya di luar, Cordelia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. "Sialan, apa yang mereka bicarakan di dalam sih! Kenapa Martin malah berurusan dengan dua bocah itu!""Hm, Nona, maaf kalau menyela, apa Nona tidak merasa kalau wajah kedua bocah itu sangatlah mirip dengan Mister Martin." Ursula memberikan pendapat seketika."Apa maksudmu?!"Dengan takut-takut, Ursula menyampaikan prasangkanya. "Maksud saya, bisa jadi itu anak Mister Martin.""Apa kau sudah gila! Aku istrinya, tidak mungkin Martin tidur dengan wanita lain!" pekik Cordelia hingga karyawan yang lalu-lalang memusatkan perhatian ke arahnya sekilas.Ursula memilih diam dan menundukkan kepala, tak berani menyanggah lagi, takut bila Cordelia semakin meradang.Cordelia tampak gelisah, baru menyadari wajah kedua anak kecil mirip dengan Martin. Lantas mondar-mandir di depan pintu ruangan."Tidak, tidak mungkin itu anak Diana ...."Sementara itu, di dalam sana, keheningan tercipta di antara Martin, Angelo dan Angela sedari tadi. Mereka saling memandang satu sama lain dengan jarak beberapa meter."Siapa nama Mommy kalian?" tanya Martin kemudian tanpa mengalihkan pandangan dari keduanya sejak tadi."Angelo, aku mencintaimu, kembalilah padaku!" Kalimat yang dikeluarkan Claudia barusan. Membuat rahang Angelo semakin mengetat. Kini wajah wanita itu terlihat kumal dan kusam. Pakaian tahanan melekat dengan sempurna di tubuhnya saat ini. Claudia memandang Angelo dengan tatapan memuja. Angelo menebak bila Claudia melarikan diri dari penjara. Dia menahan kesal mengapa Claudia bisa meloloskan diri. Namun, mengingat ayah Claudia juga memiliki latar belakang di kemiliteran. Hal itu bukanlah hal yang sulit untuk Claudia bisa melarikan diri. Terlebih, saat ini ia dapat melihat sedikit bercak darah di pakaian Claudia. "Apa kau sudah gila! Aku sudah menikah!" seru Angelo dengan mata berkilat. Mendengar hal itu, mata Claudia yang semula berseri-seri langsung menyala bak kobaran api. Dengan napas mulai memburu ia pun berteriak,"Iya aku sudah gila, dan itu semua karena ulahmu! Aku tidak peduli, kau harus menjadi milikku!"Sesudah menanggapi, terdengarlah suara tawa keras di sekitar. Claudia t
Kening Jane lantas mengernyit. "Ada apa?" tanyanya. Amat penasaran ia, mengapa mimik muka Angelo mulai berubah menjadi lebih dingin sekarang, seolah-olah tengah marah pada seseorang. Angelo tak membalas, sejak tadi mendengar dengan seksama penjelasan Eliot. Di mana Adam, papa Claudia merupakan salah satu tersangka yang terlibat di dalam penculikan Jane."Pantas saja kita kesulitan mencari letak lokasi tempat penyekapan Jane, ternyata lelaki bedebah itu yang menutupinya, mama tiri Jane benar-benar gila! Seandainya saja kalau dia masih bernapas aku akan membakarnya hidup-hidup." Di ujung sana Eliot memberi pendapat. Tarikan napas berat pun terdengar bersamaan. Ia begitu kesal karena orang dipercayainya telah berkhianat dan membuat proses penyelamatan sempat terhambat kemarin. Angelo enggan menanggapi, namun dari sorot matanya berkabut kekecewaan mendalam pada Adam.Eliot menarik napas panjang kemudian, memahami Angelo yang masih diam di balik ponsel. "Dan satu lagi, pasti ini akan m
Jane terlonjak kaget kala Claudia berhasil membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir saja terjatuh. Beruntung dirinya dapat menahan diri meski kakinya sekarang terkena pecahan kaca. "Mati kau!" pekik Claudia lagi. "Kau yang mati!" Cukup sudah, Jane habis kesabaran. Dengan sekuat tenaga ia mendorong dada Claudia hingga wanita tersebut terpental jauh, di mana punggung dan kepala bagian belakangnya membentur dinding. Claudia pun langsung pingsan di tempat. "Ck, menyusahkan sekali!" kata Jane sembari menarik napas lega. "Jane!"Perhatian Jane teralihkan kala mendengar suara Angelo di sekitar. Ia alihkan matanya ke arah pintu utama apartment, di mana Angelo berdiri dengan mimik muka terkejut dan panik."Baby!" Dengan hati-hati Angelo mendekat lalu menuntun Jane ke sisi yang aman. Usai itu, tanpa mengucapkan satu patah kata lelaki tersebut memeluk dan mencium kening Jane berkali
Jane mencoba untuk tetap tenang. Sebab sosok di hadapannya auranya tak seperti dahulu. Terakhkir kali bertemu, wajahnya nampak teduh. Namun, sekarang terasa dingin dan hitam pekat. Ada sesuatu yang tidak dapat Jane jelaskan sendiri."Apa maumu, Clau?" tanya Jane sembari memundurkan langkah kaki perlahan-lahan hendak mengambil pisau di dapur. Pasalnya saat ini Claudia tengah memegang pisau. Bukannya menjawab, wanita berambut panjang tersebut malah melangkah maju, sambil melayangkan tatapan mengintimidasi. Namun, Jane sama sekali tidak takut. Mungkin karena latar belakangnya dari keluarga mafia. Menjadikan dia tak gentar sama sekali.Jane tersenyum mengejek setelahnya. "Apa kau belum bisa menerima kalau Angelo memilih aku daripada kau?" ujarnya, sengaja memancing emosi Claudia.Kalimat yang dilontarkan Jane barusan membuat napas Claudia menderu cepat dan matanya pun langsung melotot tajam."Kalau kau sudah tah
"Astaga, kita melupakan Jane, oh ya selamat Jane, semoga kau tahan dengan sikap Angelo. Kami senang ingatanmu sudah pulih sekarang," ucap Eros seketika. Keasikan mengobrol membuat mereka melupakan wanita mungil di samping Angelo. Yang sejak tadi tersenyum kecil, mendengarkan mereka berbincang-bincang. Jane mengulum senyum. "Terima kasih, tenanglah aku sudah terbiasa dengan sikapnya, katanya seraya melirik Angelo sekilas. Angelo balas dengan mengulas senyum kecil."Oh ya, nanti malam jangan terlalu cepat kasihan anak orang," kelakar Ronald membuat semburat merah di kedua pipi Jane langsung muncul. "Ya, pelan-pelan Angelo, aku tahu ini pertama kalinya bagimu," timpal Eros sembari tertawa pelan. Sontak Angelo dan Jane saling lempar pandangan. Seandainya saja teman-temannya tahu bila mereka sudah bercinta kemarin. Maka dapat dipastikan akan dijadikan bahan olok-olokkan oleh ketiga pria jahil di depan."Hei, sepertinya tawa kita membuat orang risih." Eros melirik ke segala arah kala
Martin nampak syok ketika melihat Angelo berdiri dalam keadaan dada terbuka. Dapat dipastikan anak sulungnya tersebut baru saja selesai berhubungan badan. Jane pun berbaring di atas kasur sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Gurat kepanikan tergambar jelas di wajahnya sekarang.Dengan muka tak berdosa, Angelo melirik Jane sekilas, memberinya kode untuk tetap diam di tempat dan jangan bergerak. Jane mengerti, membalas melalui gerakan mata. Mengatakan takut pula pada Angelo. Namun, Angelo memberi bahasa isyarat untuk jangan takut. "Biadap!" murka Georgio, lantas mendekat kemudian melayangkan tamparan kuat pada pipi kanan Angelo. Kepala Angelo bergerak ke kanan seketika. Pipinya pun langsung memerah. Sambil memegang pipi, Angelo menoleh ke depan."Apa kau sudah gila hah?!" jerit Georgio."Maafkan aku Tuan Georgio, aku memang sudah gila. Kalau aku tidak melakukan ini. Kau pasti tidak akan merestui hubungan kami! Jadi, lebih baik aku hamili anakmu dulu!" seru Angelo tegas, hin