Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku

Balas Dendam Istri: Tuan CEO Melindungiku

last updateHuling Na-update : 2025-07-23
By:  MoyayiOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
5Mga Kabanata
13views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Soraya Sasmita masih sah sebagai istri, tapi hatinya sudah ditalak dengan pengkhianatan dari suami dan sahabatnya. Mertuanya adalah yang paling buruk menyakiti hidupnya. Dengan satu koper kecil berwarna kuning, Soraya pergi. Dia tidak hanya membawa lari lukanya, tapi Soraya membawa rahasia besar milik suaminya. Elan Mahendra tidak butuh cinta. Dia hanya butuh kedamaian setelah luka akibat pengkhianatan yang dilakukan calon istri. Dia memutuskan untuk menghancurkan hatinya. Ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama. Ini tentang 2 orang yang bertabrakan dengan emosi lalu saling mengganggu. Sampai kemudian bahaya kejam membayangi masing-masing dari keduanya.

view more

Kabanata 1

1. Kenangan dan Kepergian

“Kamu gila, Raya!” Raka Aditya membentak marah Soraya.

Suami istri itu ribut di ruang santai yang sekaligus ruang makan. Keduanya berdiri saling berhadap-hadapan, tapi tidak berdekatan, membuat masing-masing bicara dengan nada tinggi.

“Kamu benar-benar sudah gila! Cemburumu keterlaluan! Gak ngotak!” lanjut Raka.

Tangan Soraya menggenggam ponsel dengan sangat kuat hingga bergetar. Air mata sudah membayang di pelupuk mata. 

“Kamu berselingkuh, Raka. Kamu ….”

“CUKUP!”

Bentakan dengan suara menggelegar, memutus kalimat Soraya. Itu keluar dari Daksa, ayah mertua Soraya. Pria yang tubuhnya gempal, berdiri dari duduknya dan keluar menatap Soraya dengan marah.

“Hei, Soraya! Kamu gak  liat, aku lagi makan? Sopanlah! Gak tau diri!”

Napas Soraya tergencat di tenggorokan. Bukan dirinya yang membawa keributan keluar dari kamar, suaminyalah yang begitu, dan sekarang dengan tenang Raka duduk di salah satu kursi makan, membiarkan Soraya kena amuk.

“Tiap hari ribut! Kamu pikir di rumah ini, isinya cuma kamu aja? Kalau mau ribut, cari tempat di luar. Di gunung, kek! Di hutan, kek! Bukan di rumah! Bikin orang makan, jadi mau muntah.” Daksa mendengkus dan melangkah meninggalkan ruang makan.

Saat dekat dengan Soraya, Daksa melanjutkan kalimatnya. “Laki-laki…, biasa kalau punya banyak teman wanita. Gak usah hal begituan, direwelin. Stres dibikin sendiri.” Setelahnya, Daksa langsung melengos dan meninggalkan ruang makan.

“Dengerin itu. Makanya bergaul,” cetus Raka. “Tania itu sahabatmu. Aku pergi juga atas sepengetahuanmu. Kalau pun aku ada di rumahnya, apa yang salah? Dia sahabatmu, berarti sahabatku juga. Lagian aku dan dia gak ngapa-ngapain. Dan foto itu gak jelasin apa-apa. Kecuali otak dan hatimu kotor.”

“Soraya.” Kali ini Asri, ibu mertua Soraya yang bicara. “Kamu gak capek, ngajak suamimu ribut terus? Istri macam apa kamu ini? Gak mungkin anakku selingkuh, memang pikiranmu saja yang kotor.”

“Tapi, buktinya ada, Ma,” ucap Soraya putus asa. Suaranya bergetar dan air mata jatuh.

“Bukti apa? Foto? Halah Raya, Raya. Kamu gak denger apa kata papanya? Laki-laki itu sudah biasa punya banyak temen perempuan. Biasa juga foto-foto sana–sini. Kamunya aja yang stres, asal main tuduh. 

Harusnya, jadi istri nurut dan percaya. Kalau Raka bilang gak selingkuh, artinya memang enggak. Kamu ini udah ….”

“Ma.” Raka menegur lirih ibunya dan menepuk-nepuk lembut punggung tangan ibunya.

“Ck! Banyak kurangnya. Udah untung dinikahin,” ucap kesal Asri.

Soraya tidak bodoh. Kalimat yang dihentikan itu, sangat mudah ditebak karena terlalu sering diucapkan. Soraya sudah membuat keputusannya. Dia sudah tidak tahan lagi.

“Aku menuntut perceraian!”

***

Hari ini yang hujan.

Kaca mobil travel, sedikit berembun dan di luar begitu basah. Hujan masih deras, sederas tangisan di dalam hati Soraya Sasmita. Soraya tidak tahu kenapa harus datang ke kota kecil ini. Dia hanya ingin pergi dan konten tentang kota ini muncul. Tanpa banyak pertimbangan, Soraya mengemasi pakaiannya dan keluar dari rumah.

Mobil travel berhenti, si sopir menoleh ke belakang. Dia sebenarnya bingung dengan Soraya. Wanita muda itu tidak memberitahukan tujuannya, dia terus diam di sepanjang jalan. Karena sudah membayar tunai, si sopir tidak mengganggu, kecuali saat ini, Soraya adalah penumpang terakhir yang harus diantarnya.

“Mbak, Mbak Soraya. Mau di antar ke mana?”

Perenungan Soraya tergugah. Dia menegakkan tubuhnya dan tolah-toleh. Tersisa dirinya yang tanpa tujuan.

“Di sini saja,” jawab spontan Soraya yang mulai menyelempangkan tasnya.

“Nggg … yakin, Mbak? Atau mau ….” Kalimat si sopir travel berhenti karena Soraya sudah keluar. Buru-buru si sopir pun keluar dari  mobil, mengabaikan hujan. Soraya tidak peduli air hujan yang mengenai kepalanya. Dia diam meihat sekeliling, tempat yang asing, tempat yang dia tidak tahu akan apa.

“Mbak, ini kopernya.”

Soraya mengangguk dan menarik tuas kopernya.

“Terima kasih,” ucap Soraya setengah berbisik.

“Mbak, sebentar,” cegah si sopir yang usianya awal 50-an. “Mbak Soraya mau ke mana? Biar saya antarkan. Atau mau cari penginapan? Saya tahu tempat terbagus untuk menginap.”

“Nanti biar saya cari sendiri. Terima kasih.” 

Soraya melanjutkan langkahnya dengan koper beroda yang diseret. Si sopir travel hanya bisa menghela napas dan mengangkat bahu, pasrah, yang terpenting dia sudah menjalankan kewajibannya. 

Soraya melangkah kecil dengan membawa kenangan buruk yang  masih terus melintas.

Sementara di dalam kafe dan restoran Titik Dua.

“Bos!” seru lirih Robi sembari menatap keluar kafe.

Elan yang sedang membersihkan mesin kopi, mendongak, menatap bawahannya dengan kernyitan di kening. Dia pun beranjak mendekati Robi dan ikut menatap keluar melalui jendela kaca yang lebar.

Elan melihat seorang perempuan, yang mengenakan long outer sampai di bawah lutut, yang membuat tubuh mungil dan kecil perempuan itu seperti tenggelam. Perempuan itu membawa koper kecil dan kehujanan–atau sengaja mandi hujan. 

“Hantu atau manusia, Bos?” tanya Robi masih mempertahankan suara lirihnya.

Tiba-tiba perempuan itu menoleh, Elan dan Robi sama-sama terkejut. Elan malu karena ikut kaget, dia mendelik ke Robi.

“Brengsek! Gitu aja kaget. Ke belakang, sana. Siapkan mie kuah istimewa kita dan roti toast,” perintah Elan yang kembali melihat keluar.

“Buat siapa, Bos?” 

“Buat yang akan masuk.”

“Kan belum pesan.”

Elan memberikan tatapan tajam yang membuat Robi segan dan segera berbalik, melangkah menuju dapur.

Begitu Elan kembali menatap keluar, kedua matanya langsung bertemu dengan mata si perempuan yang menatapnya dengan tidak suka. Elan sedikit malu. Posisinya tidak benar, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya hampir menyentuh kaca, sikapnya sangat jelas seperti seorang pengintip. Elan menegakkan tubuhnya, bersiap menerima tamunya yang kebasahan.

’Tring … tring ….’

Soraya masuk kafe dengan penampilannya yang paling berantakan. Basah, lepek, dan pucat. Tapi dia tidak peduli itu. 

“Selamat datang di Kafe Titik Dua.” Elan menyapa seperti biasa dari balik meja bar, tapi untuk kali ini tidak ada keramahan.

“Kafe ini menyediakan makanan, minuman, dan buku-buku. Tidak menyediakan tempat untuk kabur.”

Soraya mendekati meja bar yang sengaja ada di dekat pintu masuk. Ia menaikkan alis, mengernyit keningnya terheran.

Elan memajukan tubuhnya, dengan sengaja menatap ke koper dorong Soraya.

Soraya akhirnya paham alasan Elan bicara begitu.

“Kamu cuma barista. Jangan sok tahu.”

“Barista sekarang, memastikan kafe bosnya tidak dijadikan tempat kabur anak kecil yang baru dimarahi orang tuanya atau baru saja ditinggal selingkuh kekasihnya.”

Soraya yang baru akan bicara, jadi bungkam. Kalimat terakhir, membuatnya pedih. Dirinya memang diselingkuhi.

“Aku kira ini adalah kafe seperti yang tertulis di depan. Taunya attitude baristanya buruk,” ucap  ketus Soraya.

“Pernyataan pertama benar. Ini memang kafe. Untuk pernyataan kedua, saya bukan barista. Nama saya Elan. Panggil aja Om Elan.”

“Om mesum!” bentak Soraya. “Nyesel aku masuk sini. Lebih baik cari kafe lain.”

“Silahkan. Tapi, hujannya deras lagi dan ini mau malam. Semoga kamu selamat di jalan.” Elan tersenyum licik.

Soraya menoleh keluar dan terhenyak saat muncul kilatan petir. Rasa takut menyergap. Tak lama bunyi gemuruh guntur, membuat tubuh mungil Soraya melentik. Dia langsung menunduk, memejamkan mata, berusaha untuk  tegar. Terpaksa, Soraya urung keluar dari kafe.

Elan yang melihat ketakutan dan keresahan Soraya, menjadi tidak tega.

“Tidak apa-apa menelan ludah sendiri. Silahkan cari tempat duduk. Kalau butuh ruang yang kosong, kamu bisa ke lantai dua. Di sana juga ada buku yang bisa dibaca atau dibeli.”

Soraya menelan perasaan dongkolnya. Dia tidak mungkin keluar kafe, karena takut disambar petir, dan perutnya juga semakin perih, belum terisi makanan sejak kemarin. Soraya melengos dan menarik kopernya, masuk lebih dalam ke Kafe Titik Dua.

“Tunggu!”

Soraya menghentikan langkahnya dengan hentakan kaki dan menoleh.

“Apa lagi?” bentak Soraya.

“Kopernya taruh disini. Saya perlu cek apakah isinya barang-barang mencurigakan.” imbuhnya. “Satu lagi, baju kamu basah dan daritadi nerawang.” 

***

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
5 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status