"Agnes! Grace!" seru Angelo dan Angela bersamaan.
Martin mengerutkan dahi sedikit ketika jawaban yang mereka berikan berbeda-beda. "Aku ulangi sekali lagi, siapa nama Mommy kalian?"Menyadari bila nama yang dilontarkan berbeda, Angelo dan Angela melirik satu sama lain. Mereka tengah kebingungan, ingin menyebut nama siapa. Walaupun saat ini berada jauh dari pantauan Diana. Keduanya tak lupa akan ajaran Diana, bila seseorang bertanya siapa nama orang tuanya, jangan pernah berkata jujur. Angelo dan Angela tak banyak bertanya dan mengira ajaran Diana untuk keselamatan mereka."Hm, Agnes Grace nama lengkap Mommy kami, iya kan, Angela?" Angelo menyenggol kuat lengan Angela. Berharap pria asing di hadapannya dapat percaya.Angela langsung mengangguk-anggukkan kepala. "Iya benal, Agnes Grace, itu nama panjangnya, hehe."Martin memicingkan mata, tingkah laku Angelo dan Angela nampak mencurigakan. "Hmm."Tatapan Martin membuat Angela menatap balik. "Memangnya ada apa, Uncle? Mana uangnya, kami halus cepat-cepat pulang, nanti Mommy malah pada kami!" sahutnya sambil melipat tangan di dada.Seringai tajam terlukis di wajah Martin seketika. Sebuah seringai yang membuat Angelo mulai bersikap waspada."Tidak, aku hanya penasaran saja, siapa tahu saja aku mengenali Mommy kalian. Tapi aku rasa kalian telah berbohong padaku dan aku tidak akan membayar kalian, kalau kalian tidak mengatakan sebenarnya, jujurlah padaku siapa nama Mommy kalian?" tanya Martin dengan tatapan intimidasi.Martin sedang berusaha mengingat-ingat siapa saja wanita yang pernah dia sentuh. Bila memang benar Angelo dan Angela adalah anak kandungnya, bukankah itu berita yang sangat bagus. Sehingga dia dapat membuat Pablo senang dan Martin baru saja ingat jika wanita yang terakhir kali disentuh adalah Cordelia dan Diana.Setelah menikah dengan Diana, Martin tak pernah lagi menerima hadiah dari rekan kerja mafianya, yang terkadang menghadiahkannya wanita perkerja malam sebagai bentuk kerjasama. Meskipun begitu dia tidak pernah menyemburkan benih di rahim wanita malam dan hanya menyuruh mereka memuaskan keperkasaannya menggunakan mulut dan tangan."Tidak, kami tidak berbohong, memang benar nama Mommy kami, Agnes Grace." Angelo mulai angkat bicara sambil melipat tangan di dada. Sedari tadi mata mungilnya tak pernah beralih dari di depan.Dengan pipi mengembul sedikit, Angela pun ikut bersedekap di dada. "Iya, benal, kami tidak belbohong, Uncle."Martin membuang napas kasar setelahnya. Ingin membalas namun perhatiannya teralihkan dengan suara dering ponsel di dalam saku. Tanpa banyak kata dia meraih benda pipih tersebut.Sambil menempelkan ponsel ke telinga, Martin menatap Angelo dan Angela tengah grasak-grusuk di atas sofa. "Hallo, ada apa, B?""Mister, bisakah Anda ke ruang bawah tanah sekarang, senjata api yang dibeli jumlahnya tak sesuai." Di seberang sana, anak buah Martin bernama B langsung bersuara."Hm, baiklah, tunggu sebentar."Martin mematikan sambungan seketika lalu menaruh ponsel ke tempat semula dan bangkit berdiri.Melihat pergerakan Martin, Angela membuka suara. "Uncle mau kemana, mana uangnya?"Martin tak menggubris perkataan Angela, malah melangkah perlahan, mendekati Lopez yang sejak tadi berdiri tak jauh darinya.Bibir Angela langsung mencebik. Lalu melirik ke samping. "Bang, bagaimana ini?""Sebaiknya kita keluar saja, Angela, aku merasa ada yang tidak beres." Angelo memberi komentar sambil melirik-lirik Martin tengah berbisik di telinga Lopez.Berjarak beberapa meter, Martin sedang meminta kepada Lopez untuk mengambil rambut Angelo dan Angela sebagai sampel tes DNA. Dia ingin memastikan apakah benar keduanya buah hatinya. Lopez mengangguk paham dan sesekali menengok ke arah mereka. Setelah itu, Martin mengayunkan kaki dengan sangat cepat menuju pintu.Angela tampak keheranan. "Maksudnya, Bang?""Sudahlah, ayo kita pergi." Tanpa mendengarkan tanggapan Angela, Angelo menggandeng tangan adiknya. Lalu berjalan cepat menuju pintu utama. Akan tetapi, Lopez berhasil menghadang mereka.Lopez tersenyum smirk, merasa ada mainan mungil di hadapannya saat ini. "Bah, mau lari kemana kalian?"Angelo dan Angela terperangah, dalam hitungan detik melirik Martin di ujung sana baru saja keluar dari ruangan."Ayo, kemarilah, aku tidak akan mengigit kalian!" Lopez maju beberapa langkah hendak mendekati Angelo dan Angela.Tanpa pikir panjang Angelo dan Angela mengubah haluan langkah kaki ke samping. Namun, gerakan kaki mungil mereka kalah cepat. Lopez telah berhasil mencekal pergelangan tangan mereka di sebelah kanan dan kiri."Haaa, lepasin Angela, Uncle bau tahu!" pekik Angela sambil mengapit hidung.Angelo pun berusaha memberontak. Namun, karena tubuh mereka mungil. Tentu saja tidak bisa. "Lepaskan kami!"Mendengar perkataan Angela, Lopez melebarkan mata lantas mengendus-endus badannya sendiri sejenak dan ternyata memang benar beraroma tak sedap. Bau tersebut berasal dari perkerjaannya semalam saat tengah memindahkan mayat hasil perdagangan organ dalam manusia. Lopez tak sempat mandi hanya menggosok gigi saja dan mencuci muka."Oh ya ampun, ternyata benar aku memang bau, ahh ini pasti gara-gara mayat itu," gumamnya pelan. Tetapi, dapat didengar Angelo dan Angela.Netra cokelat itu langsung terbelalak, nampak takut dan panik. Mereka mengira akan dibunuh."Haaa tolong!" Angelo dan Angela semakin memberontak."Hei, diamlah! Aku mohon jangan bergerak, aku hanya ingin mengambil rambut kalian—""Huaaa, psikopat!" Bukannya diam, Angela semakin panik, berpikir rambutnya akan diambil.Angelo yang mendengar adiknya berteriak, tak tega. Ketika melihat adanya celah, dia mengigit kuat tangan Lopez."Argh!!!" Lopez mengaduh kesakitan tanpa sadar melepaskan tangan Angelo dan Angela.Angelo dan Angela langsung berlari gesit menuju pintu utama, dan berhasil keluar dari ruangan."Ck! Bocah sialan!"Dengan langkah tergesa-gesa, Lopez berlari kencang ke arah pintu lalu keluar melihat Angelo dan Angela tengah berlari bergandengan tangan di depan sana."Lopez, ada apa?" tanya Cordelia heran ketika melihat Angelo dan Angela berlari keluar dari dalam ruangan. Dia melempar pandangan pada Ursula juga sesaat.Lopez enggan menanggapi malah berlari ke arah Angelo dan Angela sambil menekan earpiece di telinganya, memberi perintah pada Satpam untuk menutup pintu lift dan tidak membiarkan sepasang anak kembar untuk keluar dari perusahaan. Tak lupa juga Lopez menyuruh karyawan pria membantunya menangkap Angelo dan Angela.Tak berselang lama, Lopez telah berhasil menghadang Angelo dan Angela di dekat tangga darurat bersama tiga orang pria."Mau lari kemana kalian? Ayolah, berkerjasama denganku, dagangan kalian akan dibayar bosku nanti," ucap Lopez dengan napas terengah-engah."Tidak mau! Uncle penipu, Angela tidak akan teltipu lagi!" Dengan dada naik dan turun Angela berseru. Butiran keringat terlihat sangat jelas di keningnya. Angela tampak kelelahan karena berlari-larian sedari tadi."Iya, kami tidak mau, tak usah dibayar, kami anggap gratis tadi," balas Angelo pula sambil mencari celah untuk kabur lagi.Lopez enggan menanggapi, malah memberi kode pada salah seorang karyawan untuk mengambil Angela.Dalam hitungan karyawan itu berlari ke arah Angela. Namun, Angela tak tinggal diam malah berlari ke tangga. Akan tetapi, kakinya malah tersandung.Mata Angelo langsung melebar. "Angela, awas!""Haa!"Angela reflek menutup mata karena tubuhnya berhasil keluar dari pembatas tangga. Akan tetapi, seseorang berhasil menangkap tubuhnya di bawah sana."Apa Angela sudah belada di sulga?" gumam Angela pelan karena merasa empuk. Tangan mungilnya meraba-raba sesuatu saat ini. Tak mau menerka-nerka dia pun membuka mata, melihat Martin memandang ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikannya sama sekali.Tanpa sadar Angela memegang kedua pipi Martin. "Daddy, apa kita berada di surga sekarang?"Angela mengira sedang berada di surga bersama Daddynya.Deg.Martin terpaku, ada sesuatu yang menjalar di hatinya saat ini, begitu hangat dan menenangkan. "Tidak, kita ada di perusahaanku, mulai saat ini panggil aku Daddy."Angela masih belum sadar. Matanya berkedip-kedip pelan. "Haa?""Angela!" Dari atas sana, Angelo berteriak nyaring. Dia bersyukur Angela dalam keadaan baik-baik saja.Angela mendongak, baru menyadari jika dia masih hidup dan telah berhasil diselamatkan oleh seseorang yang wajahnya mirip dengannya.Angela tersenyum lebar lalu memeluk erat Martin. "Uncle, telima kasih ya, sudah selamatin, Angela."Sekali lagi Martin tertegun, gadis mungil ini membuat perasaannya berbunga-bunga. "Bukankah sudah aku katakan tadi, mulai detik panggil aku Daddy."Dengan raut wajah kebingungan, Angela melonggarkan pelukan. "Memangnya boleh?"Martin tersenyum tipis. "Tentu saja boleh," ucapnya sambil menarik sehelai rambut Angela seketika."Awh, sakit, kenapa Daddy ambil lambut Angela, kalau mau ambil halus bayal tahu!" seru Angela dengan bibir mengerucut tajam."Maafkan Daddy, tenanglah nanti Daddy bayar Angela banyak-banyak."Mendengar kata banyak Angela tersenyum sumringah. Melupakan pertanyaan yang satunya lagi untuk apa diambil. "Benalkah?"Martin mengangguk cepat lalu mengubah posisi gendongan."Mister, maafkan kami." Lopez dan beberapa karyawan baru saja tiba bersama Angelo.Martin enggan menyahut, malah menatap Angelo."Lopez, apa anak yang satu ini sudah diambil rambutnya?" tanya Martin seketika tanpa menatap lawan bicara.Lopez menunduk kepala, tak berani menatap Martin, karena telah gagal menjalankan tugas. "Maaf Mister, belum."Martin menarik napas dalam lalu mendekati Angelo dan langsung mencabut sehelai rambut Angelo. Secara diam-diam ia memberi kode pada Lopez untuk membius Angelo."Hei, apa yang kau lakukan?!" teriak Angelo sambil mengepalkan tangan."Diamlah, Abang, nanti kita dibayal banyak loh," ucap Angela membuat kening Angelo berkerut kuat."Maksudnya?" tanya Angelo."Itu—hmm ...."Angelo tampak terkejut, melihat Angela dibekap mulutnya oleh Martin tiba-tiba sehingga adiknya sekarang pingsan. Dia hendak mendekat namun seseorang dari belakang membekap mulutnya juga.Bruk!Angelo ambruk di tempat."Lopez, angkatlah dia, hari kita pulang ke Caracas, biarkan B yang mengurus sisanya di sini," kata Martin sambil mendekap tubuh mungil Angela, yang sudah tak berdaya akibat ulahnya barusan."Baik, Mister." Setelah itu, Lopez langsung menggendong Angelo.Sementara itu di sisi lain, Diana nampak panik saat tak melihat keberadaan Angelo dan Angela di dalam booth saat ini."Angelo, Angela, di mana kalian, Nak!?" jerit Diana histeris.Jika berkenan berikan author GEM ya, biar author tambah semangat nulisnya ^^ Semoga suka dengan karya baru author. Terima kasih
Dikala Diana dilanda kepanikan dan saat ini mencari kesana kemari buah hatinya bersama Martha dan Pedro. Berbeda dengan Angelo dan Angela yang sedang berada di atas pencakar langit, tepatnya di helikopter, keduanya tengah tertidur dengan sangat pulas dalam pangkuan Martin sekarang. Sedari tadi pria berwajah bengis itu memperhatikan wajah mungil keduanya secara bergantian. Entah apa yang dipikirkan Martin. Namun, mampu membuat Cordelia gundah gulana. Sedari tadi, Cordelia mencoba mengajak Martin berbicara dan bertanya, mengapa membawa kedua anak itu ke Caracas. Akan tetapi, Martin tak menjawab sama sekali. Cordelia hanya dapat menahan kesal.'Tidak mungkin dua bocah ini anak Diana, itu tidak mungkin ....' Duduk di depan Martin, Cordelia mengigit ujung kuku-kukunya sambil menatap dingin Angelo dan Angela secara bergantian.Ursula yang duduk di sampingnya pun memandang Angelo dan Angela dari tadi. "Mister, kita langsung pergi ke mansion Hamilton?" Di kursi paling depan bersama co-pilot
Melihat mimik muka Martin, Diana semakin meradang. Matanya memancarkan kemarahan mendalam. Berarti benar prasangkanya jika Angelo dan Angela berada di sini. Dengan napas memburu Diana mendekat lalu melayangkan tatapan tajam pada Martin."Di mana anakku?!" tanya Diana lagi dengan rahang mengetat kuat. Martin menyungging senyum sinis lalu mengangkat sebelah alis mata kiri sedikit. "Apa aku tidak salah mendengar? Kau mencari anakmu di sini?"Netra Diana semakin melebar. Martin telah menyiram bensin di atas bara api. "Tentu saja, kau menculik mereka kan! Cepat jawab di mana mereka sekarang! Kau apakan mereka hah?!"Tawa keras membahana di ruang tamu itu seketika. Martin tertawa sambil memandang penuh cela. "Apa kau punya bukti kalau aku menculik mereka? Lihatlah tidak ada mereka di sini, 'kan?" Martin mengedarkan pandangan sesaat. Dia tak mau Diana sampai tahu bila si kembar ada di dalam kamarnya sekarang. Walau wajahnya mirip tapi Martin masih harus memeriksa apakah DNAnya cocok dengan
"Jangan pikir aku hanya mengertakmu, Diana!" Tanpa berniat menurunkan senjata api, Martin mencoba menarik pelatuk, yang jika ditarik larasnya tidak akan bersuara. Martin mendekat hingga pada akhirnya ujung pistol menempel di kening Diana sekarang. Pria itu menyungging senyum tipis, sangat tipis, hingga mampu membuat Diana meneguk ludahnya berulang kali saat ini. Aura pekat yang menguar dari tubuh Martin membuat Diana merinding tiba-tiba. Di mata Diana, Martin bak iblis yang siap menjemput ajalnya. Diana mulai ketakutan, keringat dingin pun menjalar dari pori-pori kulitnya sekarang. Angelo dan Angela masih tertidur dengan pulas, Diana dapat mendengar dengkuran halus masih berhembus dari hidung mungilnya. "Bawa kembali mereka ke kamar, Diana. Aku Tuan rumah di sini, kau orang luar yang berusaha masuk ke rumahku," desis Martin, dingin.Demi keselamatan Angelo dan Angela, Diana terpaksa membawa mereka kembali ke kamar Martin.Setelah sampai di atas, secara perlahan-lahan Diana merebah
"Jaga ucapanmu!" pekik Diana saat Cordelia berhasil mendaratkan tamparan di pipi kanannya barusan. Sambil memegangi pipinya yang terasa pedas, ia menatap tajam Cordelia dengan napas memburu."Apa! Memang benar kan, kau wanita murahan!" Cordelia melebarkan mata. Wajahnya terlihat merah padam, amarah terpancar jelas dari bola matanya. Beberapa menit sebelumnya, saat telah selesai menyantap makanan yang disuguhkan oleh Ursula. Cordelia mendengar dari kaki tangannya itu jika ada seorang wanita menerobos masuk ke dalam kamar Martin. Ursula tak mengenali Diana. Namun, mencoba menjelaskan ciri-ciri wanita tersebut. Tanpa pikir panjang Cordelia yakin bila wanita yang dimaksud Ursula adalah Diana. Cordelia pun bergegas turun ke bawah lalu melihat Martin bersama Diana di dalam kamar. Darahnya mendadak mendidih. Kecemburuan melandanya seketika. Sebab selama ini Cordelia dilarang Martin untuk masuk ke kamar tersebut. Dengan angkara murka di dalam dadanya, Cordelia mendekati Diana."Atas dasar ap
"Tidak, jangan kau pikir aku tidak bisa membaca jalan pikiranmu. Kau pasti ingin membawa kabur Angelo dan Angela dariku!"Martin melayangkan tatapan tajam kepada Diana.Netra Diana terbelalak, tuduhan Martin membuatnya semakin serba salah. Padahal sedari tadi dia tengah berperang dengan batinnya. "Aku tidak pernah berpikiran akan membawa mereka kabur," lirih Diana, berusaha membendung air mata agar tak tumpah. Sebelum membuka suara, Martin menyeringai tipis lalu berkata," Lalu mengapa kau mengajukan pertanyaan yang terdengar ambigu di telingaku."Lagi dan lagi, mata Diana membola. Apakah Martin tak paham akan perasaannya saat ini, harus memilih antara anak dan orang yang paling berjasa di dalam hidupnya. "Martin, aku akan berpisah dengan anak-anakku, aku ini ibu mereka, apa kau tak berpikiran sampai ke situ, apa yang akan kau katakan pada mereka nanti, jika mereka bertanya tentangku ...."Diana sudah tak mampu meneruskan kata-katanya lagi kala mendengar sebuah decihan keluar dari bib
Martin tak langsung membalas, keningnya berkerut samar, tengah mencari alasan yang masuk diakal. Bola mata setajam pisau itu memperhatikan Angela tengah memegang kedua pundaknya dan menatap dalam matanya sekarang. Dengan bibir mengerucut ke depan, Angela bersuara kembali. "Daddy, ayo ketemu Mommy, Angela kangen Mommy.""Hoamm ...."Perhatian Martin dan Angela teralihkan seketika kala mendengar Angelo menguap. Kepala mereka berputar ke arah Angelo, yang saat ini membuka mata perlahan-lahan dan menggeliatkan tubuh. "Abang," panggil Angela. "Hmm." Angelo berdeham rendah lalu duduk di atas kasur dan menatap Martin. Tak ada ekspresi sama sekali tergambar di wajahnya bulat itu. Hanya tatapan menghunus sama seperti Martin. Untuk sejenak keduanya saling memandang satu sama lain sampai pada akhirnya Angela membuka suara. Angela mengalihkan pandangan pada Martin. "Daddy, ayo ketemu Mommy."Martin memutus kontak mata lalu melirik Angela. "Mommy sedang sibuk, Angela.""Ya sudah kalau sibuk, k
Kornelius mengangkat kepala."Iya Nona, saya tidak sengaja menyemburkannya di dalam, saya benar-benar minta maaf karena sudah lancang menyentuh Nona Diana," ucapnya lalu menundukkan pandangan lagi.Cordelia berdecak sebal sesaat. "Ck! Aku tidak peduli, kau menyentuh tubuhnya atau tidak, tidak ada urusannya denganku dan berhenti memanggil Diana dengan sebutan Nona! Diana bukan majikan kau lagi!"Kornelius mengangguk pelan.Cordelia mendengus lalu bersuara lagi. "Tapi aneh ya, mengapa wajah mereka mirip sekali dengan Martin?""Kau ini bodoh sekali, Cordelia! Bisa saja terjadi percampuran. Seharusnya Martin periksa dulu, untuk membuktikan apa itu anak-anaknya atau bukan!" sembur Lauren seketika sambil memutar mata malas."Martin sedang menunggu hasil tes DNA keluar kok, dan minggu depan hasilnya akan keluar, Ma." Cordelia baru saja teringat akan perkataan Martin tadi. "Hm, baguslah, semoga saja bukan. Mama yakin seratus persen kalau Angelo dan Angela bukanlah anak Martin." Lauren melirik
Pria itu menghirup lentingan nikotin lagi lalu melirik ke center mirror dan memberi perintah pada sang supir. "Ayo, kita pulang, aku ingin bertemu Mamaku!""Baik Mister." Di kursi depan, sang supir mengangguk lantas melajukan kendaraan pelan-pelan."Ahk!"Tak sampai dua meter, dari arah berlawanan, ban mobil melindas ujung kaki jempol seorang wanita berambut blonde yang sedang berjalan di tepi jalan raya. Sang supir berniat tak berhenti, malah semakin melajukan kendaraan."Shftt .... hei!" Diana meringis sesaat sambil melihat kendaraan berwarna hitam itu melesat kencang, meninggalkan dirinya. Diana mengumpat kesal lalu menoleh ke kap belakang mobil. "Sialan! Semoga mobil kau menabrak pohon!" serunya lalu membungkukkan badan, hendak menajamkan penglihatan, melihat sekilas ujung kuku kakinya ternyata patah dan mengeluarkan darah sedikit. "Astaga, nasibku hari ini sangatlah tak bagus," desisnya pelan sambil menahan perih di bawah sana. Sekarang, Diana tengah jauh dari pusat kota. Se