"Mbak, tau darimana mas Alan selingkuh?" Setelah kami cukup jauh dari ikeluarga mas Aldo. Aku menarik mbak Nur dan bertanya."Emang suami si Asya beneran selingkuh Sar?"Lah, dia malah nanya!"Tadi mbak bilang begitu, tadi?"Mbak Nur malah tertawa. "Woalah, aku cuma ngarang. Wajah suami si Asya saja lupa-lupa ingat." Mbak Nur berucap sambil menahan tawanya. "Tapi semoga deh mantunya bener selungkuh. Biar tau tu bu Ida sakit hatimu." Mbak Nur melipat tangan di dada. "Heran aku, dengan perempuan tua satu itu, kok gak ada simpatinya sama perempuan lain. Cemceman anaknya malah di pelihara. Mau jadi apa itu kompleksku!" mbak Nur menepuk jidatnya sendiri.Aku hanya terdiam. Apa kabar mbak Asya sekarang ya? ***Acara pembukaan tokoku selesai. Aku melihat Siti masih sibuk mencatat barang di lantai atas. Di bantu beberapa kariawan, gadis itu memang lebih cekatan di usianya yang masih muda."Sibuk sekali Sit?" Aku mendekat, duduk di samopingnya.Dia menoleh, tersenyum melihatku. Aisyah kulih
Warga sudah berkumpul didepan rumah Bu Ika. Bau anyir darah sesekali tercium di hidungku. Kami masih menunggu bu Lurah juga."Sehari ini bu lka gak keluar mbak?" Pak Robi tetanggaku bertanya."Tadi pagi datang ke toko ikut syukuran kok pak. Tapi hanya sekilas saya lihatnya." Kania menjawab. Aku malah sama sekali tak melihat bu Ika. Entah karena terlalu sibuk atau kebetulan aku tak melihatnya."Ada yang berangkat dengan bu Ika waktu ke toko mbak Sari?" Warga lain saling bertanya. Siapa yang bersama bu Ika hari ini.Namun semua terdiam, menggelengkan kepala. Sepertinya memang tak ada yang tau atau bersama bu Ika hari ini."Dobrak saja yok!" Seorang pemuda maju dengan beberapa orang."Iya pak, nanti ternyata bu Ika gak dirumah. Atau cuma ketiduran, Kita sudah terlanjur panggil polisi tadi." sambung pemuda lain."Ya sudah ayo coba di buka dulu" pak Rt memberikan perintah.Pintu di dobrak berkali - kali. Tapi membatu bahkan bergerak saja tidak. Hampir setengah jam tak ada yang bisa membuka
Empat puluh menit kami sampai di komplek perumahan Cendana Cluster. Melewati gerbang kami harus menunjukkan kartu pemilik rumah. Untungnya sejak di berikan, kartu ini tak pernah keluar dari dompet.Setelah melewati gerbang utama, mobil kembali berjalan. Melewati jalan panjang dengan pohon cemara dan dinding di kanan dan kiri. Dinding dengan tanaman rambat, menjalar ke atas. Teringat sebuah castil bila melihat ini.Keluar dari jalan utama, kami sedikit menanjak melewati kolam air buatan yang mirip dengan danau mini. Ada banyak bangku ditepiannya dan lampu taman menghiasi tepian danau.Tiba di ujung jalan kami belok kekanan. Disanalah rumah-rumah berada. Jika belok kekiri, kami akan tiba di area olah raga. Lapangan basket,futsal, tenis, badminton, taman khusus untuk berlari dan water boom kecil.Masuk ke kawasan perumahan. Rumah kami di kawasan paling depan. Melewati beberapa rumah dengan bentuk minimalis dan senada, kami berhenti dirumah nomor delapan. Kania turun membuka gerbang kecil
Aku membuka toko setelah mengantar Kania sekolah. Hari ini sebenarnya hanya pengenalan kelas dan guru, memilih ekskul untuk tahun ajaran baru, juga penempatan kelas. Dia harus ikut, karena anak baru.Setelah toko buka Aku duduk diruanganku. Membuka HP yang sejak tadi memang berdering. Aku masih sangat sibuk, sehingga tak sempat membukanya.Dua belas panggilan tak terjawab dari mas Alan. Aku tau, dia akan mencariku. Aku memencet tombol hijau untuk mengabarinya."Halo Sari, Kamu diman?" Belum sempat aku mengucao salam, dia bahkan sudah memberiku pertanyaan."Ditoko mas. Ada apa? Nanti aku kesana. Dompet wanitamu masih terbawa.""Toko? Toko ibu?" Suaranya terdengar panik.Apa maksudnya toko ibu? Apa mas Alan tidak tau aku dan mas Aldo sudah berpisah. Mas Alan memang jarang sekali ikut kerumah ibu. Ia seperti menjaga jarak dengan keluarga mbak Asya.Lain dengan mbak Asya yang begitu humble dengan keluarga mas Alan. Bahakan hampir disemua sosial media, mbak Asya memperlihatkan kebahagiaan
Aku terkejut, mbak Asya sudah di depan pintu. Bahkan dia juga nyalang menatapku."Sabar Asya, ini dirumah sakit. Delima masih belum sadar setelah melahirkan." Mas Alan mencoba memberinya pengertian. Namun mbak Asya sudah terlihat marah."Delima..., Delima..., Delimaaa! Panggil saja namanya terus!" Mbak Asya mengguncang -guncangkan badannya. Almira bahkan menangis karena ketakutan."Mama...mama...,"Gadis dua tahun itu terus memanggil ibunya. Namun mbak Asya tak juga mendengarkan."Mbak, tenanglah mbak. Kasihan Almira" Aku mencoba mengajaknya bicara."Diam kamu Sari. Jahat kamu! Diam-diam kamu juga perduli dengannya. Kamu kan yang membawanya kerumah sakit?"Aku terdiam. Dari mana mbak Asya tau aku yang membawa mbak Delima ke Rumah Sakit."Jangan salah paham mbak, aku tidak tau jika mbak Delima itu istri pertama mas Alan, aku...,""Diam! Aku benci padamu. Dan kamu mas, Jika kamu masih memilihnya, baik. Aku yang akan pergi, bersama Almira. Meninggalkan kamu bahkan dunia ini!" Mbak Asya me
Mbak Asya terdiam di dalam kamar. Di lantai atas rumah sakit tadi, dalam kepanikan, perawat menyuntikkan obat tidur padanya. Aku masih mendekap Almira dalam gendongan. Gadis kecil itu perlahan tertidur.Mbak Nadira yang memanggil bantuan. Dia ke atap gedung dengan beberapa petugas keamanan dan perawat. Mereka semua memegang mbak Asya dengan kuat dan memberikan suntikan padanya."Pulang lah Sari, biar mbak Nadira yang membawa Almira." Kakak mas Alan mendekat. Mengambil gadis kecil itu dari gendonganku."Apa mbak Asya selalu begini mas?" Aku balik bertanya. Tak mengubris permintaannya menyuruhku pulang.Mas Alan dan kakaknya saling pandang. "Ini yang ketiga" mbak Nadira menjawabku datar. Sementara mas Alan masih terdiam.Aku berdiri dari tempatku duduk, menghela nafas berat yang membuat dadaku kian sesak. Ada amarah pada lelaki sepertinya. "Sejujurnya, aku kasihan padamu mas!"Mas Alan melihatku penuh tanya. Lelaki iku berjalan mendekatiku. Dia melipat tanganya di dada. "Katakan, apa y
Siti sudah kami antar ke pesantren. Kania menelphone mengabari jika dia sudah pulang kerumah, dan dia bilang ada tamu untukku." Mas, bisa antar kerumah dulu? Ada tamu kata Kania""Rumah? Kita putar balik?"Aku menepuk jidatku sendiri. Aku lupa jika mas Yuda belum tau aku pindah rumah."Bukan mas, rumahku sekarang di Cendana Cluster. Lebih dekat dengan bhatalionmu kan mas""Kamu sudah pindah rumah?""Sebetulnya belum. Tapi ada kejadian dirumah lamakuJadi kami terpaksa pindah lebih awal. Ingat ibu Ika? ""Iya, yang kamu urus saat dirumah sakit?"Aku menganggukkan kepala. Mas Yuda masih ingat. "Iya mas, dia meninggal. Tergantung dirumah""Astagfirullah! Bunuh diri?"Aku menggelengkan kepala seraya mengangkat bahuku. "Belum tau, tapi ada yang jangal menurutku dalam kematiannya."Mas Yuda masih sibuk mengemudi. Seperti sedang memikirkan sesuatu. " Biar polisi yang mencari tau, jika ada yang janggal, aku yakin akan segera terungkap."Aku mengangguk setuju. Memang bukan urusan kami mencari
Aku dan mas Yuda menuju Toko ibu. Api masih begitu besar, melahap apapun yang ada didepannya. Ibu nampak menangis dalam dekapan mas Aldo.Bisa bayangkan bagaimana tangisnya? Kehilangan seratus ribu saja ibu bisa mengamuk, sekarang melihat sendiri jualannya di lahap si Jago merah tanpa ampun.Beberapa orang juga terlihat sibuk mengambil ember dan gayung. Tapi mau sampau kapan, api sebesar itu disiram dengan ember dan gayung?"Kok belum ada mobil pemadam datang ya mas?" Aku bertanya pada mas Yuda. "Gak tau, coba mas hubungi." Mas Yuda menjauh dari kerumunan dan menghubungi pemadam kebakaran.Aku melihat kearah ibu. Melihatnya terus meronta, aku berlari menenangkannya. "Bu, sabar bu. Jangan begini"Ibu menatapku tak suka. Terlebih mas Aldo dan Rani. " Tu mas, dia pasti mau menertawakan kita!" Rani melihatku dengan sinis dan berbisik pada mas Aldo.Aku menghela nafas. "Heh Rani, hamil saja mulutmu seperti rongsokan, apa lagi gak hamil!" Ucapku sinis."Ngapain juga kamu kesini? Mau terta