Joana memutuskan pulang setelah puas berpetualang, dan dengan sukarela menerima perjodohan yang ditawarkan orang tuanya—sebuah pernikahan demi memperkuat hubungan bisnis keluarga. Meski calon suaminya seorang duda beranak satu, Joana tak mundur. Ia tahu orang tuanya tidak memaksa, namun rasa bakti dan tanggung jawab membuatnya mantap melangkah. Namun, kehidupan pernikahan tidak seindah harapannya. Don, sang suami, bersikap dingin dan tertutup. Bayang-bayang mendiang istri yang meninggal saat melahirkan anak mereka masih kuat membelenggu hatinya. Joana pun terjebak dalam pernikahan yang hampa cinta. Terluka namun tak ingin menyerah, Joana memutuskan untuk berjuang. Dengan sifat ceria, jenaka, dan kadang mesumnya yang menggoda, ia bertekad menaklukkan hati Don. Bukan hanya agar dicintai, tapi agar ia diakui sebagai istri seutuhnya—bukan sekadar pengganti.
View MoreJoana tidak ingat betul sejak kapan ia merasa ingin pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin sejak Sam— kekasihnya malah mengkhianatinya cuma gara-gara ia terlalu lurus.
"Maaf, Jo. Aku nggak bisa nunggu kamu lebih lama. Kamu terlalu polos dan aku laki-laki normal." kata Sam minggu lalu, sesaat setelah ia memergoki laki-laki itu sedang bercumbu dengan wanita lain.
Sakit? Bukan lagi.
Ia akhirnya menyerah untuk menjadi terlalu ‘mandiri’. Menuju ruang tamu rumahnya, Papa dan mamanya sudah menunggu di sana, menatap Joana dengan tatapan gelisah.
"Kenapa Papa sama Mama kelihatan gelisah gitu? Enggak suka aku di rumah? Padahal baru sampai kemarin, loh."
Wicaksana, papa Joana, langsung menggeleng tegas. "Mana mungkin kami nggak suka kamu pulang. Kami seneng banget setelah akhirnya anak semata wayang kami ingat rumah," ujarnya diiringi dengan dengusan kesal. Ia masih sedikit kesal karena Joana baru pulang setelah kurang lebih satu tahun berada di luar negeri untuk bekerja.
Joana meringis malu dan meminta maaf. Tatapannya menatap mata mamanya yang juga menatapnya. "Mama kenapa lihatin aku gitu?" Joana beringsut ke samping mamanya, memeluk mamanya erat. "Kangen banget."
"Mama juga kangen banget. Kamu sih nggak pulang-pulang. Kasian mama punya anak satu malah nggak ingat rumah."
Joana kembali meringis dan meminta maaf. Satu tahun belakangan ia memang sama sekali tidak pulang ke rumah. Alasannya, Joana bekerja dan setiap libur ia pakai untuk jalan-jalan. Ia hanya ingin menikmati waktu tersisanya untuk diri sendiri.
"Em gini, Sayang. Papa mau menawarkan—"
Joana langsung menyerobot ucapan papanya. "Perjodohan?" tebaknya.
Wicaksana dan Raline saling berpandangan. "Kok kamu tau?" tanya Wicaksana.
"Aku mau, Pa. Jodohin aku sama siapa aja. Papa yang pilih calon suami aku." Joana tersenyum tipis, menyembunyikan perasaan sesaknya. Rasa sakit yang diberikan mantan kekasihnya membuatnya malas untuk mencari pasangan. Ia memilih untuk dijodohkan, setidaknya ia tidak perlu bersusah payah mencari sendiri. Dan ia yakin papanya tidak akan menjodohkannya dengan seseorang yang buruk hatinya. Joana harus bahagia, setidaknya itu bentuk balas dendamnya pada mereka yang pernah menyakitinya.
"Tapi, seenggaknya kamu harus lihat dulu calonnya, Sayang. Papa nggak akan maksa kamu kalau kamu nggak suka." Wicaksana sedikit memohon. Ia juga sedikit heran. Biasanya anak-anak temannya malah tidak mau dijodohkan. Tapi kenapa anaknya malah antusias sekali. Bahkan tidak mau tau siapa calonnya.
"Jo percaya sama Papa. Papa ayah terbaik buat Jo. Papa pasti bakal pilihin yang terbaik buat Jo." Joana lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis. Ia tidak punya pilihan lain. Laki-laki yang ia harapkan untuk ia kenalkan pada orang tuanya, malah tega berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Beberapa waktu sebelum Joana memutuskan untuk pulang ke Indonesia, Joana melihat Samuel, mantannya, dan juga Elina, sahabatnya tidur bersama---ini juga alasan Joana memilih untuk pulang ke Indonesia. Dan yang lebih membuat Joana sakit hati, mereka sama sekali tidak merasa bersalah dengan perbuatannya.
Wicaksana terharu dengan penuturan putrinya. Ia bergerak untuk mendekap putrinya dengan erat. "Terima kasih, Sayang. Papa akan hubungi keluarga Wijaya kalau gitu. Papa yakin anaknya Wijaya adalah laki-laki yang tepat buat kamu."
Joana mengerjap. "Siapa namanya, Pa?" tanyanya sedikit penasaran. Setidaknya ia harus tau namanya dulu.
"Don. Namanya Don. Papa sudah pernah bertemu dengannya. Dia ganteng kayak Papa."
Joana langsung tertawa, begitu juga Raline yang ikut tertawa dan mencubit gemas pinggang suaminya.
"Kenapa kamu nggak mau ketemu dia dulu, Sayang?" tanya Raline penasaran.
"Males, ah, Ma. Lagian udah tau juga kalau dia ganteng kayak Papa, kan?" Joana terkikik geli.
"Tapi, kamu siap buat jadi istri? Gimana sama karirmu?"
"Jo mau jadi ibu rumah tangga aja, Ma. Kerja capek. Jo juga udah puas jalan-jalannya."
Raline mengangguk paham. Ia menatap putrinya. Tak perlu DNA lagi, Joana adalah versi dirinya di masa lalu.****
Sore ini, Raline— mama Joana menyuruhnya untuk mampir sebentar ke supermarket, berbekal sendal jepit dan shirt pants pendeknya, juga hoodie berwarna hijau lumut yang bertengger menutup penuh rambutnya.
"Eh aduh," Joanna mengaduh dan terjungkal ke belakang saat ia tak sengaja menabrak seorang laki-laki di depannya. "Maaf, Mas," ujarnya.
Laki-laki di depannya itu menatapnya sebentar. Lalu melengos, kembali fokus mencari snack di rak yang berada di depannya.
"Minimal bantuin kek," gumam Joana sedikit keras. Ia bangkit berdiri, lalu menepuk bokongnya yang baru saja mencium lantai supermarket.
"Kamu yang salah kenapa saya yang harus tanggung jawab?" Laki-laki itu berujar datar. Tanpa menoleh ke arah Joana.
"Kirain bisu," ujar Joana menutup rasa kesalnya.
Tanpa menghiraukan Joana, laki-laki itu malah pergi meninggalkannya yang berkacak pinggang. Joana melongo, ia dikacangin, ia ditinggal begitu saja.
"Ck ... dasar kampret. Awas aja, semoga aku nggak bakal ketemu lagi sama orang kayak dia."
Joana pergi dengan perasaan kesal. Di perjalanannya berkeliling untuk mencari bahan masakan, ia terus ngedumel dalam hati. Hingga akhirnya matanya menatap laki-laki yang ia temui tadi di kasir, terlihat sedang panik.
"Dompet saya beneran ketinggalan. Saya ambil dulu, ya, Mbak. Ada di mobil di basement. Beneran."
"Kenapa, Mas. Nggak punya uang?" Joana tiba-tiba bersuara, menatap dengan tatapan merendahkan pada laki-laki itu.
"Saya bukannya nggak punya uang. Tapi dompet saya emang ketinggalan di basement." Laki-laki itu melengos. Berganti menatap kasir di depannya. "Saya ambil dulu, ya, Mbak."
Joana berdecak setelah menatap laki-laki itu yang berlari keluar. "Biar saya bayar aja, Mbak. Berapa emang mbak?"
“Enam ratus ribu, mbak,”
"Nanti bilangin ke dia, ya, Mbak. Nggak usah dibalikin," kata Joana pelan. Ia lalu meninggalkan supermarket sebelum laki-laki itu kembali datang. “Bilangin aja—,” potong Joana sambil menyunggingkan senyum tipis
“--semoga masnya dapet jodoh yang cerewet, sinis, dan gampang ngegas.”
Lalu ia pergi, meninggalkan kasir yang masih bengong, dan seorang laki-laki yang belum tahu bahwa kutukan itu sedang dalam perjalanan untuk jadi kenyataan.
Sore harinya, setelah Joana baru terbangun setelah tak sengaja ketiduran di kamarnya, ia mendengar suara tawa dari arah ruang keluarga. Joan melangkah ke sana dan melihat Don dan Nathan yang asik bersenda gurau. "Wah, seru banget kayaknya. Nggak ajak-ajak aku," ucapnya dengan muka cemberut. Joana langsung duduk mepet di samping Don. Lalu dengan tiba-tiba tangannya melingkar di lengan Don. Joana mendongak dan tersenyum manis menatap Don. Suara decakan dengan sedikit dorongan membuat Joana menghentakkan kakinya kesal. Tak mau berlarut, kini ia berpindah ke samping Nathan. Bocah itu langsung menyodorkan tangannya, meminta Joana memangkunya. Tentu saja Joana senang. Ia dengan antusias meraih Nathan dan meletakkannya di pangkuannya. Tak sampai di situ, Joana memepetkan badannya lagi ke arah Don, namun kini ada Nathan yang menjadi pelindungnya. Dengan begitu, tentu saja Don tidak akan mendorongnya. "Nath mau nonton kartun," ucap Nathan. Jo
Joana mulai melancarkan aksinya. Setelah Don berangkat bekerja, ia segera pergi ke kamar belakang untuk membuka kuncinya. Joana sedikit bersemangat. Dengan segala harapan, semoga saja salah satu kuncinya benar. Tangannya bergerak mengambil satu persatu kunci yang ia bawa. Ia mencobanya. Kunci pertama Gagal. Kunci kedua juga gagal. Kunci ketiga apalagi. Joana mendesah. Hanya tersisa satu kunci dan semoga saja memang itu kuncinya. Mata Joana membulat saat bunyi klik terdengar di telinganya. Ia mengerjapkan mata dan mulai memutar knop pintu kamar itu. Terbuka. Joana tersenyum senang. Ia melompat-lompat pelan, mencoba menahan teriakan senangnya. Joana menahan napasnya. Perlahan tangannya mendorong pintu itu agar terbuka. Bibirnya mulai tertarik ke atas. Dadanya berdebar-debar. Dan... "What? Apa ini?" Senyum Joana langsung luntur. Alisnya menukik sambil matanya menatap ke sekeliling ruangan. Ia menghela napas kasar. Joana melangkahkan kakinya ke da
"Joana!" Suara teriakan Don menggema di seluruh kamarnya. Pria itu sudah berdiri di samping ranjang dengan napas ngos-ngosan. Matanya menatap tajam Joana yang masih tertidur di ranjang kamarnya. "Bangun Joana!" geramnya setengah berteriak. Ia dengan kasar menarik selimut yang Joana pakai, hingga membuat Joana terbangun dengan sebuah pekikan yang cukup keras. "Aduh. Sakit tau, Mas," keluh Joana. Ia lalu ikut berdiri dan menatap Don yang terlihat marah. Dalam hati Joana sedikit takut. Tapi lagi-lagi ia mencoba menguatkan dan memberanikan diri. Jika ia takut, ia tidak akan mendapatkan hari Don. "Kenapa kamu tidur di kamar saya?" tanya Don. Kedua alisnya menukik tajam dengan rahang yang mengetat. Ia masih menatap Joana dengan tajam, menuntut penjelasan. "Nggak tau. Mas kali yang gendong aku ke sini," Joana berujar santai, tidak mengaku. Ia memutar bola matanya jengah saat melihat tatapan tajam Don yang mengar
Joana memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang ada di kamar itu. Ia bertanya pada Rudi, Mamat, dan Darmi, tetapi mereka semua mengatakan mereka tidak tahu. Tak kehabisan akal, Joana berniat masuk ke kamar Don mumpung pria itu masih berada di kantor. Mungkin kunci kamar misterius di belakang itu Don simpan di kamarnya. Tapi usahanya lagi-lagi gagal sebab ternyata Don mengunci kamarnya. Mau tak mau, Joana harus masuk kamar Don di malam hari, saat pria itu sudah tertidur. Joana harus menyusun rencana. Namun, sebelum itu ia perlu tetap terus berusaha mengambil hati Nathan. Bocah itu menang sudah cukup dekat dengannya, namun belum sepenuhnya. Kalau kata orang, kan, ambil dulu hati anaknya, baru bapaknya. Setidaknya ia punya pegangan ketika Nathan sudah terikat padanya. "Mau main apa kita hari ini?" tanya Joana antusias. Nathan sudah selesai mandi baru saja. Ia juga sudah sarapan. Sepertinya energinya sudah full dan siap memporak-porandakan seisi rum
Joana kembali sibuk di dapur pagi harinya. Don semalam mengatakan jika ia tidak perlu memasak makan malam untuknya. Artinya, ia tentu masih bisa memasak untuk sarapan. Begitu, kan? "Saya bantu, Non," tawar Bi Darmi. Joana menggeleng sopan. "Terima kasih, Bi. Tapi nggak papa, Bibi ngerjain yang lain aja. Saya pengen masakan untuk Mas Don full dari hasil tangan saya," Joana tersenyum manis. Darmi ikut tersenyum. Menatap nyonya barunya dengan tatapan kagum. "Pak Don beruntung banget pasti punya istri kayak Non Joana," ucapnya tulus. Joana hanya tersenyum tipis. Ia membatin, semoga saja Don memang merasa beruntung telah memilikinya. Hari ini Joana memilih untuk memasak rawon, menu yang sangat ia rindukan saat dulu ia tinggal di luar negeri. Berdasarkan obrolannya dengan Bi Darmi kemarin, Joana juga tahu bahwa rawon adalah makanan favorit Don, juga makanan nusantara yang berkuah lainnya. Asik memasa
Don pulang cukup larut. Pria itu melenggang begitu saja tanpa sepatah katapun saat Joana berusaha untuk menyambutnya pulang. Joana hanya bisa mengusap dada mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Don sedang kelelahan dan banyak pikiran. "Kamu udah makan?" tanya Joana. Ia mengikuti langkah kaki panjang Don menuju kamarnya. Baru saja tangan Don memegang pegangan pintu, pria itu berhenti dan beralih menatap Joana. "Berhenti di sini. Jangan masuk kamar saya," ucap Don datar sambil menatap Joana dengan mata lelahnya. Don kemudian beranjak membuka pintu dan melangkahkan kakinya ke dalam. Sebelum menutup pintu kamarnya, pria itu kembali menatap Joana dengan malas. "Saya sudah makan. Kamu nggak perlu buatkan saya makan malam." Usai mengatakan itu, Don langsung membanting pintu dihadapan mata Joana. Joana hanya bisa mengelus dada. "Oke," ucapnya pelan di depan pintu kamar Don. Ia memilih untu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments