Barangkali Raya sudah gila membiarkan Kai kini menyingkap bajunya dan tangan itu kini telah menangkup payuudaranya yang berukuran bulat sempurna dan bertekstur fluffy itu. Kai menelusupkan jari jemarinya ke dalam bra berwarna putih itu dan mencari-cari sesuatu yang menjadi puncak di gunung kemmbar itu. “Ray, aku mau nen, boleh?” bisiknya nakal.Sungguh, demi apa Raya harus mendengar kata-kata menggelikan itu. Sungguh Raya sangat yakin itu hanya kata basa-basi saja, karena beberapa detik setelahnya Kai sudah menurunkan kepalanya dan melakukan apa yang dia inginkan itu.Kini posisi mereka saling berhadapan di sofa itu, tak lagi Kai menindih tubuh Raya. Namun tak ada lagi pemberontakan dari Raya, karena kini Raya sedang melihat seorang bayi tua yang sedang asyik ‘menyusu’ padanya.Raya barangkali sudah gila, separuh otaknya mengutuk dirinya yang diam saja diperlakukan seenak hati oleh Kai. Tapi saat-saat seperti ini, Raya merasa tersanjung dan seperti ada perasaan dibutuhkan kan.Sadar
Kai kembali menghela napas mengingat semua yang terjadi di masa lalu. Mungkin Raya tidak tahu bahwa Kai sendirilah yang meminta kepada ayahnya untuk menikahi dirinya. Wanita itu mungkin berpikir bahwa itu semata-mata adalah permintaan, ayahnya. Kai sendiri sebenarnya memutuskan untuk bersedia menikahi Raya, tidak lain dan tidak bukan adalah hanya demi kesehatan ayahnya yang mengkhawatirkan kala itu. Selain itu Kai tidak mau sang Mama ikut-ikutan menjadi drop karena melihat suami yang dikasihinya jatuh sakit.Meski di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih menyimpan sedikit perasaan kepada wanita itu yang berulang kali selalu dia tepis, namun Kai tidak pernah benar-benar ingin Raya menjadi pendamping hidupnya.Alasannya sederhana saja. Dia tidak ingin ayahnya merasa bahagia, hanya itu. Ayahnya tidak pantas selalu mendapatkan kebahagiaan yang diinginkannya padahal sejatinya pria itu berkhianat di belakang orang yang dia cintai.Sedang ia melamunkan hal-hal yang terjadi di ma
Hidup Kai berubah sejak saat itu. Sikap dan pandangan hidupnya pun berubah. Ia tidak lagi menjadi anak baik yang penurut seperti sedia kala. Setelah mengetahui rahasia terbesar sang ayah, Kai tidak mengatakan hal itu kepada sang Mama. Ia tidak sampai hati menghancurkan hati ibunya itu. Dia yang hanya merupakan anak saja merasa sakit hati atas penghianatan ayahnya kepada, bagaimana dengan ibunya nanti? Tentunya ibunya tidak akan melewati itu dengan mudah. Sebab Kai sangat tahu kalau sang mama sangat mencintai ayahnya. Hidup dan matinya telah didedikasikan sepenuhnya kepada suaminya. Maka tak akan terbayangkan oleh Kai betapa patah hatinya sang Mama kalau suatu saat dia tahu kalau suaminya tercinta telah mengkhianatinya.Itu semua yang menjadi alasan bagi Kai untuk tetap bungkam dan tidak mengatakan apapun mengenai perselingkuhan ayahnya. Namun sejak saat itu Kai bukan lagi anak yang patuh, ia menjadi anak yang apatis dan pembangkang khususnya terhadap apa pun kehendak ayahnya.Pun me
Kai menatap punggung Raya yang sedang naik tangga dan kemudian belok kiri hingga menghilang di balik pintu kamarnya. Pria berusia dua puluh tujuh tahunan itu menghela nafas dan menghempaskan dirinya sendiri di tempat yang tadi diduduki oleh Raya. Pikiran pria itu melayang-layang ke waktu tiga belas tahun silam. Ke masa di mana Kai dan Raya baru saja lulus SD. Waktu yang terlalu dini bagi seorang anak untuk tahu cinta-cintaan, persis seperti yang dikatakan Raya tadi. Tapi Kai tidak berbohong, di antara teman-teman sekelasnya di bangku SD, Raya adalah teman perempuan yang paling menarik perhatiannya. Usianya satu tahun di atas Raya, tidak ada yang aneh. Kai dimasukkan SD oleh orang tuanya di saat usianya 7 tahun, sementara Raya sendiri di usia 6 tahun. Di umurnya yang menginjak masa remaja, bukan hal yang mengherankan bukan jika dia mulai menyukai lawan jenis? Raya adalah teman perempuan yang paling dia suka. Bukan hanya karena paras yang cantik, Raya juga cerdas dan tentu
“Kamu nanya kenapa aku marah?” Raya mengulang pertanyaan Kai itu sambil geleng-geleng kepala.“Iya. Memangnya kamu kenapa marah?”Raya mendengus. Rasanya percuma ia mengatakan apa pun saat ini. Kai si manusia tanpa hati itu mana mungkin sadar kalau dia telah menyakiti hati seseorang.“Nggak. Nggak kok. Aku nggak marah. Aku cuma pengen sendiri tapi kamu sama sekali tidak memberiku ruang untuk itu,” jawab Raya masih sedikit kesal.“Iya, tapi untuk apa sendiri kalau nyatanya saat ini kita sedang berdua. Bukankah berdua lebih baik?” Kai masih saja ngeyel sembari bermain mata pada Kai.Kali ini Kai ganti turun ke anak tangga di bawah anak tangga tempat Raya berdiri. Ia menghalangi jalan Raya yang ingin turun ke bawah.“Selama ini kamu kemana aja? Bukannya memang selama ini kita sendiri- sendiri. Sudah sana minggir!!” kata Raya kesal.Ia lantas menabrak Kai begitu saja hingga Kai sampai berpegangan agar tidak jatuh.Raya tidak peduli. Ia lantas menuju ruang televisi dan memilih untuk menont
“Kok diam? Lupa? Apa perlu kuingatkan lagi?” ejek Kai pada Raya yang tiba-tiba diam terpekur. Raya bukannya tidak ingat moment itu. Moment di mana Kai menciumnya waktu itu. Ia sempat kaget, terpekik dan mundur beberapa langkah ke belakang. “Itu bukti kalau kita pacaran.” Raya Masih sempat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kai, namun dirinya sudah berbalik badan dan berlari menuju tempat di mana ia meninggalkan rombongan pengantar keluarga Hartono terakhir kali. “Eh, Raya. Kok kamu baliknya sendiri? Tadi Kai nyariin kamu loh karena kamu kelamaan balik dari toilet,” kata Bu Sari mana kala putrinya itu kembali dari toilet sambil berlari.Perhatian yang lain pun tertuju pada Raya. “Kai mana?” tanya Bu Irma.Raya tidak menjawab melainkan melihat ke arah toilet dari mana dia datang tadi. Terlihat Kai sedang berjalan menuju mereka. Raya cepat-cepat menyembunyikan dirinya di belakang tubuh sang ibu. Susah ia jelaskan bagaimana malunya dia saat ini. Kai menciumnya, gila! Raya me
“Kok belum siap-siap?” tanya Aswin pada putrinya, Raya.“Ayah sama ibu aja deh yang pergi. Raya di rumah saja,” tolak Raya dengan wajah cemberut.Aswin mengernyitkan kening melihat sikap putrinya. Lalu pria itu pun menghela napas dan duduk di samping Raya yang sedang membaca komik kesayangannya. “Yakin? Setelah ini kamu mungkin akan lama lagi loh bisa ketemu Kai,” kata Aswin dengan nada membujuk. “Biarin aja,” jawab Raya singkat.“Tapi kan kalian sahabat?” “Siapa bilang? Kai itu menyebalkan kok aslinya. Biar aja dia pindah ke Singapura. Nggak ketemu selamanya juga nggak apa-apa,” jawab Raya jutek.Asmin lagi-lagi hanya bisa mengernyitkan kening, namun dia memilih untuk membiarkan saja apa yang diinginkan oleh putrinya itu. “Ya sudah kalau begitu. Kalau kamu nggak mau ikut, ya kamu jaga rumah aja kalau gitu,” kata Aswin.Ucapannya hanya dibalas dengusan oleh Raya. Aswin tidak berniat memaksa Raya. Ia pun segera memanggil istrinya ke kamar. Sebagai orang yang telah mengabdi lama pa
“Raya!! Kamu sudah lihat belum hasil ujian nasional? Kamu dapat nilai terbaik di seluruh SD tingkat kota loh! Selamat ya!!” ucap Agnes.Kala itu Raya masih berusia 12 jalan 13 tahun. “Oh, ya? Aku belum lihat juga tuh. Kamu tahu dari mana?” tanya Raya.“Aku tadi nggak sengaja dengar pas lewat ruang guru. Pas ku cek di papan pengumuman ternyata nilai kamu memang setinggi itu. Selamat sekali lagi ya, Ray! Aku iri deh,” ucap Agnes lagi.Raya dengan tak sabar segera menuju mading sekolahnya untuk melihat kebenaran kabar yang disampaikan oleh Agnes.Tak hanya dirinya, ternyata teman-temannya juga telah banyak berkumpul di situ. “Wah, ini inih bintangnya. Membuat bangga nama sekolah kita. Raya, habis ini kamu mau lanjut di SMP mana?” tanya Fauzi.“Emm, masih belum pasti. Tapi ayah bilang kalau bisa aku masuk di SMP 1 saja,” jawab Raya jujur.“SMP favorit, sudah pasti masuklah. Raya kita memang nggak kaleng-kaleng. Pasti masuk, yakiiin!!” kata Fauzi didukung oleh teman-temannya yang lain.
“Rayaaa!!!” Raya melirik dengan kesal ke arah pintu yang diketuk berkali-kali oleh Kai sedari tadi. Betapa pengganggunya sialan itu! Merusak mood dan pendengarannya yang sedang menonton drama Korea favoritnya. Tapi tentu tidak … Raya tidak akan membukakan pintu pada pria brengsek itu. Bukannya apa-apa, dia tidak akan terjebak berulang-ulang kali dalam permainannya licik laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya itu. Big No! Maka yang bisa dilakukan oleh Raya saat ini adalah membuka laci nakas di samping tempat tidurnya dan mencari headset di sana. Setelah menyambungkannya pada laptopnya, ia pun memasang headset itu di telinganya dan memasangnya dengan volume yang cukup tinggi. Nah, sekarang aman. Ia saat ini bisa melanjutkan menonton drama kesukaannya dengan tenang. Kai mau menggedor-gedor pintu dan berteriak hingga ratusan kali pun, Raya sama sekali tidak akan peduli. Di luar kamar Kai berdecak kesal karena pintu tidak juga dibukakan oleh Raya. Sialan! Sebenarnya apa yan