Tak terasa, siang menjelang sore.
Lapangan yang ada di depan kontrakan Bu Rini pun mulai rame. Ada banyak anak yang bermain bola, ada juga yang bermain layangan.
Di ujung jalan dekat lapangan ada pos ronda. Ibu-ibu yang memiliki anak kecil, juga para asisten yang momong bocah, sering memanfaatkan tempat tersebut untuk duduk-duduk sambil menemani para bocil bermain. Dina yang sore itu baru pulang dari warung, 'dicegat' oleh beberapa ibu yang sedang ngerumpi sambil momong di pos ronda. "Itu tadi kenapa?" tanya Bu Yana, setelah Dina berhenti. Dina mengerti arah pertanyaan Bu Yana, secara rumahnya di seberang jalan rumah Dewi. Bisa dipastikan kalau Bu Yana mendengar keributan pagi tadi, karena sehari-hari Bu Yana juga seperti Dina, jaga gawang rumah. "Kena air jemuran, Budhe," jawab Dina apa adanya. "Hmmm... Untung dia nggak sama saya, kalo sama saya, saya sirram dia," kata bu Yana, nampaknya ikut emosi. "Udah tau rumahnya gitu, mau jemur dimana?" tambah Bu Yana lagi, dengan wajah ditekuk. "Sudahlah, Budhe. Biarin aja," jawab Dina yang enggan memperpanjang urusan. "Mari, Budhe." Dina pamit, menghindari ngerumpi. Namun, baru beberapa langkah, ada lagi yang menggoda putrinya yang sedang ia gendong. "Hai cantik, kamu habis dari mana?" tanya Lila, istri tukang bubur yang rumahnya di ujung barat. "Habis dari warung, Tante." Dina menjawab mewakili anaknya. "Eh, Tante, tadi emang habis ribut-ribut, ya?" tanya Lila, kepo sambil cengengesan. "Hmm...ya gitu, deh." Dina menjawab sambil menghembuskan napas. "Emang kenapa sih, Tante?" "Biasa, kena air jemuran," jawab Dina. "Orang kok aneh. Ya namanya jemuran ya airnya pasti netes ke bawah lah, mana ada netes ke atas," ucap Lila. "Mau diperes kayak apa juga tetep aja netesnya ke bawah," Lila menambahkan. "Kemarin itu dia habis ke rumah aku, Tante. Terus dia bilang dia kesel sama Tante. Emang Tante negur dia? Dia bilang tante marah-marah tuh, sama si Sultan," tanya dan beritahu Lila. Tentu saja Dina terkejut disebut marah-marah pada anak tetangganya. "Lhah, kok malah bilang aku marah-marah sama Sultan, orang aku ngomong baik-baik kok, sama ibunya. Ya aku memang minta tolong supaya anaknya itu nggak lari-larian gedebak-gedebuk. Jadi kan kemarin itu memang kebetulan mereka semua lagi di luar. Waktunya juga sudah malam, mana dia nendang-nendang bola. Nah pas itu si Putri ini baru mau tidur. Otomatis keganggu, kan. mana aku udah capek banget, nidurin bocah jadi nggak selesai-selesai," jawab Dina panjang pendek. "Oh gitu. Ya kemarin aku bilang sama dia, kalo kesel sama Bu Dina, ya ngomong langsung sana, bukan ngomong sama aku, ya nggak nyambung," kata Lila sambil cengar-cengir. Dina ikut nyengir. Jadi ngomongin orang kan dia? "Yang kapan itu, waktu dia belum keguguran, dia bilang sering mimpi gendong anak kecil, tapi wajahnya si Putri ini," gumam Dina teringat dengan Dewi yang bercerita penuh heran sebab Putri hadir di dalam mimpinya. Dewi memang belum lama ini kehilangan janinnya. Kata dokter, bayinya tidak berkembang jadi harus dikuret. Saat masih hamil suka godain Putri, dan bercerita tentang mimpinya itu pada Dina. Bahkan Dewi cerita ngidamnya, tak bisa mencium bau parfum. "Saya itu pusing kalau nyium bau parfum, itu ayahnya Sultan kalau mau pakai parfum harus di luar. Bau parfum jemuran ini juga saya nggak tahan." Cerita Dewi waktu itu, sambil menunjuk jemuran Dina yang bergelantungan di langit-langit atap teras rumahnya. Waktu Dina belum tau kalau sebenarnya mereka tidak baik-baik saja. Apa Dina memang tidak peka? "Kamu dateng ke mimpinya dia?" Lila bertanya pada Putri. "Mau ngapain kamu?" Lila berkata sambil menjawil pipi bocah kecil dalam gendongan Dina. Yang dijawil cengengesan. "Mau ngajak main mungkin, hehee ...." jawab Dina sambil terkekeh. "Udahlah, Mbak, mau pulang saya, naruh ini dulu, ya?" pamit Dina. Lalu ia pun berlalu setelah diiyakan oleh Lila. Baru melangkah masuk lewat pintu gerbang, Dina melihat pintu rumah Nia terbuka, ada Silvi di sana, tetangga beda gang yang sering main ke rumah Nia. Mereka memang dari daerah yang sama jadi makin akrab saat di perantauan. "Sini, Tan," panggil Nia sambil melambaikan tangannya. "Iya, Teh. Gimana?" Dina bertanya setelah jarak mereka semakin dekat. "Tante, emang tadi Bu Rini ke sini, ya?" kali ini Nia yang bertanya. "Kayak denger suaranya tadi?" tanya Nia lagi. "Iya, Teh, tadi Bu Rini ke sini," jawab Dina. "Terus Tante bilang apa?" "Bilang nggak tau jadwal dia keluar pagar, hehe." "Terus apalagi?" "Nggak ada, Teh, keburu dia nangis," jawab Dina sambil menunjuk bocah kecil dalam gendongannya. "Langsung balik tadi. Bu Rini pulang juga aku nggak lihat, masih nidurkan cantikku ini." Dina berkata sambil mencium pipi putrinya dengan gemas. "Kalo Teh Dewi, dia bilang apa, Tan?" tanya Nia penasaran. "Dia bilang Putri berisik karena nangis dari orok, Teh." Mendung lagi wajah Dina menyebut kata orok. "Lhah, anak dia lebih berisik. Kalo main kesini nih ya, Tan, semua mainan kakak dikeluarin. Jajanan kakak ... aku kan selalu setok jajanan dia satu lemari itu, dia yang ngabisin. Mau bilang sama mamanya juga nggak enak. Akhirnya aku biarin aja meski hati gondok." Cerita Nia panjang lebar. "Terus nih ya, kalo lagi ada acara kumpulan apa arisan gitu, tante nggak tau sih, ya, karena nggak ikut, mamanya tuh, suka ngambil gitu jajanan yang di piring. Dia masuk-masukin dah tu, ke dalam wadah, terus bilang, ini buat Sultan ya, gitu tan." Kali ini Silvi yang bercerita. Tentu saja Dina kaget mendengar cerita mereka. Selama tinggal di sana dia jarang keluar kalau tidak ada perlu yang penting. Termasuk arisan juga dia tidak pernah ikut. Gara-gara jemuran dia jadi dapat banyak info yang sebenarnya dia tak ingin mencari tau. Merasa di rumah Nia malah ngerumpi, Dina pun pamit pulang.Dia masih harus membereskan rumah dan menyiapkan hidangan untuk sang suami.
Hanya saja, begitu bertemu, pria itu malah menatapnya dalam. "Kamu kenapa, Dek?"
“Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.
Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal
"Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se
Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa
Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar
Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d