“Jadi istri keduaku, lahirkan anak untukku. Maka hidupmu akan kucukupi.” ** Bayu Ganesha Atmaja, seorang pria berusia 32 tahun, baru saja menerima kenyataan pahit tentang istrinya, Nadya. Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, dokter memastikan bahwa Nadya tidak dapat memiliki anak. Kabar tersebut menghancurkan harapan Bayu untuk memiliki keturunan, membuatnya merasa putus asa dan pasrah. Namun, takdir mempertemukannya dengan Jihan Larasati, seorang wanita berusia 25 tahun yang tengah dilanda kesulitan besar. Adiknya, Bastian, membutuhkan dana besar untuk operasi ginjal yang rusak. Bayu akan memenuhi kebutuhan Jihan asalkan wanita itu mau menikah dengannya dan melahirkan anak untuknya. Akankah Jihan menerima tawaran menggiurkan itu?
View More“Mohon maaf, Mbak Jihan. Pihak rumah sakit sudah menerapkan sistem seperti itu. Kami tidak bisa melakukan apa pun jika Anda belum membayar administrasinya.”
Ucapan itu meluruhkan benteng terakhir Jihan. Air matanya pecah, bergulir tanpa henti seperti hujan di akhir musim kemarau, menggenangi pipinya yang pucat.
Pikiran tentang kehilangan Bastian, satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kepergian kedua orang tua mereka, membuat jantungnya seperti ditusuk ribuan duri.
“Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar, sembari menutup wajah dengan kedua tangan yang bergetar. Isak tangisnya seperti gema kesedihan yang tak henti-hentinya memukul dinding ruangan itu.
“Jihan?” Sebuah suara familiar memecah keheningan, dan dari seberang lorong, Bayu berdiri terpaku, keningnya berkerut.
Wajahnya menyiratkan keheranan yang bercampur dengan kekhawatiran, sementara di sebelahnya, Nadya memandang dengan tatapan penuh tanya.
“Siapa dia, Mas?” bisik Nadya kepada suaminya itu.
Mereka baru saja keluar dari ruangan dokter kandungan, membawa kabar pilu yang masih menggetarkan hati mereka—bahwa Nadya tidak dapat memiliki anak.
Bayu, yang jiwanya telah tergores luka oleh kenyataan itu, kini dipaksa menghadapi misteri lain yang tergurat di wajah Jihan.
“Dia … salah satu karyawan di kantorku,” jawabnya dengan nada datar, namun tatapannya tetap tertuju pada Jihan, seakan mencoba membaca rahasia yang tersembunyi di balik air matanya.
Nadya, dengan intuisi yang tajam, menarik tangan suaminya. “Sebaiknya kita hampiri.”
Bayu mengangguk, langkahnya terhenti di hadapan Jihan yang masih terisak. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Jihan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Jihan mengangkat kepalanya, matanya yang merah menyapu wajah Bayu dengan keterkejutan. “Pak Bayu?” suaranya serak, seperti daun kering yang tergilas angin.
Ia buru-buru mengusap air matanya, mencoba merapikan dirinya yang telah hancur lebur oleh kesedihan. “Saya … saya sedang ….”
Belum sempat Jihan menjelaskan, Bayu sudah beralih pada dokter yang kebetulan melintas. “Apa yang terjadi, Dok?” tanyanya tegas.
“Pasien Bastian harus segera dioperasi,” jelas dokter itu, suaranya tenang namun penuh urgensi. “Hanya saja Mbak Jihan belum memiliki dana untuk operasi ginjal adiknya.”
Kata-kata itu seolah membawa Nadya pada sebuah ilham yang mendadak. Ia menarik lengan Bayu menjauh, bisikan ide yang tak terduga terlintas dalam benaknya.
“Kamu mengenalnya, kan? Nikahi dia dan lahirkan anak untuk kita, Mas,” ujar Nadya, suaranya serupa bisikan malam yang menggugah langit kelam, namun sarat dengan nada keputusasaan.
Bayu mengerutkan keningnya, seolah kata-kata itu adalah duri yang menusuk jiwanya. "Apa kamu gila?" tanyanya tajam, suaranya seperti gelombang yang menghantam batu karang.
Ia menggelengkan kepala dengan tegas, mencoba mengusir absurditas yang baru saja diusulkan istrinya. "Tidak. Aku tidak mau menikah lagi. Apalagi dengannya,” tukasnya, nada suaranya mengunci seperti pintu baja yang tak bisa digerakkan.
Namun, Nadya tak menyerah. Mata gelapnya bersinar oleh harapan yang memohon belas kasih, meskipun tampak hancur oleh kenyataan.
"Mas, aku mohon. Kita butuh masa depan, dan Jihan adalah satu-satunya harapan kita. Aku yakin dia bisa memberi kita anak," ucapnya dengan suara yang lirih, namun menggema di hati Bayu seperti lonceng yang terus berdentang.
Bayu memijat keningnya dengan gerakan lelah, mencoba mengusir pusaran pikiran yang menyelimuti benaknya. Ide itu tak hanya gila, tapi juga menusuk moralitasnya seperti belati berkarat.
"Tapi, Nadya…" ia menarik napas dalam, suaranya berubah lembut, penuh ketulusan. "Aku menerima segala kekuranganmu. Tidak apa-apa kalau kamu tidak bisa memberiku keturunan. Jangan pikirkan itu lagi."
Namun, Nadya hanya menggeleng pelan, senyumnya pahit seperti embun pagi yang menyelimuti duri mawar.
"Aku mohon, Mas. Demi masa depan kita. Apa kamu tidak capek ditanya kapan memberi mereka cucu? Kamu anak tunggal, Mas. Mama dan Papa sangat berharap padamu. Ingat itu."
Bayu terdiam, tatapannya berpindah ke wajah istrinya yang bersikeras, lalu beralih pada Jihan, yang berdiri di ambang pintu ruang rawat adiknya.
Matanya menyusuri sosok Jihan, mencoba membaca sesuatu yang tak dapat diungkapkan oleh kata-kata. Dalam keheningan itu, dilema menyelimutinya, seperti kabut tebal yang membelenggu pandangannya.
Dengan tarikan napas panjang, Bayu melangkah mendekati Jihan, yang wajahnya masih dihiasi bekas air mata.
Sorot matanya yang datar dan dingin seperti malam tanpa bintang, menciptakan atmosfer yang membungkus ruangan dengan ketegangan tak kasatmata.
“Menikah denganku dan lahirkan anak untukku. Maka aku akan membayar biaya operasi adikmu dan memenuhi kebutuhan kalian.”
Hari itu mendung menggantung di langit, seakan ikut merasakan ketegangan di dalam rumah mereka. Usia kandungan Meta sudah sembilan bulan, dan pagi itu ia terbangun dengan perut melilit nyeri tajam. Napasnya tercekat, dan keringat dingin membasahi dahi.“Rafi…” panggilnya parau.Rafi, yang baru saja selesai mandi, langsung menghampiri. Wajahnya pucat melihat tubuh Meta gemetar.“Sayang, kamu kenapa?” tanyanya cemas kemudian berlutut di samping ranjang.“Sepertinya kontraksinya makin sering dan sakit sekali,” jawab Meta di sela napasnya. Matanya berkaca-kaca menahan nyeri.Tanpa berpikir panjang, Rafi segera memapah Meta menuju mobil. Ia melajukan kendaraan secepat mungkin menuju rumah sakit. Sementara itu, Meta menjerit kecil setiap kali kontraksi baru melanda, membuat Rafi semakin panik.“Bertahan, Meta, sebentar lagi sampai,” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Di ruang ber
Hari itu, suasana di apartemen mereka begitu hangat dan meriah. Tak ada pesta besar, hanya perayaan kecil ulang tahun Rafi yang ke-32.Meta menata meja makan sederhana dihiasi lilin-lilin kecil, kue tart cokelat di tengahnya, dan beberapa masakan rumahan yang dibuatnya sendiri.Rafi masuk dari pintu depan dan langsung terpana. “Wah… ini kejutan untukku?” tanyanya setengah tertawa, memandang sekeliling.Meta tersenyum, meraih tangan Rafi dan menuntunnya ke kursi. “Iya, spesial untuk suami terbaikku,” katanya hangat, membuat mata Rafi berbinar bahagia.Mereka pun menghabiskan waktu makan malam dalam kehangatan. Rafi bercanda dan tertawa, dan Meta tak henti-hentinya menatapnya dengan mata berbinar. Ia tahu, malam ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kejutan istimewa.Setelah meniup lilin dan membuat permohonan, Rafi menatap Meta penasaran. “Kamu terlalu banyak kejutan malam ini,” godanya.Meta
Detik berikutnya, bibir mereka bertemu lagi. Kali ini bukan sekadar ciuman rindu, melainkan ciuman hangat dan bergelora.Rafi merengkuh pinggang Meta, dan Meta melingkarkan tangannya di leher Rafi, membiarkan tubuhnya melebur dalam hangatnya dekapan sang suami.Ciuman mereka semakin dalam dan panas. Rafi mendorong tubuh Meta menuju dinding, menekannya lembut di sana hingga mereka bisa saling merasakan detak jantung dan hangatnya tubuh masing-masing.Meta hanya mampu mendesah kecil di sela-sela ciuman mereka, membuat Rafi makin bergelora.“Sayang,” bisik Rafi di sela napasnya, menelusurkan kecupan lembut ke leher Meta hingga membuatnya merinding.Meta menggigit bibirnya, seluruh tubuhnya bergetar. “Jangan berhenti…” bisiknya, membuat Rafi tersenyum dan menciuminya lagi lebih dalam.Tanpa banyak bicara, Rafi mengangkat Meta kembali ke dalam gendongannya, membawanya menuju kamar tidur.Ia merebahkan Meta di
Meta memacu mobilnya menuju rumah orang tua Rafi, hati berdebar-debar bercampur cemas.Ia sudah bertekad untuk menemui Rafi, meminta maaf, dan mengutarakan perasaan yang selama ini tertahan. Ia bahkan sudah mempersiapkan kata-kata yang ingin disampaikannya dalam benaknya.Namun, saat mobilnya berhenti di depan pagar, sesuatu membuatnya terpaku.Di halaman, Rafi sedang berbincang hangat dengan seorang wanita berambut panjang.Mereka tampak begitu akrab, bercanda dan tertawa. Wanita itu bahkan sesekali memukul lengan Rafi manja, membuat Rafi tertawa lepas.Sekejap, dada Meta terasa seperti tertimpa batu. Matanya memanas, dan sebelum sempat berpikir, air mata sudah membasahi pipinya.Apa ini? pikirnya, napasnya tercekat. Ia merasa dikhianati. Ia datang untuk memperbaiki keadaan, dan sekarang harus melihat pemandangan yang begitu melukai perasaannya.Ia mundur selangkah, berbalik untuk segera pergi. Namun, gerakan Meta membuat Rafi menyadari kehadirannya.“Meta?” panggil Rafi kaget, lalu
Suara ketukan pintu membuat Meta beranjak dari sofa. Matanya sedikit sembab, tubuhnya terasa lemas, dan semangatnya seakan tersedot habis dalam beberapa hari terakhir.Ketika ia membuka pintu, wajah Jihan sudah berdiri di sana—tatapan sahabatnya itu tajam dan penuh emosi.Tanpa basa-basi, Jihan langsung melangkah masuk. “Meta,” katanya setengah marah, setengah khawatir, “apa yang kamu lakukan? Membiarkan Rafi pergi begitu saja? Kamu sadar nggak betapa tulusnya dia mencintai kamu?”Meta terdiam di tempatnya, bahunya merosot. Ia sudah tahu cepat atau lambat Jihan pasti akan datang dan melontarkan semua kekesalannya.Jihan menatapnya lebih dalam lalu menghela napas pelan. “Aku tahu, harga dirimu pasti membuatmu sulit untuk mengejarnya duluan. Tapi jangan bodoh, Meta. Rafi itu lelaki baik. Kalau dia bisa sabar dan mencintaimu seperti itu, jangan sia-siakan.”Jihan menggenggam tangan Meta dan menatapnya kembali. “Kamu tidak akan menemukan pria sebaik Rafi, dan kamu tahu itu.”Mata Meta mul
Meta merasakan atmosfer di ruangan itu begitu aneh sejak Rafi masuk. Tidak biasanya Rafi pulang begitu diam dan kaku.Meta mendekat dan menatap suaminya itu dengan tatapan lembut. “Rafi… kamu kenapa?”Pertanyaan itu membuat Rafi seperti tersentak. Ia menoleh cepat, dan kali ini Meta bisa melihat jelas gejolak di mata suaminya—campuran amarah dan kecewa.“Kenapa?” ulang Rafi. Suaranya berat dan nyaris bergetar. Ia menarik napas dalam, dan kali ini emosinya pecah. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kamu kenapa, Meta?!”Meta mengerutkan kening, bingung sekaligus cemas. “Aku nggak ngerti maksud kamu…”Rafi tertawa getir, membuat dada Meta berdesir. “Jangan pura-pura, Meta. Kamu pikir aku nggak lihat Julian keluar dari sini barusan? Dan pesan-pesannya di ponselmu? Kamu sengaja membuka pintu untuknya?”Mata Meta melebar kaget. Ia langsung menggeleng. “Buka pintu un
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments