Share

Tawaran Baru

Author: Lia Lintang
last update Last Updated: 2021-05-25 01:14:15

Pagi itu, akhirnya berangkat ke kantor diantar Priyo meski dengan perasaan tak nyaman. Pikiranku masih tertuju pada rumah kost yang membuatku tidak betah.

"Ada apa?" tanya Priyo, ketika menangkap wajahku yang pucat dan gelisah.

"Bapak kost sepertinya genit, aku tidak nyaman tinggal di tempat seperti itu," gerutuku menimpali.

"Kalau begitu, pindah saja 'kan beres," tukas Priyo, memberiku saran.

"Gak segampang itu, aku 'kan sudah terlanjur bayar kost. Ga apa-apa lah aku coba sebulan dulu," sergahku, memikirkan belum ada pemasukan.

"Kalau aku yang bayar, mau pindah?" 

"Umm ... aku coba aja dulu, nanti kalau emang aku ga kuat minta tolong," ucapku, kuselingi senyum.

Priyo adalah kekasih sejak SMA. Wajar jika kami dekat, sebelum ke kantor dia selalu mengajakku sarapan pagi terlebih dahulu. Entah itu di pedagang kaki lima atau bahkan di bubur Pasundan langganannya.

***

Aku mempercepat langkahku ketika mencapai gerbang masuk kantor tempatku bekerja. Ini hari pertama kali aku bekerja. Pasti gugup. 

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kantor, beberapa karyawan dan karyawati menatap ke arahku. Semoga tidak ada yang salah dengan penampilanku, jika tidak maka aku akan sangat malu.

"Pagi," sapaku pada siapapun yang berpapasan.

Maklum, aku pegawai baru. Jika kurang sopan maka akan terjadi masalah padaku. Mereka membalas ramah, meski ada beberapa yang menatap sinis menunjukkan sikap tidak suka kepadaku. Meski aku sendiri kurang mengerti apa sebabnya.

Beberapa dari mereka mengantri check clock. Sementara aku yang belum memiliki name tag memilih berdiam diri duduk di kursi tempat para staf makan.

"Lily, sini ikut aku," sapa seorang pria yang begitu familiar bagiku.

Aku mengamatinya. Mencoba mengingat ia siapa, berjaga-jaga jika saja dugaanku salah.

"Mas Adi Wijaya," ujarku memastikan.

"Ya. Aku HRD di sini. Maaf baru sempat negur, sibuk banget soalnya. Ayo ikut ke ruanganku, bikin nametag, sambil berkeliling aku kenalin ke seluruh staf," jelasnya.

"Umm ... aku panggil Bapak ya, Mas. Ini 'kan di kantor," ujarku. 

"Senyaman kamu lah Lii," jawabnya seraya membuka pintu ruang kerjanya.

Ruang kerja yang nampak tak asing bagiku. Jelas saja, kemarin aku melangsungkan interview tepat di cubicle sebelahnya.

Ruang HRD memang bersebelahan dengan ruang manager operasional. Hanya bersekat kaca sebagai pembatas. Membuat kehadiranku terlihat jelas oleh Pak Teguh, yang sedang asyik menyesap secangkir kopi kala itu. Aku mengetahui sebab secara tak sengaja melihatnya dari kaca pembatas.

Pandanganku berpindah pada Mas Adi Wijaya yang sibuk mencetak nametag untukku. Menit kemudian. Telepon dengan sambungan interkom berdering. 

"Halo, ya Pak," ucap Mas Adi mengawali percakapan.

Aku tidak bisa mendengar apapun hanya samar-samar mendengar Mas Adi mengucapkan kata 'ya'. Lagi pula tidak baik menguping pembicaraan orang lain. Jadi aku memilih diam.

"Setelah ini, ke ruangan Pak teguh dulu. Ada penting katanya," ujar Mas Adi Wijaya menyampaikan pesan sang atasan.

Aku hanya mengangguk sebagai persetujuan kala itu. Tak butuh waktu lama. Sepuluh menit kemudian, aku berpindah ke ruangan manager operasionalku.

Matanya mengerling genit. Membuatku semakin tak nyaman. Padahal sebenarnya wajahnya menawan dan kharismatik. Jujur saja aku bukan tipe orang yang suka dikejar. Jadi aku abaikan sikapnya. Lagi pula niatku untuk bekerja.

"Hay Li, aku mau kasih kamu pilihan. Dengan kata lain sebuah penawaran baru. Kamu mau tetap jadi admin penjualan, atau jadi asisten pribadiku," ucapnya tanpa berbasa-basi.

Dengan tegas ku jawab, "Admin penjualan."

Dia menatapku tajam, kali ini aku tidak tinggal diam. Aku pun membalas tatapan matanya tak kalah tajam menghujam.

Bukannya menghindar tetapi sepertinya ia justru tertarik padaku. Ia memberikan sebuah kartu nama untuk ku simpan. Aku tidak mau bermasalah. Tentu saja ku raih kertas kecil bertuliskan namanya lengkap dengan alamat dan juga nomor ponsel tertera di sana.

"Saya permisi Pak, dan maaf karena tidak bisa mengikuti kemauan Bapak. Namun, jika nanti ada keperluan saya bersedia membantu," tuturku sopan, kemudian bangkit dan meninggalkan tempat itu.

Aku tidak lagi memperhatikan pak Teguh, kecuali wajah kecewa yang terlihat sebelum kepergianku.

"Dor!" teriak Mas Adi mengagetkanku di koridor.

Ternyata ia sudah menungguku sejak tadi. Aku lupa jika ia yang akan memandu ku berkeliling kantor, kemudian menunjukkan cubicle milikku.

Setelah selesai melakukan serangkaian kegiatan bersama Mas Adi Wijaya, aku kembali ke cubicle milikku. Seorang wanita bertubuh subur dengan kacamata sebagai ciri khas penampilannya telah menungguku.

"Hay Li, namaku Ivy. Aku yang akan mengawasi kamu saat training berlangsung," ujarnya.

"Ya, Mbak," sahutku disertai senyuman sumringah karena Mbak Ivy terkesan lemah lembut ketika menyapa.

Semua berawal biasa saja, hingga menjelang jam makan siang dimulai, seorang wanita dengan tubuh proporsional, rambutnya digarai indah meski memiliki dua warna. Warna hitam, tetapi diselingi putih lebih mendominasi datang menghampiri sambil menggebrak meja melempar setumpuk faktur.

Aku terkejut. Wajahnya yang sinis membuatku semakin histeris. Wajahku yang semula terlihat berseri kini berubah mendung.

Jantungku berdegup kencang. Ada rasa takut menyelimuti hatiku. Namun, aku mencoba tenang dan menerka apa yang sebenarnya wanita itu inginkan.

"Ada banyak tagihan yang tidak selesai! Cari tiap toko, berapa nominalnya. Itu ada banyak faktur! Pilah pertoko dan sertakan jumlah tagihan di register!" bentaknya, membuat mataku yang semula berembun merebak menjadi lelehan air mata.

"Ya Mbak, maaf. Saya anak baru. Saya tidak tahu menahu—," belum selesai ucapanku perempuan itu menendang kursi milikku. Aku sangat terkejut dan refleks memegangi dadaku.

Aku sendiri saat itu. Belum ada yang berani membela, sepertinya mereka takut pada wanita yang datang padaku dengan tiba-tiba.

"Ada apa?" Pak Teguh tiba-tiba memasuki ruangan. Berjalan mendekati aku, lalu tangannya nakal dengan sengaja mengusap puncak kepalaku di depan staf lainnya.

Aahh ... rasanya saat itu aku ingin berhenti dan tidak ingin lagi melanjutkan pekerjaanku. Ku tepis tangan managerku, aku mulai memberanikan diri menegakkan kepala menatap keduanya bergantian.

"Maaf, job description saya apa?" tanyaku.

Hening.

Menit kemudian, seorang wanita yang memiliki jabatan sebagai chef accounting datang bersama seorang IT menengahi. Menyampaikan dan menjelaskan job description ku. Merasa bersalah, wanita yang semula marah tak jelas akhirnya meminta maaf.

Aku sedikit lega. Tetapi saat aku makan siang, di warung kecil seberang jalan. Wanita itu juga ada di sana. Lengkap dengan tatapan sinisnya. 

"Li, makan di sini juga. Abaikan yang merusak mental kamu. Persaingan di dunia kerja memang begitu," ujar Mas Adi Wijaya, yang tiba-tiba duduk di sebelahku mencoba menenangkan.

"Ya, Mas. Aku gak tahu salahku apa, kecuali jika aku memang salah," keluhku, mendesah.

"Tentu karena dia melihat Pak Teguh mendekati kamu," tukas, Adi Wijaya memberikan penjelasan.

Aku tertawa geli, aneh saja bagiku. Ada orang iri mencampur adukkan pekerjaan dengan masalah hati yang bahkan belum tentu kebenarannya.


Kulirik sorot matanya tidak sedikitpun melepaskan pergerakanku. Seolah mengancam akan berbuat hal buruk sekali lagi. Mata tajam yang terus menatapku membuatku ingin mengundurkan diri seketika dari pekerjaan baruku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Memilih Menjemput Cinta   Asmara

    Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria

  • Memilih Menjemput Cinta   Badai Apa Lagi?

    Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.

  • Memilih Menjemput Cinta   Ini Bukan Inginku

    Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku."Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih."Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.

  • Memilih Menjemput Cinta   Aku Menyebutnya Lara

    Aku masih berteman benci, menatap sayu mata suamiku yang sedang duduk bersandar di dinding kamar sambil termangu. Aku memilih menjauh. Ketimbang duduk berjajar yang membuat dadaku terasa sesak. "Besok," ucapnya lirih memulai pembicaraan kami yang sebelumnya hening. Aku membelalakkan mata, keningku berkerut mencoba mencerna ucapannya. "Apa?" tanyaku, berpura-pura tidak memahami maksud ucapannya yang begitu singkat. "Pernikahanku dengan dia digelar," jawabnya dengan suara serak. Kini Teguh yang kukenal kejam seolah beruba

  • Memilih Menjemput Cinta   Hatiku Hancur Mendengarnya

    Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki

  • Memilih Menjemput Cinta   Membuatnya Cemburu

    Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status