Home / Romansa / Memilih Menjemput Cinta / Wanita Idaman Lain

Share

Wanita Idaman Lain

Author: Lia Lintang
last update Last Updated: 2021-05-30 18:39:23

Setelah shalat subuh. Aku merias tipis wajahku. Kukenakan pakaian yang pantas. Sudah cukup keluarganya menghinaku karena aku gadis desa. 

Aku mencoba menunjukkan jika mereka akan menyesal telah mengabaikan ku. Dengan tangan gemetar. Aku kembali berselancar, di akun F******k miliknya. Rasa penasaranku membuatku membuka koleksi albumnya. Aku terkejut saat membaca tanggal foto tersebut diambil, ternyata keduanya sudah memiliki hubungan selama empat tahun terakhir.

Bodohnya aku. Sibuk dengan pekerjaan sampai tidak tahu jika ditinggal selingkuh dalam waktu yang amat lama.

Aku kembali menangis. Namun, kemudian kuhapus kasar bulir bening yang menetes. Aku harus kuat. Sudah cukup air mataku mengalir.

"Tidak. Kamu tidak pantas ditangisi," desisku, lirih.

Deru suara mesin mobil terdengar terhenti di teras rumah. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat Priyo menuruni mobil dengan dandanan berbeda. Jika selama menjalani hubungan denganku ia mengenakan kemeja dan pakaian seadanya meski aku tahu dia pria kaya, di hari terakhir kita bertemu ia mengenakan pakaian berbeda. Mengenakan pakaian gunung berkelas dengan harga yang terbilang tinggi. Sepertinya ia memiliki hobi baru yang tidak aku ketahui belakangan terakhir. Tetapi aku tidak perduli lagi.

Kumantapkan niatku. Kupatut wajahku dari pantulan cermin. Wajah yang sebelumnya dianggap berlian oleh seluruh warga desa. Di mana siapapun ingin memiliki ku dan begitu banyak orang datang melamar ku abaikan demi Priyo. Namun, ternyata bagi Priyo aku hanyalah sampah yang bahkan tak pantas menjadi miliknya.

Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku membuat janji akan mencari tahu apa yang mendasari perselingkuhannya.

Ku lirik sebotol air mineral di atas nakas. Ku raih, kuteguk hingga tandas demi menenangkan diri. Kemudian melangkah keluar ke arah ruang tamu. 

Netraku tidak berhenti menjelajahi seluruh keluarganya yang duduk dan ikut datang saat menatapku tajam. Nampaknya mereka sudah tahu, jika aku lebih dulu mengetahui rencana mereka. Untuk menikahkan Priyo dengan wanita lainnya sebelum pernikahan kami digelar.

Kejam. Sungguh kejam keluarga mereka. Belum pernah aku mengenal keluarga sekejam itu. Hanya karena perbedaan derajat sosial memandang manusia lain hina dan tak layak disandingkan dengan keluarga mereka.

Seharusnya mengatakan sejak dulu. Sejak awal. Maka aku tidak akan pernah menyia-nyiakan waktuku hingga terbuang percuma seperti ini. Tujuh tahun itu bukanlah waktu yang sedikit.

Seandainya saja mereka mengatakan sejak dulu tidak menginginkan aku. Dengan senang hati dan ikhlas aku pasti mundur. Mundur dari hati yang menciptakan luka hingga kapanpun. Bahkan  sampai matipun luka itu akan tetap aku ingat keberadaannya.

Fokus ku berpindah pada Priyo. Pria itu terlihat sibuk dengan benda pipih di genggamannya. Tidak sedikitpun melempar pandangan padaku. Berbanding terbalik dengan rasa cemburunya yang menggebu sebelumnya. Kini semua sirna. Tak lagi kurasa, kecuali hambar.

Didasari rasa nyeri di ulu hati, di tambah bayangan potret kebersamaannya dengan wanita lain, aku bangkit. Entah apa yang merasuki diriku, refleks tanganku meraih paksa ponsel dari genggamannya. Mata seluruh keluarga yang berada di ruangan membulat menatapku.

Biar saja. Aku tidak lagi perduli. Hanya rasa sakit yang aku rasakan saat itu. Ku buka galeri foto satu persatu. Namun, yang mencuri perhatianku file video. Kubuka perlahan. Demi meluapkan emosiku yang membuncah.

Klik ...!

Video diputar. Dan mengejutkan. Priyo sudah berhubungan badan dengan wanita lain. Menyedihkan. Menjijikkan. Dia merekam seluruh adegan ranjang dengan wanita lain yang belum menjadi istrinya.

Awalnya. Aku tidak rela melepaskan Priyo. Mengetahui dia buruk, hatiku lega. Semua berubah ikhlas. Meski ada rasa sakit yang seketika membuat dadaku sesak di hari itu.

Kuangkat tinggi ponsel miliknya, kukeraskan speaker ponselnya. Semua mata tertuju padaku. Aku tidak perduli lagi.

"Li ... hentikan! Apa-apaan ini, turunkan ponselku! Cukup, bukankah kita sudah berakhir!" sergah Priyo. Ia seakan tak rela dirinya di permalukan.

Aku tersenyum sinis menatapnya. Mataku berembun tak bisa kucegah. Begitu pula bulir bening yang seketika lolos begitu saja melewati pipi putihku.

"Apa ini?" tanyaku, dengan nada meninggi. 

Mama Priyo tersentak, refleks tangannya memegangi dadanya. Entah nyeri atau malu, aku tak lagi perduli. 

Aku berubah liar seolah menjadi gadis kejam hari itu. Ingin ku luapkan semua sakit hatiku di hari itu juga.

Masih teringat jelas. Ketika para tetangganya bertanya aku ini siapa. Ya. Aku masih mengingatnya, ketika mama Priyo mengatakan aku hanya sebatas saudari jauh Priyo yang sedang datang berkunjung, tidak lebih. Bodoh! Seharusnya aku menyadarinya sejak dulu.

Kembali ke situasi ruang tamu rumahku.

Priyo berjalan mendekati, kulihat kedua tangannya yang semula menggantung di udara ia lipat sebagai permohonan maaf.

Sementara ibuku, berteriak mengucapkan sumpah serapah tidak terima mengetahui aku diperlakukan seperti itu. 

Orang tua mana yang tega. Melihat harga diri anak gadisnya diinjak-injak. Tanpa rasa bersalah menjelang pernikahan, tiba-tiba terjadi pembatalan begitu saja.

"Aku tidak bisa memaafkan kamu! Seharusnya mengatakan semua sejak awal," ucapku.

"Benar, bagaimana keluarga kami menghadapi masyarakat sekitar! Undangan sudah terlanjur disebarkan, Lily juga terlanjur berhenti kerja, surat nikah juga rampung diurus di KUA," cerocos ibuku menimpali.

"Aku hanya bisa meminta maaf, semua terjadi begitu saja. Tadinya, aku dan keluargaku akan tetap menikahi dia secara siri, sedangkan pernikahanku denganmu tetap dilaksanakan sah secara hukum. Tetapi kamu terlanjur mengetahuinya," jelas Priyo.

Seketika situasi berubah riuh. Kedua keluarga saling berargumen satu sama lain. Aku bergeming. Meski perih kuterima. Meski pahit dan sedih kunikmati.

Priyo, pria yang dulu amat kupercaya ... tak disangka sebenarnya ia tak perduli. Ia memiliki wanita idaman lain dengan alasan aku selalu sibuk. Karena aku bukan penganut seks bebas seperti wanitanya. Dan ... alasan lainnya, karena status sosial kami tak sebanding.  Aku hanya gadis desa dengan gelar diploma, bukan sarjana. Begitu ucapan keluarganya padaku.

Setelah dua jam kami berselisih paham. Aku memutuskan untuk mengubur semuanya sebagai luka lama dalam-dalam.

Aku memantapkan hati mengusir Priyo dan keluarganya. 

Namun, masalah baru muncul setelah kepulangannya. Aku dan keluargaku memikirkan bagaimana menghadapi masalah kedepannya.

Ku raih benda berbentuk persegi milikku yang sejak tadi bertengger di atas nakas. Ku buka phone book. Ku jelajahi satu persatu nama yang tersimpan.

Fokusku terhenti pada nama 'Teguh Wicaksono'.

Iseng ceritanya. Ku kirimkan pesan jika pernikahanku dibatalkan. Dengan sederet lukaku. Tanpa di sadari aku mencurahkan segala kesedihanku padanya. Siapa sangka. Gayung bersambut.

Ia menjadi pendengar yang baik. Sikapnya yang ramah dan berwibawa membuatku nyaman. Aku tidak sedikitpun memikirkan hati dan perasaan. Niatku semata-mata ingin mencari teman dan tempat berkeluh kesah sembari memikirkan bagaimana menghadapi masyarakat sekitar nantinya.

"Li, bisa kirimkan alamat lengkap rumahmu?" tanya Pak Teguh mengejutkanku.

"Ada apa ya Pak?" Aku menimpali dengan berbalik tanya.

"Besok, aku mau main ke rumah kamu," tukasnya. 

Namun, suara pria tegas berkharismatik, dan berwibawa itu berubah parau. Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa kini perasaanku serasa tak nyaman.

— To be continued

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Memilih Menjemput Cinta   Asmara

    Napasku semakin sesak dan memburu saat menemukan sosok pria berjas hitam sedang duduk menunggu di ruang tamu.Tubuhnya terlihat tegap dan proporsional dari belakang. Dari caranya bersikap. Pria itu seperti tak asing bagiku.Aku melangkah mendekatinya. Kemudian duduk berjajar di sebuah sofa panjang di ruang tamu, setelah menoleh dan kutatap wajahnya. Aku semakin terkejut dibuatnya."Arfi—"Mulutku tercekat. Tak mampu menyelesaikan kalimat terakhirku setelah memanggil namanya. Nama yang selama ini ingin ku kubur dalam-dalam. Nama yang pernah membuatku patah hati dan hingga kini lukanya belum kering.Setelah kuingat, wajah yang sama ternyata adalah pria

  • Memilih Menjemput Cinta   Badai Apa Lagi?

    Setelah tragedi pernikahan kedua suamiku, aku memilih diam di rumah keluarga sambil menunggu proses perceraian yang ku ajukan."Aku minta cerai!" teriakanku di malam pertengkaran terakhir itu selalu terngiang di kepalaku.Suaranya terdengar mendengung ribuan kali. Entah mengapa aku sulit melupakan suamiku. Bahkan saat ini hanya menunggu putusan pengadilan.Setiap detik, setiap waktu, wajahnya, setiap keping kenangan yang kami lalui bersama seakan film yang selalu diputar berulang-ulang di benakku.Aku selalu menangis setiap kali mengingat kembali semua perlakuan kasarnya yang dulu-dulu. Tetapi terkadang juga rindu dengan kenangan indah meski itu hanya sebentar.

  • Memilih Menjemput Cinta   Ini Bukan Inginku

    Aku berusaha menghindar. Namun pria yang mengenakan jas mewah yang kini berdiri di hadapanku, dalam keadaan basah kuyup ini mencoba menenangkan aku bahwa ia bukan pria yang berbahaya dengan memegangi kedua bahuku."Jangan takut, aku hanya ingin memberikan tas milik anda yang tertinggal di mobil saya," ucapnya, sembari mengulurkan tangan menyerahkan clutch bag berwarna merah maroon yang segera kuraih."Terimakasih," ucapku dengan kepala tertunduk tak berani menatapnya.Ia tidak membalas lagi. Hanya menatapku sesaat, kemudian pergi lagi.Suasana pernikahan kembali melintas di benakku. Mengingatkan aku tentang kesedihan yang baru saja ku alami.

  • Memilih Menjemput Cinta   Aku Menyebutnya Lara

    Aku masih berteman benci, menatap sayu mata suamiku yang sedang duduk bersandar di dinding kamar sambil termangu. Aku memilih menjauh. Ketimbang duduk berjajar yang membuat dadaku terasa sesak. "Besok," ucapnya lirih memulai pembicaraan kami yang sebelumnya hening. Aku membelalakkan mata, keningku berkerut mencoba mencerna ucapannya. "Apa?" tanyaku, berpura-pura tidak memahami maksud ucapannya yang begitu singkat. "Pernikahanku dengan dia digelar," jawabnya dengan suara serak. Kini Teguh yang kukenal kejam seolah beruba

  • Memilih Menjemput Cinta   Hatiku Hancur Mendengarnya

    Lama kutatap tanpa kedip raut Pak Dimas yang masih menunggu jawabanku. Menit kemudian, kuingat ia bersitegang dengan suamiku di post satpam.Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang besar jika aku memaksa menerima tawaran supervisor di depanku ini."Pak Dimas, terimakasih banyak tawarannya. Mungkin lain waktu. Suami saya sudah menunggu di depan," jawabku kemudian, setelah mengingat Novi sebelumnya menyampaikan kabar itu sebelumnya.Dengan langkah lebar, aku bergegas melenggang pergi meninggalkan cubicle milikku.Tak butuh waktu lama. Aku sudah sampai di depan kantor tempat aku bekerja. Benar. Ku lihat suamiku mondar-mandir menunggu di depan mobilnya yang sengaja diparki

  • Memilih Menjemput Cinta   Membuatnya Cemburu

    Pagi ini aku duduk termenung menatap jemariku sendiri yang bahkan tak tersemat cincin pernikahan. Bukan karena suamiku tidak memberikan. Namun, ia telah mengambilnya dariku sejak kedatangan ayah. Mungkin ini bentuk protesnya.Aku yang jengah dengan semua sikapnya, berusaha tenang agar keadaan keluargaku baik-baik saja. Mengingat, suamiku tipe pendendam. Ia tidak segan-segan mempermalukan keluarga ku, tetapi menjaga nama baik keluarganya sendiri.Untuk menghilangkan penat. Aku berselancar di media sosial Facebook milikku. Semoga kali ini ada teman yang memang benar memiliki niat baik. Dan tidak ada keterkaitan dengan suamiku lagi.Menit setelahnya, aku berubah pikiran. Kucoba berselancar diam-diam di semua akun media sosial milik suamiku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status