Sudahlah Rimbi. Buang saja rasa penasaranmu perihal Nelly, daripada nanti kamu sakit hati. Kalau sekiranya nanti Ganesha menjawab, bahwa apapun yang ia lakukan bersama Nelly bukan urusanmu, kamu akan kelimpungan sendiri. Bukankah Ganesha telah menegaskan kalau pernikahan ini hanya pura-pura belaka?"Tidak membicarakan apa-apa, Mas. Saya hanya asal bicara saja karena ingin mengajak Mas mengobrol. Ternyata saya tidak piawai mencari topik pembicaraan yang menarik." Arimbi beringsut dari kursi. Ia berencana akan beristirahat di kamar saja. Seharian berdiri di meja kasir membuat kakinya pegal. "Duduk kembali, Rimbi." Seruan Ganesha membuat Arimbi menjatuhkan kembali bokongnya."Saya tahu kamu berbohong. Dari kalimat sepotong-sepotong yang kamu ucapkan tadi, saya menarik satu kesimpulan. Bahwa kamu ingin menanyakan tentang hubungan saya dengan Nelly." Arimbi bungkam. Apa yang dikatakan Ganesha memang benar."Sebelum saya menjawab pertanyaanmu, saya ingin bertanya satu hal padamu terlebih
"Ngapain kita mencari Mbak Nelly, Mas? Nanti dia kegirangan lagi karena mengira telah berhasil membuat kita bertengkar." Arimbi mencebikkan bibirnya. Ia ingat sekali akan nasehat ibunya. Ibunya mengatakan bahwa apabila kita diprovokasi oleh mantan pacar, maka jangan tunjukkan kalau kita panas apalagi sampai bertengkar dengan pasangan. Karena apa? Karena memang itulah tujuan mereka. Merusak kepercayaan kita pada pasangan. Dengan begitu mereka akan dengan mudah mendiktemu. "Lantas maumu apa? Sedari tadi kamu terus saja menuduh saya tanpa memberi saya kesempatan untuk membela diri. Giliran saya ingin mengajakmu menemui si biang masalah, kamu tidak bersedia. Yang bilang kalau Nelly memang sengaja membuat kita berdua ributlah. Nanti Nelly jadi kegirangan karena tujuannya memisahkan kita berdua berhasillah. Lantas maumu apa sebenarnya sih, Rimbi?" Ganesha bersedekap. Sungguh terkadang ia tidak memahami cara berpikir perempuan. Ia diam saja, dituduh macam-macam. Yang rupanya sudah tahulah
"Saya belum tidur, Mas! Tapi saya tidak berisik. Suara-suara apa yang Mas dengar dari luar? Jangan... jangan... kamar saya ada makhluk halusnya ya?" Arimbi dengan cepat membuka pintu. Ia ketakutan. Ia bahkan belum mengganti pakaian tidurnya dengan piyama yang lebih sopan. Saat ini ia hanya mengenakan celana pendek dan tank top bertali satu.Ganesha tidak langsung menjawab. Sejenak ia seperti kehilangan orientasi. Ia terpesona pada kecantikan alami Arimbi yang natural. Saat ini Arimbi tidak mengenakan kosmetik sama sekali. Istimewa Arimbi juga mengenakan pakaian tidur yang lumayan seksi. Ganesha adalah seorang laki-laki normal. Pemandangan seperti ini membuat fantasinya langsung melayang-layang. "Ehm. Suara-suara yang saya dengar bukan suara yang berasal dari ragamu. Tapi dari hatimu. Kamu membatin macam-macam tentang rencana balas dendam saya bukan?" Setelah oleng sejenak, Ganesha mampu menjawab pertanyaan ngeri Arimbi."Iya, Mas. Saya bingung. Anu... bagaimana mengatakannya ya?" Mas
Arimbi meringis saat Ganesha membuangnya ke atas ranjang begitu saja. Ganesha ini tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Walaupun kemesraan ini hanya pura-pura, setidaknya jangan setidakberperasaan itu juga. Penampakan sih, panas-panas membara. Tapi kenyataannya malah pegal-pegal patah. "Tugas saya sudah selesai sekarang. Silakan kembali ke kamarmu. Saya mau beristirahat." Setelah melentik bangun dari ranjang, Ganesha berkacak pinggang. Gayanya menyerupai seorang tuan tanah yang tengah mengusir penduduk yang tidak mampu membayar sewa lahan. "Santai, Mas. Saya juga tidak kepingin lama-lama di sini." Arimbi berguling dan ikut bangkit dari ranjang. Melihat sikap seenak perut Ganesha, ia sekarang paham mengapa Menik meminta putus. Perempuan mana yang tahan setiap saat diketusi alih-alih disayangi."Baguslah," imbuh Ganesha singkat. Arimbi tidak menanggapi kalimat Ganesha. Daripada sakit hati sendiri lebih baik ia meninggalkan manusia songong ini sendirian. Ganesha menyingkir kala Ar
Semakin ke sini Arimbi kian mengenali pribadi Ganesha. Satu yang paling Arimbi perhatikan adalah Ganesha tidak pernah lari dari apapun. Walau terkesan dingin dan datar, tapi Ganesha menghadapi semua masalahnya dengan kesatria. Ganesha tidak pernah berkelit ke sana ke mari seperti Seno. Arimbi mengapresiasi karakter Ganesha yang satu ini.Sebenarnya Arimbi ingin sekali membaca pesan-pesan di ponselnya. Ia penasaran setengah mati. Namun di sisi lain, ia juga takut mentalnya tidak kuat membaca reaksi dari para netizen. Sejurus kemudian Arimbi duduk di ranjangnya. Ia memutuskan akan membaca pesan yang masuk daripada ia tidak bisa tidur karena penasaran."Tarik napas... buang napas. Tenang Arimbi. Baca saja pelan-pelan. Belajarlah menghadapi keadaan. Orang boleh mengatakan apapun. Tapi kamu juga berhak tidak mendengarkan mereka." Arimbi menyemangati dirinya sendiri. Selanjutnya Arimbi meraih ponsel di samping ranjang. Menarik napas panjang dua kali dan mulai membuka ponselnya. Dugaannya b
Setelah memberi struk dan kembalian pada customer, Arimbi berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Masih pukul 14.30 WIB. Ada kurun waktu setengah jam lagi sebelum shiftnya berakhir. Itu artinya pertemuannya dengan Menik harus menunggu sekitar setengah jam lagi. Padahal Arimbi sudah sangat kangen pada Menik. Sahabatnya itu dimutasi ke Surabaya hampir setahun lamanya. Tepatnya setelah Menik putus dengan Ganesha. Bukan hanya Menik yang penasaran ingin mengetahui kehidupannya. Arimbi pun demikian. Setahun telah berlalu. Bisa saja saat ini Menik telah mempunyai gebetan baru. "Kamu kenapa sih, Rimbi? Sudah tidak sabar ingin bertemu suami?" Lita yang akan menggantikan shift Arimbi menggoda rekannya. Ia melihat rekannya ini gelisah karena bolak balik memelototi jam. Setelah menyaksikan penampakan Ganesha, suami Arimbi, Lita maklum. Wajar kalau Arimbi ingin cepat pulang. Laki-laki menawan lahir batin seperti Ganesha itu memang rugi kalau diangguri. "Nggak, Ta. Aku akan bertemu te
"Aku jalan dulu ya, Ta? Selamat bekerja. Ayo, Sen?" Arimbi berpamitan pada Lita seraya mengode Seno agar mengikutinya. Lita yang sedang menghitung belajaan customer mengacungkan jempolnya. Banyak customer yang sedang antri.Arimbi memang berupaya membawa Seno menjauh. Ia tidak ingin ada telinga lain yang ikut mendengar kalau Seno mengoceh-ngoceh. Satu hal yang membuat Arimbi kesal adalah Seno tidak mau bekerjasama. Seno sengaja membuatnya kelimpungan dengan memperlihatkan air muka membangkang."Kamu ke sini Mbak Nina tahu tidak?" Arimbi melancarkan ancaman terselubung. Memangnya cuma Seno yang bisa melakukan perang urat syaraf dengannya?Seno tidak menjawab. Namun sinar matanya menguarkan aura kekesalan. Arimbi telah memegang kartu As-nya. Sialan!"Oh kayaknya belum tahu ya? Baiklah." Arimbi merogoh tas slempangnya. Ia mengeluarkan ponsel."Baik! Kita bicara di luar. Kamu tidak perlu mengancam Mas dengan menelepon Nina." Seno menggeram kesal. Ia segera mengekori langkah Arimbi yang le
"Banyak sekali pertanyaan yang ada di kepalaku, Rim. Sampai-sampai aku bingung. Pertanyaan yang mana dulu yang harus aku tanyakan padamu." Menik menghempaskan pinggulnya pada kursi Sunday to Monday kafe. Kafe ini adalah kafe langganan mereka sejak SMA. Sampai sekarang tiada perubahan yang berarti di kafe ini. Kecuali bangunannya yang tambah modern dan juga ketersediaan wifi untuk pengunjung. Pak Barus, sang pemilik kafe ternyata cukup piawai mengikuti perkembangan zaman."Ya, apa yang terlintas di kepalamu saja. Tenang, bertanya apapun padaku tidak perlu bayar kok." Arimbi ikut duduk di hadapan Menik. Tas slempangnya ia letakkan di kursi sampingnya. Dengan begitu ia akan lebih leluasa mengobrol. Pengalamannya mengobrol dengan Menik itu tidak pernah sebentar. Istimewa mereka tidak berjumpa cukup lama. Akan banyak cerita dan gossip-gossip terbaru yang sudah ada di ujung lidah masing-masing. "Baik. Kita pesan minuman dulu. Setelahnya kita akan berbincang sampai mulut kita berbusa." Men