Ketika membuka kotak obat, Amber tertegun. Foto seorang wanita berambut merah dengan gaun putih telah menyita perhatiannya. “Hm? Foto siapa ini?” Dengan mata bulat, Amber memeriksa bagian belakang kertas foto. Sayangnya, tidak ada tulisan di sana. “Kenapa Beruang Gila itu menyimpannya di kotak obat? Apakah sakitnya bisa hilang hanya dengan melihat foto ini?” Setelah mengamati beberapa saat, Amber mulai mengangguk-angguk. “Ini pasti perempuan yang dia cintai. Pantas saja Beruang Gila itu membenciku. Aku sangat bertolak belakang dengan perempuan lemah lembut yang anggun ini.” Ketika hendak mengembalikan foto itu, sang wanita terkesiap. Dengan mata yang bergetar hebat, ia mengamati potret laki-laki yang menggendong seorang bayi. “B-bukankah ... ini Adam Smith?” Dengan tangan yang terluka, Amber mendekatkan foto itu ke matanya. Namun, belum sempat ia berkedip, Tuan Dingin tiba-tiba mencengkeram lengannya. “Berani-beraninya kau membongkar barang pribadiku?” hardik pria dengan napas
Amber terbangun ketika seseorang menendang kakinya. Sambil mengerang, ia meregangkan otot-ototnya yang pegal. Namun, begitu melihat Tuan Dingin berdiri dengan sekop di tangan, wanita itu spontan beranjak. Dengan mata bulat, ia bertanya, “Kenapa kau membawa alat itu?” “Ini bukan waktunya bersantai. Sekarang juga, bersihkan tumpukan salju yang menghalangi jalan,” tutur Adam sambil menjatuhkan sekop. Dengan sigap, sang wanita menangkapnya. “Jalan mana?” “Semua jalan di sekitar rumahku, termasuk jalur untuk mobil dan jalan menuju kolam. Aku mau berjalan tanpa halangan,” sahut sang pria, lantang. Alis sang wanita sontak berkerut. “Baiklah, tidak perlu berteriak sekencang itu. Akan kulakukan setelah sarapan.” “Siapa bilang kau boleh sarapan? Kau tidak akan mendapat makanan sebelum selesai bekerja. Hanya air minum yang boleh kau masukkan ke mulutmu.” Sembari menggertakkan geraham, Amber mempertajam tatapan. “Aku ini pelayan di rumah ini, bukan budak. Kenapa kau melarangku makan?” “Tida
“Orang-orang berkata kalau aku telah merebut Max dari Gaby. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu,” tutur Amber sebelum mendesah samar. “Aku yang lebih dulu mengenal Max, aku yang lebih dulu menyukainya, dan aku juga yang lebih dulu dekat dengannya.” “Apakah kalian dulu berpacaran?” tanya Adam, terdengar penuh simpati. Sambil tersenyum miris, sang wanita menggeleng. “Tidak. Karena itulah, aku sangat marah ketika Gaby datang. Bagaimana mungkin dia bisa langsung mendapatkan Max, sedangkan aku yang sudah bertahun-tahun mengejarnya tidak pernah diberi kesempatan?” “Kau berpikir kalau Gaby telah merebut Max darimu?” simpul Adam seraya melirik. Sekali lagi, Amber menggeleng. “Entahlah. Max tidak pernah menjadi milikku. Aku tidak bisa mengklaim kalau Gaby sudah merebutnya. Hanya saja, aku tidak terima kalau kesempatanku lenyap. Waktu itu, aku menolak percaya kalau mereka sudah menikah.” “Lalu kau berusaha merebut laki-laki itu dari istrinya?” Nada bicara Adam kembali terdengar mengha
“Lepaskan!” pekik Amber saat mendapat kesempatan bernapas. Namun, sedetik kemudian, mulutnya kembali dibungkam. Wajahnya sampai memerah karena gelagapan. Sadar bahwa Amber belum sempat mengumpulkan oksigen, Adam pun turun ke leher sang wanita. “Berhentilah!” teriak Amber di sela desah napas. “Ini pelecehan! Aku akan menuntutmu kalau kau—” Lagi-lagi, sang pria menargetkan bibirnya. Dengan sisa tenaga yang tak seberapa, Amber tak mampu melawan. Sekuat apa pun ia mendorong, pundak di atasnya tidak juga menjauh. Adam terus mengambil kenikmatan dari bibirnya. Kelelahan, sang wanita akhirnya berhenti meronta. Sambil mengerutkan alis, ia memejamkan mata rapat-rapat. Hatinya panas terbakar kecewa dan marah. “Kenapa Beruang Gila ini selalu menyiksaku? Tidak bisakah dia memperlakukanku dengan layak?” batin Amber sembari menelan kepedihan. Menyadari kepasrahan sang wanita, Adam pun menghentikan aksinya. Seraya mengatur napas, ia memperhatikan air mata yang membasahi pelipis Amber. “Ck, aku
“Aku berdebar karena sentuhannya?” batin Adam sambil berkedip tegas. Pria itu sama sekali tidak bergerak. Ia terlalu sibuk memikirkan keajaiban yang terjadi pada dirinya. Melihat keanehan Tuan Dingin, Amber bertambah bingung. Sembari mengabaikan perasaan ngeri, ia bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba, Adam menarik sebelah tangan Amber untuk diletakkan di pipinya. Menyaksikan kelakuan pria itu, sang wanita semakin terbelalak. “Apa yang kau lakukan?” Tanpa memberikan jawaban, si Beruang Gila memindahkan tangan Amber ke atas kepala, pundak, lalu kembali ke dada. Setiap kali sang wanita menyentuhnya, hatinya tergelitik. “Ada apa dengan tangan ini?” “Ada apa dengan tanganku?” balas Amber seraya melihat ke arah yang sama—telapaknya. Tiba-tiba, Adam mendorong sang wanita sehingga mereka kembali rata dengan sofa. Sambil menunggu debar dalam dada, pria itu memiringkan kepala. “Kenapa sekarang malah hilang?” desahnya sebelum berpikir lebih keras. Risih dengan kedekatan mereka, A
“Mana Beruang Gila itu?” gumam Amber saat mendapati Tuan Dingin tidak lagi berada di balik punggungnya. Sambil mengernyitkan wajah, ia beranjak duduk. “Astaga! Ini sudah pukul 11? Aku tidur lebih dari 12 jam?” desah perempuan itu saat melihat penunjuk waktu di dinding. Seraya berkedip-kedip tak percaya, ia bergegas melipat selimut. “Ini gawat! Beruang Gila itu pasti akan memarahiku.” Secepat kilat, Amber bangkit dari sofa. Tepat pada saat itulah, matanya tertuju pada secarik kertas lusuh di atas meja. “Apa ini?” Dengan alis terangkat tinggi, wanita itu membaca pesan yang tertulis. “Aku sudah menunggumu sejak pagi, tapi kau tidak bangun-bangun. Jadi, aku terpaksa berangkat sendiri ke kota besar.” “Dia pergi menemui Adam Smith tanpa mengajakku?” seru Amber dengan mata lebar. “Ah, aku seharusnya bangun lebih awal.” Sembari meringis, ia meneruskan bacaan. “Tapi kau tidak perlu cemas. Aku akan membawakan idolamu itu ke hadapanmu. Jadi bersiaplah! Pakaianmu ada di atas tempat tidur,
"Sekarang, apakah kau puas? Kau sudah melihat betapa menderitanya perempuan yang kau benci ini. Sudah cukupkah hukuman yang kuterima?" Amber mengepalkan tangan, berusaha menghentikan tangis. Akan tetapi, air matanya terus mendesak keluar. Mendengar suara lirih wanita itu, dada Adam bertambah sesak. Setelah menarik napas berat, ia akhirnya memecah hening. "Di sini dingin. Sebaiknya kita bicara baik-baik di dalam." "Kau kira aku sudi menginjak rumahmu lagi?" Sang wanita tertawa datar sejenak. "Jangan bodoh, Tuan Smith. Pondokmu adalah tempat terburuk di muka bumi. Aku sangat menyesal pernah tinggal di sini." Tanpa basa-basi, Amber berjalan melewati pundak sang pria. Spontan saja, Adam menahan lengannya. "Kau tidak perlu pergi. Aku sudah bertekad untuk tidak bersikap kasar lagi." Sorot mata Amber otomatis menajam, sementara sudut bibirnya berkedut jijik. "Simpan omong kosong itu untuk dirimu sendiri! Kau membuatku semakin muak!" Sebelum wanita itu menepis tangannya, Adam memajukan k
"Tidak!" Amber menghindar dari mulut botol. "Jangan meracuniku!" "Tenang, Nona. Ini tidak akan mengantarmu ke neraka. Kau malah akan merasakan surga dunia," bisik sang pria sebelum mencengkeram dagu korbannya lebih kuat. Ketika air berhasil masuk ke mulut, Amber dengan sigap menyemburnya. Melihat perempuan itu masih sanggup melawan, sang pria mulai menggeram. "Minum!" Namun, setiap kali ia mengangkat dasar botol, Amber selalu berhasil menumpahkan air yang dituang. Merasa kesal, laki-laki itu akhirnya melayangkan tamparan keras. Seketika, sang wanita tertunduk dengan alis berkerut dan mata terpejam. Rasa pusing yang hebat telah mengguncang kepalanya. "Seharusnya kau menurut sejak tadi! Minum!" Dalam kondisi setengah sadar, Amber menuruti paksaan. Meski sempat terbatuk-batuk, ia terus dicekoki hingga tidak ada air yang tersisa. Para penjamah semakin bersemangat melihatnya. Mereka tertawa puas selagi membayangkan malam yang membara. "Bagus, Nona," ujar si pemimpin gerombolan sebe