LOGINKeinarra berdiri di depan cermin kamar mandi, mengeringkan rambut dengan handuk sambil menghela napas panjang. Matanya masih sedikit bengkak, tapi kulitnya memerah karena mandi air hangat—tanda dia berusaha memulihkan mood-nya.Begitu pintu kamar mandi terbuka, aroma sabun mawar dan udara lembap ikut keluar bersamanya.Pandangan Keinarra menangkap sosok Reyhan yang duduk di sofa dekat tempat tidur, kancing teratas sudah terlepas, kemeja putihnya sedikit kusut—tapi dia masih tampak seperti CEO di majalah bisnis. Sayangnya, mood Keinarra masih level PMS x dendam x kecewa.Dan sialnya, Reyhan malah senyum kecil ketika melihatnya.Keinarra mendecak.“Mas, kenapa masih di sini? Harusnya Mas pulang.” Reyhan mengangkat alis. “Kenapa? Pulang ke mana?”Pertanyaan itu menyebalkan sekali.“Soalnya ganggu perasaanku. Aku belum selesai marah … sana pulang ke Penthouse Mas.”Reyhan menahan tawa. “Ya udah marah aja, aku liatin.”Keinarra mendengkus sebal, dia masuk ke dalam walk in close
Keinarra menoleh ke belakang, Reyhan berjalan santai mengikutinya padahal langkah dia sudah cepat dan kewalahan tapi pria itu tampak tenang bahkan bisa memberikan senyumnya.“Mau sampai kapan kamu ngikutin aku naik MRT?” tanya Keinarra ketus tanpa melihat ke belakang.“Sampai kamu mau ikut aku pulang naik mobil.” Reyhan menjawab.Jam pulang kerja cukup padat dan Reyhan menjadi pelindung Keinarra dari belakang, layaknya bodyguard tanpa ada satu pun penumpang yang tahu kalau pria bertubuh atletis dengan kemeja putih di gulung hingga lengan dan celana kain hitam itu adalah Presiden Direktur MHN Grup.Saat kereta datang, semua bersiap mengambil ancang-ancang dan saling dorong begitu pintu lift terbuka.Dengan sigap, Reyhan melingkarkan kedua tangan di tubuh Keinarra dari belakang.Keinarra yang risih pun tidak menolak.Setelah itu Reyhan menggenggam tangan Keinarra, menuntunnya melewati setiap gerbong, mencari tempat duduk tapi tidak mereka temukan.Terpaksa keduanya harus berdir
Keinarra kembali dari jam makan siang tepat waktu tapi semua penghuni lantai sudah duduk di tempatnya.Beberapa karyawan melirik penuh rasa ingin tahu kepada Keinarra.Bagi Keinarra, suasana terasa tegang selama beberapa detik—hingga suara Naya memecah hening.“Kei…,” bisik gadis itu sambil menatap Keinarra yang baru saja kembali duduk di kubikelnya. “Tadi itu, seriusan … pak Reyhan nyamperin kamu buat ngajak makan siang?”Keinarra menatap layar laptop, pura-pura sibuk. “Dia cuma Presdir. Mungkin kebetulan aja dia lagi inspeksi ke divisi ini.”Naya memajukan wajah, menatap Keinarra dengan ekspresi menyelidik.“Inspeksi kok ngajak kamu makan siang?”Keinarra menahan napas, kemudian menjawab pelan, “Mungkin dia cuma … ramah sama intern.”“Ramah?” Naya mencondongkan tubuh. “Kei, aku udah kerja di MHN Group tiga tahun, dan selama itu enggak pernah ada Presdir ngajak intern makan siang berdua aja.”Keinarra menggigit bibir bawahnya, enggan men
Akhirnya Keinarra duduk di kursi ruang pemeriksaan tapi dengan wajah masam, sementara Reyhan berdiri bersedekap di samping meja dokter, seperti bodyguard yang setia dan overprotective.Dokter perempuan paruh baya dengan name tag bertuliskan Dr. Sinta, Sp.OG menatap hasil pemeriksaan di tangannya.“Baik, Ibu Keinarra…,” katanya lembut. “Tidak ada hal serius. Ini hanya kram perut akibat kontraksi ringan pada rahim di hari pertama menstruasi. Sangat normal, apalagi jika disertai stres dan kelelahan.”Keinarra mengangguk, senyum tipisnya lebih banyak dipaksakan.“Jadi sebenarnya enggak perlu pemeriksaan ke dokter spesialis apalagi rawat inap ‘kan, ya, Dok?”Dr. Sinta menatap sekilas ke arah Reyhan, lalu tersenyum samar. “Ya … kalau saja suami Ibu tidak sekhawatir ini, kram di perut normal terjadi.”Reyhan menegakkan tubuh, seolah baru disorot lampu spotlight.“Dok, saya cuma ingin memastikan dia enggak kenapa-kenapa,” katanya dengan nada terlalu serius
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai gorden Penthouse lantai tujuh tapi tidak dengan lembut seperti biasanya. Sinarnya terasa menusuk mata Keinarra.Dia menggeliat malas di tempat tidur, meraih ponsel di nakas, dan baru menyadari jam digital menunjukkan pukul 07.32.“Ya Tuhan…,” gumamnya dengan suara serak. “Kesiangan.”Namun belum sempat beranjak, sesuatu yang lengket dan hangat terasa di antara kedua pahanya. Keinarra menoleh ke bawah dan mendapati noda merah menyebar di sprei linen putih yang melapisi kasur.“Ya ampun…,” desisnya frustrasi. “Bener kata mas Reyhan, ternyata kemarin itu aku lagi PMS, pantesan kok emsional banget.” Keinarra mengesah.Dia bangkit tergesa, berjalan setengah pincang menuju kamar mandi.Setelah membersihkan diri, Keinarra menatap wajahnya di cermin—pucat, kantung mata menghitam, dan rambut berantakan seperti habis perang dunia.Mood-nya langsung jatuh ke titik nol.“Baru bangun aja udah drama,” gumamnya getir
Mall tempat mereka menonton ramai oleh pasangan muda dan keluarga kecil.Widhy sedang membeli popcorn rasa karamel dan dua gelas cola besar, sementara Keinarra menunggu di depan pintu teater.Sweater rajut pink dengan pita besar di dada dan rok putih model balon yang panjangnya hanya sampai di atas lutut serta kitten heels membuat Keinarra tampak girly.“Ayo Kei,” kata Widhy.Mereka masuk ke dalam bioskop.Filmnya dimulai dengan kisah dua orang yang berpisah karena kesalahpahaman dan mencoba memperbaiki hubungan setelah bertahun-tahun.Setiap adegan terasa seperti tamparan lembut di hati Keinarra.Ketika pemeran utama pria berkata,“Aku bukan ingin menebus masa lalu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku enggak pernah berhenti mencintaimu.”Keinarra spontan menghela napas panjang.Matanya terasa panas.Widhy menatapnya dari samping sambil menahan tawa kecil.“Duh, kamu jadi sensitif banget, Kei,” bisiknya.“Filmnya aja yang lebay.” “Filmnya atau hidup kamu?” goda Widhy.Keinar







