LOGINAku menjual tubuhku demi menyelamatkan ayah tiriku yang sekarat. Tapi aku tidak tahu, pria yang membeliku… Adalah putra dari wanita yang pernah melahirkanku, lalu membuangku tanpa penjelasan. Satu tahun. Satu kontrak. Satu syarat: jangan pernah tahu siapa dia. Malam demi malam, aku menyerahkan diriku kepada pria bertopeng yang hanya kupanggil “Tuan R.” Hingga suatu malam, aku melihatnya tanpa topeng—di sebuah pesta gala mewah. Reyhan Mahendra. Pewaris tunggal konglomerat MHN Group. Mata yang sama. Sentuhan yang sama. Nafas yang sama. Tapi yang paling mengerikan adalah kenyataan bahwa… aku mungkin sudah jatuh cinta pada pria yang seharusnya kupanggil saudara. Apakah semua ini hanya permainan balas dendam atas masa lalu orang tua kami? Tapi jika benar begitu… kenapa dia berkata: “Kalau kau tahu siapa aku sejak awal… kau tak akan pernah mencintaiku.”
View MoreKeinarra Athaletta, gadis Cantik yang masih duduk di bangku kuliah semester enam itu tertegun di depan layar komputer di perpustakaan kampusnya.
Sebuah email masuk dengan nama anonim99 berisi sebuah iklan. Bukan iklan biasa, tapi iklan penawaran sebagai istri kontrak selama satu tahun dengan banyak syarat yang menyertai. Tidak boleh mencari tahu siapa calon suami, tidak boleh banyak bicara, tidak boleh banyak bertanya, tidak boleh jatuh cinta dan masih banyak lagi tidak boleh yang membuat bibir Kei-sapaan gadis bermata bulat itu terangkat sedikit. “Apaan sih, enggak jelas banget iklan tuh ….” Dia bergumam. Mengeratkan sweater lusuhnya karena di luar hujan tidak mereda sejak pagi. Meski begitu, jemari Keinarra tidak berhenti scroll mouse dalam lingkupan telapak tangannya hingga dia menemukan sebuah angka fantastis yang membuat bibirnya kini bukan hanya terangkat sedikit melainkan terbuka lebar sama seperti mata bulatnya yang terbelalak melihat jumlah yang besar tersebut. 5 Milyar, adalah angka yang bagi gadis miskin seperti Keinarra merupakan angka yang luar biasa karena dia bisa membayar hutang biaya berobat dan tunggakan rawat inap ayah tirinya serta tunggakan uang kuliah, bahkan mungkin Keinarra bisa hidup enak dan nyaman menggunakan uang itu, tidak perlu kelaparan dan tinggal di kossan kumuh yang dihuni oleh preman dan pemulung. “Ini pasti prank ….” Keinarra menolak percaya. Dia hendak keluar dari layar tersebut namun sebuah nomor ponsel yang tertera dengan warna merah mengurungkan niatnya. Keinarra membaca setiap angkanya, terasa nyata dan bayangan akan hidup nyaman serta tidak dikejar hutang kembali menari dalam benak gadis itu. Keinarra memejamkan mata, menarik nafas dalam lalu mencatat nomor tersebut di ponselnya. Dia melirik arloji di pergelangan tangan lalu bergegas mematikan layar komputer. Selanjutnya langkah Keinarra menggema di ruang perpustakaan yang sepi, dia hampir terlambat masuk kelas berikutnya. “Kei!” seru Widhy-sahabatnya dari tengah-tengah ruang kelas membuat sang dosen dan seluruh isi kelas menoleh ke pintu. “Masuk! Kamu beruntung karena saya baru datang.” Sang dosen berujar ketus. “Maaf Pak … tadi keasyikan ngerjain tugas di Perpus.” Keinarra menyengir memperlihatkan dua gigi kelincinya. Sang dosen paruh baya berkepala botak itu mendelik sebagai respon. Lalu Keinarra melangkah ke kursinya di samping Widhy dengan diiringi teriakan, “Huuuuuu ….” Dari teman sekelasnya. Keinarra memberikan senyum manisnya lalu duduk dan mengeluarkan buku. “Kamu ngerjain apa sih di Perpus?” tanya Widhy berbisik. “Baca buku, enggak ngerjain tugas …,” jawab Keinarra berdusta karena sebenarnya dia menghindar dari ajakan makan siang dari Widhy tadi. Tabungan Keinarra semakin menipis jadi dia harus mengirit. Widhy berdecak lidah kesal. “Padahal aku mau traktir kamu, aku baru dapet kiriman duit dari tanteku yang di Jerman.” “Lain kali,” kata Keinarra yang tahu kalau Widhy sedang berbohong. Widhy mengetahui segala permasalahan hidup Keinarra yang sebagian besar menyangkut uang jadi Widhy sering kali mentraktir Keinarra atau membantu meminjamkannya uang untuk kebutuhan hidup atau membeli obat ayah tirinya Keinarra sampai bayar uang kuliah. Dan Keinarra sudah tidak mau merepotkan sahabatnya itu lagi. Usai perkuliahan selesai, Keinarra bergegas merapihkan bukunya. “Mau ke mana lagi sih Kei? Kita ngafe dulu yuk, temenin aku.” Widhy bertanya sambil santai-santaian memasukan barang-barangnya. “Aku mau ke rumah sakit … tadi perawat ayah kirim chat.” “Hah? Kenapa? Ayah kamu bangun dari koma?” Widhy bangkit dari kursi menatap Keinarra serius. Keinarra menggelengkan kepala, dia tahu kalau sang perawat memintanya datang ke rumah sakit pasti untuk bertemu dengan bagian keuangan. “Aku antar,” kata Widhy. “Eh jangan … jauh, nanti aja aku kabarin.” Keinarra tersenyum, mengecup pipi Widhy sekilas kemudian pergi dengan langkah cepat setengah berlari. “Keinarra!” Suara Bu Abeka membuat langkah Keinarra terhenti di lorong. Tapi hanya terhenti tanpa berniat berbalik bahkan kalau bisa dia lari sekarang juga. “Kenapa kamu enggak datang ke ruangan saya?” tanya bu Abeka dari arah belakang kemudian langkahnya berhenti di depan Keinarra. Keinarra menyengir lucu. “Karena saya tahu Ibu mau nagih uang semesteran, uangnya lagi saya usahakan Bu.” Bu Abeka menatap kesal. “Dengar Kei, kamu enggak akan bisa membayar tunggakan biaya kuliah kalau hanya bekerja di mini market ….” Keinarra mengembuskan nafas panjang. “Saya akan usahakan Bu, kasih saya waktu sebulan.” “Saya enggak mau percaya sama janji kamu, saya sarankan kamu ambil cuti, kamu enggak usah lanjut semester tujuh, kamu cuti dan cari pekerjaan yang bener untuk bayar tunggakan setelah itu baru lanjut.” Bu Abeka memberi saran dengan suara lembut. “Baik Bu,” kata Keinarra sambil tersenyum lalu pergi. Dia melewati tubuh bu Abeka seraya membungkuk setelah itu punggungnya menegak bersamaan dengan jatuh beberapa bulir air mata ke pipi. Tinggal dua semester lagi, sayang sekali kalau Keinarra ambil cuti. Dan meskipun dia ambil cuti lalu mencari pekerjaan, belum tentu bisa membayar tunggakan kuliah dan biaya rumah sakit ayah. “Tuhan … Kei lelah sama semua ini, apa yang harus Kei lakukan?” Dia melirih dengan kepala tertunduk dalam. *** Ruang kerja di gedung pencakar langit lantai 19 itu tampak terang benderang bermandikan cahaya matahari sore yang cukup terik usai hujan sejak pagi tadi. Reyhan Mahendra, pria berusia dua puluh delapan tahun itu tengah berkutat dengan MacBooknya. Meski dia calon pewaris tunggal MHN Group tapi tidak membuatnya malas-malasan dalam menjalankan perusahaan. Pria dengan tubuh atletis dan berparas tampan bak dewa Yunani terkenal sangat ambisius ingin membesarkan MHN Group hingga ke Negri Eropa sana. Tok … Tok … Suara pintu diketuk disusul sosok cantik dibalut stelan blazer dan rok span yang super seksi masuk ke dalam ruangan. “Sore Pak …,” sapanya dengan suara menggoda. “Sore.” Tapi Reyhan membalas dingin dan datar seperti biasa. “Bapak … ini sudah Lisa urutkan laporan yang Bapak minta, terus pak Handoko sedang dinas ke Luar Kota jadi enggak apa-apa biar Lisa temenin Bapak ke acara nanti malam.” Reyhan mengangkat pandangannya. “Saya enggak akan datang, kalau begitu kamu datang dan catat setiap detail penting yang disampaikan sama pak Wali Kota.” Deg. Wajah Lisa langsung memucat. Sedangkan Reyhan, kini sudah fokus dengan data yang diberikan Lisa barusan. “Em … Ba … baik, Pak.” Lisa meringis, dia menyesal menawarkan diri karena sebenarnya malas sekali hadir di acara membosankan itu jika tidak dengan si bos tampan. “Sore, Pak.” Suara lain terdengar dari arah pintu. “Sore,” kata Reyhan sembari mengendikan dagu meminta pria itu masuk. “Lisa … kamu keluar dulu,” kata Argo, sekretaris merangkap orang kepercayaan Reyhan. Lisa mendelik kepada Argo kemudian pergi menghentakan heelsnya membuat bokong sintal itu bergerak sensual. Argo mengembuskan nafas panjang lalu kembali ke pintu karena Lisa tidak menutupnya dengan benar. “Ada kabar baik?” tanya Reyhan, meski suaranya dan ekspresi wajahnya datar namun Argo bisa melihat sorot mata bosnya itu tampak penasaran. “Email yang kami kirim sudah terbaca oleh nona Keinarra menggunakan komputer kampus ….” Argo menjeda. “Lalu?” kejar Reyhan penasaran. Argo menggelengkan kepala. “Tapi saya sudah pastikan kalau nona Keinarra sangat membutuhkan uang saat ini … biaya berobat ayah tirinya, uang kuliah dan kontrakan kumuhnya belum dibayar … sementara dia selalu berada di perpus setiap siang, tidak pernah terlihat di kantin.” Argo menyampaikan detail. “Baiklah … kita tunggu sampai besok, kalau dia masih belum menghubungi … Kamu datang ke rumah sakit dan kampusnya memaksa mereka menekan perempuan itu agar membayar tunggakan,” ujar Reyhan dingin. “Baik, Tuan ….” Argo membungkuk kemudian undur diri dari ruangan itu. Sepeninggalan Argo, Reyhan menautkan jemarinya dengan menumpu kedua sikut di atas meja, tatapan mata elangnya terarah keluar jendela, ada dendam di sana yang menunggu untuk dilampiaskan.Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai gorden Penthouse lantai tujuh tapi tidak dengan lembut seperti biasanya. Sinarnya terasa menusuk mata Keinarra.Dia menggeliat malas di tempat tidur, meraih ponsel di nakas, dan baru menyadari jam digital menunjukkan pukul 07.32.“Ya Tuhan…,” gumamnya dengan suara serak. “Kesiangan.”Namun belum sempat beranjak, sesuatu yang lengket dan hangat terasa di antara kedua pahanya. Keinarra menoleh ke bawah dan mendapati noda merah menyebar di sprei linen putih yang melapisi kasur.“Ya ampun…,” desisnya frustrasi. “Bener kata mas Reyhan, ternyata kemarin itu aku lagi PMS, pantesan kok emsional banget.” Keinarra mengesah.Dia bangkit tergesa, berjalan setengah pincang menuju kamar mandi.Setelah membersihkan diri, Keinarra menatap wajahnya di cermin—pucat, kantung mata menghitam, dan rambut berantakan seperti habis perang dunia.Mood-nya langsung jatuh ke titik nol.“Baru bangun aja udah drama,” gumamnya getir
Mall tempat mereka menonton ramai oleh pasangan muda dan keluarga kecil.Widhy sedang membeli popcorn rasa karamel dan dua gelas cola besar, sementara Keinarra menunggu di depan pintu teater.Sweater rajut pink dengan pita besar di dada dan rok putih model balon yang panjangnya hanya sampai di atas lutut serta kitten heels membuat Keinarra tampak girly.“Ayo Kei,” kata Widhy.Mereka masuk ke dalam bioskop.Filmnya dimulai dengan kisah dua orang yang berpisah karena kesalahpahaman dan mencoba memperbaiki hubungan setelah bertahun-tahun.Setiap adegan terasa seperti tamparan lembut di hati Keinarra.Ketika pemeran utama pria berkata,“Aku bukan ingin menebus masa lalu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku enggak pernah berhenti mencintaimu.”Keinarra spontan menghela napas panjang.Matanya terasa panas.Widhy menatapnya dari samping sambil menahan tawa kecil.“Duh, kamu jadi sensitif banget, Kei,” bisiknya.“Filmnya aja yang lebay.” “Filmnya atau hidup kamu?” goda Widhy.Keinar
Kalau tidak salah, Keinarra pernah melihat ada kolam renang di Penthouse ini.Jadi dia memakai baju renangnya dan pergi ke area kolam renang.Banyak orang memenuhi area tersebut padahal hari masih pagi, mungkin karena weekend.Ada keluarga-ayah ibu bersama anak-anaknya, ada yang hanya sendiri, dan juga ada pasangan yang sangat mesra tapi prianya tampak jauh lebih tua dari wanitanya.Keinarra menyimpan handuk di daybed dan mulai berenang dari ujung kolam ke ujung lainnya.Kesegaran segera saja dia rasakan.Kadang Keinarra berpikir untuk pergi saja dari Penthouse ini dan mengembalikan semua uang Reyhan tapi bagaimana dia akan hidup?Dan Reyhan pasti menyeretnya kembali ke sini.Setelah setengah jam bolak balik tanpa henti. Keinarra hendak naik ke darat.Tapi berhubung tangganya jauh jadi memaksakan diri naik dengan menekan tangannya pada permukaan sisi kolam.Sekali dua kali dia mencoba ternyata sulit namun ketika dia mencoba yang ketiga, ada tangan besar mendorong bokongnya d
“Kei, kamu harus traktiran!” seru Naya begitu mereka keluar dari ruang rapat.Nada suaranya setengah berbisik, setengah memaksa.Keinarra tertawa kecil sambil merapikan map presentasinya. “Traktir? Aku bahkan masih intern, Kak Nay.”“Justru itu! Intern paling keren di MHN Group. Presentasimu tadi bikin semua orang diem. Bahkan pak Adrian sampai senyum terus dari awal sampai akhir.”Keinarra menggeleng, menatap layar ponselnya sekilas.Entah pesan dari siapa yang dia tunggu.Tidak ada pesan baru dari siapapun, dan juga kenapa justru itu yang membuat hatinya mencelos seketika.Mungkin Keinarra berharap Reyhan mengirimnya pesan, memberinya selamat dan semangat seperti tadi di ruangan rapat tapi lebih personal.“Ya udah deh, aku traktir tapi jangan resto yang mahal ya,” kata Keinarra. Meski di tabungannya masih bermilyar-milyar—karena Reyhan menepati janji dengan mentransfer jumlah yang tertera di kontrak setelah memutuskan untuk membatalkan kontr
Keinarra berdiri di depan lift lantai lima puluh satu yang pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya.Sebelum menarik langkah, dia menghirup udara kemudian mengembuskannya perlahan guna menguatkan mentalnya menghadapi hari ini.Suara mesin pendingin bergabung dengan bunyi langkah sepatu formal yang beradu dengan lantai marmer, menciptakan irama khas kantor besar.Keinarra masuk ke ruang rapat utama Divisi International Business Development, dia duduk di salah satu kursi kemudian memandangi layar laptop di hadapannya.Slide presentasinya sudah siap— Country Analysis: EMEA Market Projection 2026.Tangannya terasa dingin bahkan detak jantungnya mulai menaikkan tempo.“Tenang, Kei,” bisik Naya dari kursi sebelah. “Kamu udah siap dari kemarin malam, kan?”“Iya, tapi tetep aja deg-degan,” balas Keinarra lirih. “Ini pertama kalinya aku presentasi di depan tim senior MHN Group.”Naya tersenyum lembut. “Kamu pasti keren, percayalah.” Memberi semangat
“Go, saya makan siang dulu.” Reyhan berujar sembari melewati meja kerja Argo di depan ruangannya.“Baik, Pak.” Dia melirik jam tangannya tapi waktu masih menunjukkan pukul sebelas.“Pak … ini masih ada yang perlu ditandatangan oleh Bapak,” kata Lisa-sekretaris satunya menahan langkah Reyhan.Reyhan berhenti di meja Lisa untuk menandatangi beberapa berkas.“Pak, ‘kan baru jam sebelas … masa udah makan siang?” Suara Lisa terdengar mendayu.Reyhan melirik Lisa datar lantas pergi usai menandatangi semua berkas tanpa sepatah katapun.“Ih … si bos jutek banget sih!” Lisa misuh-misuh.“Kamu ‘kan tahu pak Reyhan udah punya istri.” Argo mengingatkan.“Halaaaah, cuma kawin kontrak kok … itu kenapa istrinya enggak pernah dikenalkan ke publik.”“Kawin kontrak itu gosip, Lisa.” Argo menjelaskan.“Enggak mungkin muncul gosip kalau enggak ada kenyataan yang ditutupi, lagian aku lebih percaya gosip.” Lisa bangkit sambil memeluk berkas kemudian melengos begitu saja meninggalkan ruang sekre












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments