Sumpah, rasanya malu bercampur takut. Jangankan merenggangkan paha seperti yang Dokter Nafsin minta. Untuk menekuk kaki saja rasanya sudah luar biasa. Bersyukur, Mommy dan Bella terus meyakinkan kalau ini adalah hal yang wajar terjadi dalam persalinan. Sempat ragu juga sih, mengingat Bella kan, belum menikah?"Nah, begitu, bagus." kata Dokter Nafsin sambil memegangi lutut kananku. "Tarik napas panjang, biar nggak sakit pas diperiksa.""Hiks …!" lagi, entah untuk yang ke berapa kali aku merengek, malu dan takut. "Yuk, napas panjang …!" Dokter Nafsin memberi contoh. Reflek aku mengikuti sambil memejamkan mata, meyakinkan diri bahwa semuanya dalam keadaan baik-baik saja. All be fine and everything is going to be all right. "Auuuh, Dokter, sakit! Nggak jadi diperiksa saja, Dok. Auuuh …!" Mama terus mengusap-usap kepalaku. "Sabar, sabar. Jangan dirasakan sakitnya."Sementara itu, Bella tertawa tetapi lalu membungkam mulutnya sendiri. "Ups, sorry, Mirah Zeyenk. Aku kelepasan."Dokter Naf
Aku sedang bermain gym ball di teras ketika Bu Bidan datang dengan wajah berseri-seri. Aku dapat melihat ketenangan dalam setiap gesture tubuhnya. Tenang dan sabar untuk lebih tepatnya. "Permisi, benar ini rumah Mbak Mirah?" sapanya sopan, ramah dan hangat. Senyumnya terus terkulum di bibir tipisnya yang dipoles lipstik berwarna merah bata. Serasi dengan kulit kuning langsatnya. "Saya bidan Dokter Nafsin.""Benar, Bu Bidan." jawabku sambil meringis menahan sakit. Kontraksi datang lagi. "Silahkan masuk, Bu Bidan." kataku lagi setelah kontraksi berlalu."Baik, terima kasih, Mbak mirah." gegas wanita muda, sekitar dua tahun di bawahku itu berjalan masuk. "Mari, Mbak Mirah, langsung saya periksa saja!" Perlahan-lahan namun pasti aku berdiri. Bu Bidan membantuku, tentu saja. Detik berikutnya mengikutiku masuk ke kamar melewati ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan ruang baca. "Mommy, Bu Bidan sudah datang." kataku memberi tahu. Wanita hebat yang telah membesarkanku seorang diri s
[Halo, Sayang!] [How are you today?][Buket bunga aku sudah sampai kan, Sayang?][Gimana, suka?] Chat romantis Mas Arfen kembali terbayang dalam benakku. Mengganggu, mengobrak-abrik suasana hati yang mulai tenang. [Oh ya, buku motivasi Menikah Muda Perjuangan Terindah juga sudah sampai, kan?][Aku sengaja hunting di toko buku lho, Sayang. Buat kamu.]Sengaja. Aku sengaja tidak membalas chat Mas Arfen. Biasanya kalau sudah seperti itu, Mas Arfen akan menelepon, mengobrol sampai berjam-jam. Pernah lho, Mas Arfen lupa mematikan teleponnya karena ada pasien datang dengan pembukaan lengkap dan pecah ketuban. Ya, aku juga tidak mematikan. Terus mendengarkan sampai bayinya lahir. Dari sanalah aku tahu kalau Mas Arfen dokter spesialis kandungan yang penyabar. Pasiennya menjerit-jerit kesakitan dan berteriak-teriak saja dia bisa sabar. So sweet, bukan? Oh, hampir saja aku menjerit. Bukan hanya karena menahan kontraksi tetapi juga bayangan Mas Arfen dan seluruh kenangan bersamanya yang mem
Semua terjadi begitu cepat. Dokter Nafsin memasang jarum infus di punggung tangan kiriku. Bella memberiku susu kental manis. Mommy memberiku air kelapa muda setelah itu dan Brilliant mondar-mandir di depan pintu kamar. Sebagai lelaki yang belum menikah tetapi berempati tinggi, pasti dia cemas sekali. Situasi ini memang luar biasa. Lebih dari genting berlipat-lipat. "Saya mau pipis, Dokter." kataku dengan jujur dan apa adanya. "Oh, ya? Pipis di sini saja, Bu Mirah.""Malu, Dokter." Dokter Nafsin tertawa lirih. "Nggak perlu malu, Bu Mirah. Ini hal yang biasa terjadi. Pipis saja, jangan ditahan atau perlu saya sedot pakai selamg kateter?""Emh!"Mommy yang baru masuk kembali entah dari mana, langsung mendekat ke kepala tempat tidur. "Bagaimana, Dokter?""Nunggu kepala bayinya sandar, Bu. Masih agak tinggi ini. Nggak bagus kalau Bu Mirah ngeden dari sekarang. Nanti jalan lahirnya bisa bengkak. Kalau bengkak, mempersulit lolosnya kepala bayi nan---""Aaaaaaa …!" tak sanggup rasanya, kal
Time flies so fast!Enam bulan sudah berlalu dari sejak kelahiran Baby Twins, Tulip dan Olive. Aku sudah kembali ke rumah Mama karena semenjak kakinya patah, Mama jadi sering sakit-sakitan. Benar, ada Mbak Sri tetapi yang lebih berhak untuk merawat Mama kan, aku? Selain itu, Mommy sudah menikah lagi dengan cinta monyetnya dulu, Om Damar dan ikut pindah ke Belanda. Om Danar bekerja di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di sana. Sejujurnya aku lebih dari syok, tahu Mama menyimpan rahasia itu. Bayangkanlah! Ternyata mereka berpacaran lagi seratus hari setelah Daddy meninggal dunia. Gila tidak, sih? Bagiku seratus hari itu waktu yang sangat singkat. Tanah kuburan Daddy pun masih basah. Ya, tetapi aku bisa apa? Waktu aku konfirmasi, Mommy mengatakan kalau dia dan Om Damar sudah berkomitmen, hanya akan menikah kalau aku sudah menikah. "Walaupun pernikahan Mirah berantakan seperti ini, Mommy?" secara tidak langsung aku mengajukan protes waktu itu. "Memangnya Mommy tega meninggalkan Mirah
OK, fine!Lupakanlah Naufal dengan segala usaha kerasnya untuk terus mendekati aku. Halo, dia harus tahu kalau aku bukan tipe wanita yang mudah berpaling. Tidak juga mudah silau terhadap melimpah ruahnya materi. Lagi pula, Mas Arfen dan aku masih berstatus suami isteri, kok. Bisa-bisanya dia berusaha sampai segencar itu? Memangnya lupa, siapakah Mirah Delima? Tidak mudah untuk mencintai!"Ya, Mbak, ya!" kataku sebelum akhirnya mengakhiri panggilan tanpa permisi.Mbak Sri memberi tahu kalau Harum dan Papa sudah berangkat dari rumah mereka. Artinya aku harus segera pulang. "Maaf ya, Mbak Hasya, saya harus segera pulang." Mbak Hasya masih di ruang kerjaku waktu Mbak Sri menelepon. Sisi keberuntungannya adalah kami sudah selesai membuat resolusi. Tinggal mengetik saja nanti malam atau besok pagi, kalau Tulip - Olive sudah tidur atau anteng disambi. "Baik, Bu Mirah, silahkan. Hati-hati di jalan.""Oke, Mbak Hasya. Oh ya, semua masuk kan, hari ini?"Mbak Hasya mengangguk dengan wajah sum
Mama memanggilku ke ruang keluarga. Beliau baru saja selesai mandi dan masih mengenakan bath jas. Berkalung handuk merah bata polos. Tersenyum super manis saat aku datang. "Ya, Mama, Mama memanggil Mirah?" Mama mengangguk, mendahului duduk di sofa. Bingung, sedikit takut aku duduk di depannya. Memandang dalam diam, berusaha untuk tetap berpikir positif. Berdoa juga, semoga kedatangan Harum dan Papa tadi tidak meninggalkan masalah apa pun. Aku tidak pernah mengira, kalau di antara Mama dan Papa masih ada masalah yang harus diselesaikan. "Kamu dengar pembicaraan Mama sama Papa tadi?"Seketika naluri kejujuran dalam diriku berseru, "Iya, dengar, Mama!" Tetapi di sisi yang lain aku takut. Bagaimana kalau Mama tersinggung atau salah paham? Ah, tetapi bukankah kejujuran adalah hal yang paling utama dalam hidup ini? Katakanlah yang yang sejujurnya, walaupun pahit. Bukan begitu?"Dengar, Mama tapi samar." Itu yang sesungguhnya. Tidak ada yang aku kurangi, tidak ada juga yang aku tambahi.
Aku pikir benar, Mama terlalu baik untuk disakiti. Tetapi ternyata pemikiran itu salah. Salah besar. Jadi, aku baru saja pulang menjenguk Mas Arfen. Tidak lama, karena Tulip - Olive aku tinggal di rumah. Mbak Sri dengan senang hati menjaga mereka. Nah, sesampainya di teras, aku langsung melepas sepatu dan meletakkan di rak besi samping pintu seperti biasa. Karena sepi aku langsung berjalan ke kamar Tulip - Olive melewati ruang tamu, ruang keluarga, ruang kerja Mama. Belum juga sampai di kamar Tulip - Olive, langkahku terhenti oleh karena mendengar sesuatu yang sangat menyakitkan dari ruang kerja Mama. "Tapi, kenapa Tante malah ngasih butik itu ke Mirah?" jelas, aku mendengar Mourin bertanya dengan sedingin itu pada Mama. Dia sudah bebas satu bulan yang lalu, karena mampu membayar denda, katanya. Aku tidak tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya. "Nggak salah tuh, Tante?" "Sssttt … Itu hanya trik, Mourin. Kamu tahu sendiri kan, gimana dia? Bodoh-bodoh cerdas. Ya, begitulah poko