"Tolong nikahi Hanna, jika aku pergi." Permintaan dari adiknya yang terbaring tak berdaya itu, seketika membuat Jefri tertegun. Wanita yang adiknya minta untuk nikahi, tak lain adalah tunangannya sendiri. Pernikahan mereka bahkan di depan mata, tapi takdir sepertinya berkata lain, dengan musibah yang terjadi sekarang. Hanna juga tak menyangka, setelah kehilangan yang bertubi-tubi, dia diminta menikahi Kakak tunangannya, sosok yang tak dia kenali. Jefri diminta menikah dengan Hanna, layaknya Hanna istri yang diwariskan adiknya untuknya. Apa yang akan terjadi??? Haruskah mereka memenuhi permintaan adiknya??? Tapi Jefri bahkan tak pernah berpikir untuk menikah kembali, karena dia masih begitu mencintai mendiang istrinya dan hanya ingin membesarkan anaknya. Bagaimana kisah mereka berjalan??? ***** Nantikan kisah mereka. Kunjungi IG-ku : @rin.resya untuk melihat visual dan info lainnya.
View MoreMakam yang masih basah itu terus ditangisi oleh Hanna yang baru saja kehilangan Ayahnya, dia berjongkok dengan gamis dan kerudung hitamnya, ditemani seorang pria muda yang setia berdiri disisinya, dialah Nandra Jafran Kusuma.
"Apa yang harus Hanna lakukan sekarang? Hanna kerja dan berjuang buat Ayah, tapi sekarang Ayah pergi tinggalin Hanna. Hanna gak punya siapa-siapa lagi, Ayah.” Isak Hanna terdengar pilu dengan suara seraknya yang masih di dengar baik oleh si pria.
"Hanna, kamu tidak bisa terus seperti ini. Masih ada Allah disisi kamu, aku juga ada. Kamu harus ikhlas, semua ini sudah takdir. Kasihan Ayah kamu bila terus kamu tangisi,” ucap Jafran.
"Hiks, maafkan Hanna ya Allah. Maafkan Hanna Ayah, karna Hanna Ayah pasti merasa berat. Maafkan Hanna, sekarang Hanna iklhas melepas Ayah ke sisi Allah,” ucap Hanna mengelus nisan sang Ayah, lalu dia menadahkan tangannya.
“Lapangkanlah hatiku ya Allah dan ampunilah semua dosa Ayah, tempatkanlah ia disisimu, hiks."
Jafran yang sejak tadi menemani Hanna, akhirnya membantu Hanna hingga berdiri berhadapan dengannya. Sementara Hanna terus menunduk dengan air matanya yang masih mengalir, mengatakan ikhlas di mulut, tak semudah yang hati rasakan.
"Aku tahu ini memang bukan waktu yang tepat, tapi ini saatnya aku berani buat ambil tanggung jawab lindungi kamu setelah Ayah kamu pergi."
Mendengar kata-kata yang diucapkan Jafran perlahan Hanna berani melihatnya langsung setelah menghapus air matanya.
"Maksud kamu apa?" tanya Hanna, karena kata-kata Jafran terdengar aneh ditelinganya.
"Hanna Kintara, di depan makam Ayah kamu dan disaksikan oleh Allah,” ucap Jafran menjeda kalimatnya, lalu menghela nafasnya dahulu.
"Bismilahirohmanirohim, maukah kamu menikah denganku?" tanya Jafran terus terang dan membuat Hanna sungguh kaget.
"Jafran, ini semua gak lucu. Jangan karna kamu cuma kasihan sama aku kamu tiba-tiba bilang kaya gini,” ucap Hanna dengan air matanya yang kembali mengalir lalu dia hapus kembali.
"Aku gak bercanda Hanna, Allah saksiku. Dan perlu kamu tahu, sejak dulu bahkan saat kita masih SMA, aku sudah menyukai kamu, tapi aku tahu batasan antara pria dan wanita. Aku bukan lelaki yang siap bertanggung jawab atas kamu saat itu, hidupku saja masih bergantung pada orang tuaku. Aku berjuang, aku belajar untuk menjadi lebih dewasa. Sekarang walau kita terbilang masih muda, tapi aku sudah bekerja. Aku yakin kamu adalah jodoh yang dipersiapkan Allah buat aku, ketika aku gak berharap bisa ketemu kamu lagi. Tapi akhirnya kita bertemu lagi setelah lima tahun berpisah, dan aku pikir satu tahun ini cukup untuk bikin kamu yakin sama aku. Jangan bilang kamu gak ngerasa kalau selama ini aku mencoba dekat sama kamu Hanna."
Penjelasan panjang lebar itu cukup membuat Hanna terdiam dan berpikir. Memang akhir-akhir ini mereka lebih dekat, tapi Hanna tak pernah berpikir sejauh ini. Hanna hanya merasa mungkin Jafran hanya menganggapnya teman juga bawahannya. Hanna juga hanya fokus merawat Ayahnya dan merasa tak pantas bila memang Jafran menyukainya yang hanya dari kalangan bawah, tapi apa yang disampaikan Jafran sekarang jelas membuat Hanna bingung.
"Tapi, A-aku bukan siapa-siapa." Air mata itu terus mengalir karna kesedihan juga kebimbangan hatinya, Jafran terlalu sempurna untuk gadis penuh kekurangan seperti dirinya.
Saat itu Jafran memberanikan diri memegang pundak atas Hanna, hingga Hanna akhirnya menatap ke arahnya.
"Jangan melihatku sebagai atasan, teman bahkan siapapun Hanna. Tapi tolong lihat aku sebagai pria yang siap bertanggung jawab atas kamu. Liat mata aku, aku bahkan sangat menyayangi kamu, walaupun mungkin kamu tidak memiliki perasaan sepertiku. Tapi aku mohon kamu pertimbangkan kembali lamaranku, kita bangun semuanya bersama-sama. Aku akan bertanggungjawab pada kamu, aku siap untuk menjadi imam untuk kamu. Kalau masalahnya hanya soal perasaan, biarkan aku yang menunjukkan sedalam apa perasaanku pada kamu, sampai akhirnya kamu bahkan merasa sangat dicintai,” jelas Jafran panjang lebar.
“Jafran,” cicit Hanna.
“Sekali lagi aku tanya, kamu maukan nikah sama aku??"
Pada siapa Hanna harus bergantung saat ini kalau bukan pada pria yang begitu dengan tulus dan peduli padanya, yang terdapat keseriusan dimatanya saat dengan yakin melamarnya. Walau mungkin akan ada penolakan dari keluarganya, Hanna harus siap. Dan hati Hanna yang harus mulai terbiasa memupuk rasa yang dulu hanya sebatas teman sekarang menjadi calon imamnya, karena tak ada alasan untuk menolak lelaki sebaik Jafran.
"Bismillah, aku terima lamaran kamu Jafran,” ucap Hanna lirih.
"Alhamdulillah."
Jafran langsung melepas tangannya yang berada di pundak Hanna, lalu dia berjongkok kembali di pusara Ayah Hanna, membuat Hati Hanna makin yakin untuk menerima Jafran melihat apa yang dilakukan pria itu.
"Paman, maaf karna Jafran tidak meminta restu untuk menikahi Hanna saat Paman masih ada, tapi walaupun begitu semoga Paman merestui kami. Sekarang Paman tidak perlu khawatir, Jafran yang akan menggantikan Paman bertanggung jawab untuk Hanna, Paman bisa tenang disisi Allah. Jafran tak akan pernah menyakiti Hanna, Jafran akan selalu disisi Hanna, Jafran janji."
Setelah mengatakan itu Jafran menengadahkan tangannya, dan lantunan do'a serta ayah suci terdengar begitu merdu, membuat Hanna kembali meneteskan air matanya.
"Besok mungkin aku akan ke rumah kamu sama Ayah dan Bunda. Aku mau kita cepat menikah, agar aku bisa selalu disisi kamu. Atau perlu hari ini juga kamu nginap di rumah aku, biar kamu ada teman," tawar Jafran dalam perjalanan mereka pulang.
"Gak usah, aku juga masih perlu nenangin hati aku. Dan soal pernikahan apa gak terlalu cepat? Gimana kalau orang tua kamu gak setuju?" tanya Hanna dengan suara mencicit di akhir kalimatnya.
"Kamu bahkan bekerja buat Bunda sebelum sama aku. Apa bunda terlihat seperti orang tua yang kejam seperti di sinetron? Yang akan menentang keinginan anaknya hanya karena perbedaan kasta?" tanya Jafran bercanda.
"Enggak." jawab Hanna.
"Karena itu jangan khawatir, pokonya besok kamu siap-siap,” ucap Jafran lalu fokus kembali menjalankan mobilnya.
'Ayah, semoga ini keputusan benar yang Hanna ambil. Ayah yang tenang disana.'
Hanna melihat keluar jendela, lalu menyenderkan kepalanya dan diam-diam kembali lagi menangis karena ingat dia telah kehilangan Ayahnya dan kini sendirian.
Jafran sadar bahwa Hanna menangis kembali, tapi rasa kehilangan itu akan lebih baik jika diluapkan. Hal ini pula yang mendasari Jafran ingin segera menikahi Hanna, agar dia tak kesepian dan bersedih terus menerus sendirian.
*
*
*
“Iya, Hanna istri saya,” beritahu Jefri."Tunggu, maksud bapak Hanna Kintara? Bukanya Hanna calon istri almarhum pak Jafran?" tanya Juna bingung."Ini urusan pribadi keluarga saya, tak bisa saya jelaskan kenapa saya menikahi Hanna. Saya hanya dengar bahwa kamu teman Hanna saat kuliah dulu, mungkin kamu masih berhubungan baik dengan Hanna. Karena itu saya mau bertanya, apa kamu tahu keberadaan Hanna atau tahu siapa teman perempuan Hanna yang lain?" tanya Jefri tanpa mau repot-repot menjelaskan semuanya pada Juna.Saat itu Juna masih kaget dengan informasi ini, tapi dia jelas tak bisa ikut campur masalah keluarga Kusuma ini, keluarga yang memberikannya pekerjaan."Setahu saya Hanna tak mempunyai teman dekat perempuan satupun, saya dulu telat kuliah karena itu satu angkatan dengan Hanna. Saya ingat dia dulu fokus belajar agar nilainya tak jatuh dan beasiswanya di cabut, karena itu Hanna juga lebih sering mengambil kerja part time bila mempunyai waktu kosong jadwal kuliahnya, beberapa kal
“Jangan-jangan Hanna sudah kembali ke rumahnya, aku coba ke sana lagi kalau begitu.”Jefri segera saja pergi meninggalkan makam, tapi baru saja masuk ke dalam mobil tiba-tiba saja ponselnya berdering dan ternyata itu dari ibunya.“Assalamualaikum, Bun.”“Waalaikumsalam, Jef tolong kamu cepat pulang sekarang juga,” pinta Bunda Ayu.“Kenapa Bun?”“Zeyva sakit, badannya panas karena dia nangis terus dan gak mau makan,” beritahu Bunda Ayu membuat Jefri kaget.“Terus sekarang gimana Bun?”“Nangis terus nanyain Hanna dan kamu? Apa Hanna sudah ketemu?” tanya Bunda Ayu.“Belum Bun.”“Hah.” Bunda Ayu terdengar menghela nafas.“Ya sudah kamu pulang dulu saja, siapa tahu Zeyva bisa tenang sama kamu,” pinta Bunda Ayu.“Iya Bun, Jefri ke sana juga sekarang,” ucap Jefri yang akhirnya membatalkan niatnya ke rumah Hanna lagi karena berbeda arah dan segera pulang ke rumah.Putrinya lagi-lagi sakit karena merindukan Hanna, dan sekarang Hanna pergi karena dirinya. Jefri semakin merasa bersalah, karena s
Jefri pagi itu sudah pergi ke rumah Hanna, tapi karena hari Senin otomatis Jefri kembali terjebak macet, sedangkan dia tetap harus ke kantor, walau sudah meminta jadwal paginya dikosongkan pada sekretarisnya.Karena sekarang Ayahnya sudah lepas tangan dengan perusahaan, beliau memilih kembali mengelola restoran bersama Bunda Ayu, setelah kepergian Jafran.Saat dia sampai di depan rumah Hanna, suasana terlihat sepi dan Jefri segera saja turun dan mengetuk pintu rumah Hanna.“Hanna, apa kamu di dalam? Hanna ini aku Jefri, suami kamu,” teriak Jefri di depan pintu karena tak dibukakan juga, bahkan saat Hanna mencoba membuka pintu ternyata terkunci.“Apa mungkin Hanna gak pulang ke sini?”Jefri jelas kebingungan, akan ke mana Hanna jika bukan ke sini, karena ini rumahnya satu-satunya.“Eh tong Lu, cari siapa?” tanya seorang Ibu-ibu.“Saya sedang mencari istri saya Bu, Hanna. Pemilik rumah ini,” jelas Jefri.“Oh, Elu ternyata suaminya si Hanna, tapi perasaan agak beda sama yang dulu suka da
“Ya Allah, apakah aku hanya beban? Hiks, hiks,” isak Hanna, mengadu pada pemilik-Nya.Air mata itu terus berlomba keluar dari matanya, walaupun Hanna terus menyekanya, bahkan dadanya terasa begitu sakit dan sesak.Dia hanya beban bukan dan beban sudah harusnya pergi dari kehidupan Jefri.Dengan tangan bergetar Hanna melepaskan pecahan kaca yang tertancap cukup dalam di kakinya.Hanna berdiri dengan tertatih lalu pergi ke arah kamarnya, memesan taksi lalu membawa tas yang berisi barang pentingnya dan tak lupa dia meninggalkan kartu ATM pemberian Jefri diatas nakas dekat tempat tidur.Dia hanya ingin menenangkan hatinya, dia perlu waktu sendirian, dia masih bisa hidup tanpa Jefri dan kekuasaan juga uangnya.Setelah membalut kakinya dengan tisu dan memakai sepatunya, Hanna meninggalkan kamar yang dia tempati selama satu bulan ini.Rumah sedang sepi karna pembantu yang memang berada di paviliun belakang jika siang hari. Zeyva juga sedang jalan-jalan bersama kakek neneknya dan Hanna bersy
Hanna masih duduk termenung di atas kasur, terus melirik ke arah pintu penghubung ke ruang kerja Jefri. Ini sudah pukul setengah dua belas, tapi suaminya belum keluar juga keluar dari ruang kerjanya.“Mas Jefri mungkin marah dan memilih tidur di sana, tapi di sana tak ada sofa panjang, hanya ada kursi kerja tak mungkin dia di sana terus, kan?” gumam Hanna kebingungan.Sampai tiba-tiba saja terdengar suara pintu dibuka dan ternyata Jefri keluar dari ruang kerjanya dan dia kaget melihat Hanna belum tidur."Kamu belum tidur?” tanya Jefri kaget."Mas, maaf soal kata-kataku tadi. Bukan aku mau menyinggung soal statusku, tapi memang aku ngerasa gak layak buat kamu kasih kartu itu, karna aku bahkan gak melayani kamu sebagai istri yang baik, bukan karena mau diakui atau bagaimana,” jelas Hanna, dia tak mau Jefri terus marah padanya.Jefri saat itu menghela nafasnya, dia tadi pergi untuk berpikir dengan tenang. Memang dia sadar apa yang Hanna katakan benar soal statusnya yang sebagai istri yan
Hanna dan Zeyva sedang menunggu kedatangan Jefri yang berjanji akan menjemput mereka dari sekolah saat ini, tapi sudah setengah jam sejak sekolah Zeyva selesai Jefri belum juga menjemput. Untung Zeyva masih betah bermain dengan teman-temannya, bermain dengan penuh gembira walau satu persatu dari mereka telah pulang.Tapi Hanna agak merasa risi dengan tatapan para ibu-ibu yang juga menemani anaknya karna tahu Hanna menantu baru keluarga Kusuma saat keluarga itu baru kehilangan anggota keluarganya. Apalagi jika mereka tahu seharusnya Hanna menikah dengan Jafran, mungkin mereka akan semakin ribu membicarakannyat.Saat itu satu jam berlalu dan teman Zeyva terlihat sudah pulang semua, hingga kini Zeyva berlari ke arahnya."Bunda, Ayah mana?" tanya Zeyva merengek kesal."Sabar sayang,” ucap Hanna lalu membawa Zeyva ke pangkuannya."Biasanya supir yang jemput Zeyva, Bu Hanna. Yakin pak Jefri yang sibuk bisa jemput, saya bahkan hanya pernah melihatnya sekali ke sekolah ini,” ucap salah satu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments