Semua orang heboh mengurus masalah hidupku dan itu justru membuat semakin rungsing, tentu saja. Rasanya seperti diteror senjata api setiap hari. Oh, bukan hanya itu. Panah berapi, sumpit dan entah apa lagi, pokoknya semuanya bersifat mematikan. Menghancurkan. Tahu. Aku tahu kok, mereka sangat menyayangi aku. Tak ingin melihatku sakit, jatuh atau apa pun itu karena gagal menjalani kehidupan rumah tangga bersama Mas Arfen. Tetapi masalahnya adalah perhatian dan kepedulian mereka itulah yang justru membuatku tak berdaya. Rasanya otak ini sudah benar-benar macet, total. "Arfen nggak mau pisah sama kamu, Mirah Zeyenk." Bella yang pertama memberikan penjelasan. "Katanya, lebih baik mati dari pada harus pisah sama kamu." "Iya." Rafael menimpali dengan mimik wajah super serius. "Dia juga bilang, kalau memang kamu kita pisah dari dia, tolong bunuh dia saja. Serius, sumpah. Dia bilang gitu sama kami, Mirah.' Ugh!Mengapa jadi ribet seperti ini sih, masalahnya? Biasa kan, kalau dia mengeluar
Akhirnya aku mengajak Tulip - Olive menepi sejenak dari hiruk pikuk dunia. Kemarin pagi, berangkatlah kami bertiga ke sini, Bali. Sebenarnya Bibi sangat keberatan, memohon-mohon supaya kami tetap di Jakarta. Dia bahkan bersedia melayani kami dua puluh empat jam full, asal aku membatalkan penepian.Aduh, maaf ya, kalau bahasaku jadi menye-menye begini. Bagaimana lagi? Orang-orang terdekat semakin sibuk---super sibuk---mengurusi masalahku dengan Mas Arfen. Mommy, Mama, Om Damar, Bibi, 4 Little Stars---Bella, Brilliant dan Rafael---semua sama saja. Tak ada bedanya sama sekali. Tidak seorang pun mau melihat dari sisiku, sungguh. Aku, seorang isteri yang lebih dari menderita dan tersisa akibat semua perbuatan jahat Mas Arfen.Halo, adakah yang seberuntung diriku di dunia fana ini?"Mirah, aduh, Mama khawatir banget sama kalian!" ungkap Mama dengan nada suara seperti orang yang hampir tersambar petir. Beliau baru saja menelepon dan aku, jujur, terpaksa mengangkatnya. Bukan apa-apa, kasiha
Sekian dan terima kasih. Ingin sekali mengatakan itu pada Mama, di saluran telepon yang tak begitu bagus tadi malam, tetapi urung. Jangankan berucap, sedangkan berpikir saja rasanya sudah tak mampu lagi. Tak berdaya, sungguh. Bingung, bingung dan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk yang ke sekian kalinya, Mama sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Tekanan darahnya membubung tinggi, mengakibatkan terjadinya penyimpanan pembuluh darah jantung. Sekarang, di rawat intensif di sana. Bagaimana bisa Mama menghubungi aku? Suster yang menelepon, Mama tinggal berbicara saja. Katanya sih, seperti itu. Semoga ini bukan rangkaian dari seluruh sandiwara yang menjadi maha karyanya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pulang, tidak. Tidak, pulang. Kembali, tidak. Tidak, kembali. Berpisah, tidak. Tidak, berpisah. Aduh, pening!Oke, fine. Aku tahu, masalah seperti ini pasti sering terjadi di luar sana, bukan? Maksudku, ketika seseorang sudah menentukan pilihan terbaik, akan ada halanga
"Kamu beneran janji, nggak akan pernah ninggalin aku kan, Sayang?" pertanyaan Mas Arfen di hari pernikahan kami dulu, terngiang kembali di telingaku. Menyentuhkan perasaan sakit yang spesial di hati, sekaligus menakutkan kebahagiaan di atasnya. "Aku tahu, aku tak sempurna, Sayang. Banyak kekurangan dan kelemahan tapi aku cinta banget sama kamu, Sayang. Aku nggak mau kehilangan kamu dalam bentuk apa pun karena jika itu terjadi aku nggak akan sanggup. Lebih baik kehilangan nyawaku sendiri, Sayang, dari pada kehilangan kamu. Karena kamu adalah segala-galanya bagiku.""Iya, Mas. Aku janji. Kalau bicara tentang kesempurnaan, Mas Arfen, aku juga tidak sempurna." kataku sambil menyelami bola mata elangnya. "Kamu juga janji ya, Mas, jangan pernah ninggalin aku. Apa pun yang terjadi."Mas Arfen merengkuhku ke dalam pelukan. Lembut, hangat dan erat. Sangat erat, sampai-sampai aku bisa merasakan kuatnya detak jantung Mas Arfen. Mendengar dan merasakan, untuk lebih tepatnya. Sungguh, saat itu ak
Terlepas dari apakah ini sandiwara babak baru atau bukan, aku menuruti permintaan Mama untuk bermalam. Sudah, aku sudah memberi tahu kalau kami tidak akan tinggal di rumahnya lagi, melainkan di Rumah Cinta. Walaupun awalnya terlihat terkejut dan keberatan tetapi akhirnya, Mama merestui. Terpenting kami benar-benar tinggal di sana dan tidak pergi-pergi lagi. Itu saja. Semua itu komitmen yang tidak berat bagiku. Jadi, mulai sekarang aku akan menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Anggap saja ini adalah perjuangan sekaligus pengorbanan untuk Tulip - Olive. Harus bisa. Aku harus bisa menyingkarkan segala rasa takut, sakit atau apa pun itu demi kebahagian mereka di masa depan. "Mirah!" panggil Mama dari balik pintu kamar si Twins. "Bisa kita bicara sebentar?" "Ya, Mama, sebentar." aku harus memastikan kalau Tulip - Olive sudah lelap tidurnya. Supaya tidak mudah terjaga dan kami bisa berbicara dengan leluasa. "Ya, Mama?" tanggapku hangat sambil membukakan pintu. "Bagaimana?""Kita bicara d
Demi kebaikan bersama, aku menerima Suster Maryati, pilihan Mama untuk bekerja di rumah. Lagi pula, kriterianya sesuai kok, dengan yang selama ini aku targetkan. Berpenampilan menarik, ramah, bersahabat dan yang paling penting aku merasa dia orangnya tulus. Tulip - Olive saja langsung nempel seperti perangko. Ya, semoga saja selain semua kriteria di atas, Suster Maryati juga jujur dan bertanggung jawab. Nah, itu yang paling inti, bukan?Dan, inilah kisah hari pertama Suster Maryati bekerja di rumah, menyusul Dinda yang datang satu malam sebelumnya. Bagaimana dengan Mama? Wah, dia heboh seheboh-hebohnya dengan alasan memberikan training. Sumpah, hanya bisa berdoa dalam hati, semoga Suster Maryati sabar dan betah. Ya, kalau aku jadi dia sih, lebih baik batal. "Suster, kalau memandikan si Twins, wajib pakai air hangat-hangat kuku." Mama memulai segala kehohannya sambil terus-menerus melekatkan pandangan pada Suster Maryati. "Jangan kurang atau lebih dari itu. Kalau bisa, usahakan, mandi
Benar, Mama kembali datang ke rumah keesokan harinya tanpa satu kotak kecil paket pun di tangannya. Bahkan, makan pagi atau camilan untuk Tulip - Olive pun tidak. Bukan berharap, tetapi semakin aneh saja rasanya. Baru kali ini Mama datang dengan tangan kosong dan mungkin kenyataan itulah yang membuatnya terlihat kikuk. Anyway, percuma saja aku tinggal di Rumah Cinta kalau setiap hari Mama datang."Lho, Mirah, kamu belum berangkat ke butik?" selain aneh, Mama juga terlihat kecewa. Satu-satunya hal yang meyakinkan hatiku bahwa benar, Mama menyembunyikan udang di balik batu. "Sudah jam sepuluh ini, kan? Berarti Hasya yang mimpin briving?"Sudah tiga hari ini aku kembali terjun ke butik. Terpaksa, supaya Mama tidak terus-menerus mendesak dengan kata-kata yang terkadang sentimentil. "Mirah kamu ke butik, lah. Biar jangan diam saja di rumah. Tulip sama Olive kan, sudah ada Suster Maryati?" "Mirah, kamu tahu kan, Mama sudah nggak mampu lagi? Oh, andai saja Mama masih sekuat dulu, Mama ngga
Mendengar Dinda berteriak seperti itu, sontak aku berjalan cepat kembali ke ruang tamu. Dalam hal ini aku masih bisa bersabar meskipun sempat naik spaning juga. "Ada apa sih, Din? Jangan teriak-teriak ah, Tulip - Olive masih tidur! Kasihan kan, kalau terbangun? Saya belum mandi, masa sudah langsung ngasih nenen, sih? Mana masih keringatan begini, lagi?" "Maaf, Bu." katanya polos dengan perasaan bersalah tersirat di bola matanya. "Ini, yang dari Dokter Nafsin isinya gaun pesta." Deng, dong!Gaun pesta, maksudnya? Wah, semakin tidak beres laki-laki yang satu itu, harus segera dibereskan."Tolong kamu kirim kembali ke alamatnya ya, Din. Segera, hari ini juga. Gimanapun caranya, saya nggak mau tahu." rasa marah dalam dadaku sudah benar-benar memuncak sekarang. Sudah seperti lahar yang muncrat-muncrat di mulut gunung Merapi. "Ini, ongkos kirimnya. Ingat ya, Din, harus hari ini juga kamu kirim balik!""Tapi, Bu, di sini nggak ada alamat pengirimnya." Dinda terlihat sangat takut tapi lali