Istri yang tak Berharga

Istri yang tak Berharga

last updateLast Updated : 2025-09-23
By:  RayUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
7Chapters
11views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Aisyah Humaira, wanita sholeha yang sabar, kuat, dan pintar, terpaksa menerima perjodohan dengan Fahri Zidan demi menghormati amanah almarhum ayahnya, yang bersahabat karib dengan ayah Fahri. Namun, pernikahan itu justru membawa luka. Di balik senyum tampan dan wibawanya, Fahri Zidan hanyalah pria dingin yang minim ilmu agama dan terlalu lemah untuk menolak semua keinginan ibunya. Setiap tekanan yang ditujukan kepada Aisyah, selalu ia jawab dengan diam. Di rumah mertua, Aisyah direndahkan oleh Siti Mariam, pun ipar-iparnya ikut meremehkan, dan Fahri Zidan? Ya, suaminya justru menjauh. Luka semakin dalam saat Aisyah mengetahui bahwa Fahri kembali menjalin hubungan dengan Salsabila Hana, mantan kekasihnya yang sangat ia cintai. Dengan bangga Salsabilla menertawakan keberadaan Aisyah yang hanya dianggap tak berharga. Meski hatinya hancur, Aisyah bertahan demi Rafa Azka, putra kecil semata wayangnya yang kini mulai menanyakan tentang sosok ayahnya. Ayah yang tidak pernah ada waktu sedetikpun untuk bersamanya. Sendiri, Aisyah menanggung peran sebagai istri, menantu, ipar dan ibu. Namun, sampai kapan Aisyah mampu bertahan sebagai istri yang tak pernah dianggap? Haruskah ia tetap terikat pada janji suci yang merampas harga dirinya? atau berani bangkit memperjuangkan masa depan Rafa? Akankah suatu saat Aisyah menemukan cinta yang mau menerima? Mungkinkah Fahri Zidan bisa berubah dan mencintainya begitu dalam?

View More

Chapter 1

Bab 1 Dijodohkan

(POV Aisyah Humaira)

"Aisyah…"

Suara ayah terdengar berat, menusuk seperti petir yang mengguncang dada. Aku masih menunduk, jemariku meremas ujung gamis hitam yang kupakai. Di ruang tamu itu, hanya ada aku, Ayah, dan Ibu. Aroma kopi pahit bercampur dengan ketegangan yang membuat udara menjadi pengap.

"Kamu sudah dewasa," lanjut ayah, suaranya tenang tapi berwibawa. "Sudah waktunya menikah. Kami sudah memilihkan calon untukmu."

Aku mendongak perlahan, jantungku berdetak begitu keras hingga seakan bisa terdengar oleh mereka berdua. Menikah? Tentu saja setiap wanita sholehah menginginkan pernikahan. Tapi hatiku serasa ditikam tajam ketika nama yang keluar dari bibir Ayah bukanlah nama yang kuharapkan.

"Fahri Zidan."

Aku tersentak. Bibirku bergetar, hampir ingin mengucap penolakan, tapi cepat-cepat ku tahan. Seumur hidupku, aku tak pernah benar-benar punya keberanian untuk berkata tidak pada orang tuaku. Aku sebisa mungkin selalu menuruti apapun keinginan orang tuaku. Tapi...

"Fahri?" bisikku, hampir tak terdengar.

Ibu mengangguk mantap. "Iya, Fahri Zidan. Anak teman lama Ayah. Ayahnya Pak Mahendra dan Ayahmu sudah berteman sangat dekat sedari dulu. Fahri dan kamu cocok untuk di sandingkan. Agar hubungan keluarga semakin dekat."

Dadaku sesak. Aku tahu siapa Fahri. Lelaki yang selama ini tak banyak orang berbicara, dingin, jarang tersenyum, dan… minim ilmu agama. Setidaknya itu yang kudengar dari beberapa teman yang mengenalnya di kampus.

Aku masih ingat bagaimana dulu aku sering memanjatkan doa, memohon agar Allah menghadirkan seorang suami yang sholeh, yang bisa membimbingku semakin dekat dengan-Nya.

Tapi sekarang, aku harus menerima seseorang yang bahkan belum tentu mampu menuntunku?

"Ayah… Ibu…" Suaraku bergetar, aku mencoba sekuat tenaga mengumpulkan keberanian.

"Bolehkan Aisyah… memilih sendiri? Aisyah ingin suami yang bisa mengajarkan agama, yang bisa menjadi imam dunia akhirat…"

Tangan Ayah menepuk meja cukup keras. Degup jantungku semakin kacau.

"Aisyah! Jangan banyak bicara. Sebagai anak, tugasmu hanya patuh. Kami tahu yang terbaik untukmu. Fahri Zidan itu lelaki baik. Tidak perlu kau bandingkan dengan imajinasimu."

Aku menggigit bibir bawahku. Air mata mulai berkumpul di pelupuk. Rasanya ingin menjerit, tapi lidahku kelu.

Ibu menambahkan, "Kalau kamu betul-betul anak sholehah, buktikan dengan taat. Jangan mempermalukan keluarga. Besok keluarga Fahri datang melamar. Kamu hanya perlu mengangguk."

Aku terdiam.

Hati kecilku ingin berkata tidak, tapi aku dibesarkan untuk selalu menjawab iya.

Hari-hari sebelum lamaran terasa bagai mimpi buruk. Aku mengunci diri di kamar, bersujud lama di atas sajadah.

"Ya Allah…" bisikku dalam doa panjang, "Aku ingin suami yang mencintai-Mu, yang membuatku semakin dekat dengan-Mu. Tapi jika jalan ini yang Kau pilih, kuatkan aku, ya Rabb… jangan biarkan aku lemah."

Aku memejamkan mata. Air mata jatuh membasahi sajadah. Tapi bagaimana mungkin aku bisa bahagia dengan lelaki yang bahkan jarang terlihat di masjid? Yang dingin tatapannya, seolah semua tak berarti apa-apa?

Hari lamaran itu akhirnya datang.

Aku duduk bersimpuh di ruang tamu, dengan balutan gamis dan jilbab berwarna krem, wajahku tertutup cadar. Tanganku bergetar saat nampan teh kuserahkan kepada keluarga Fahri. Suasana hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar begitu jelas.

Kemudian pandangan mataku bertemu sekilas dengan Fahri. Lelaki itu duduk di samping ayahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi. Ia menunduk, seakan pertemuan ini hanyalah formalitas yang tak berarti.

Aku merasakan dada kian sesak.

Dalam hati aku berdoa, "Ya Allah, jika dia memang jodohku, lunakkan hatinya. Tapi jika tidak, lepaskan aku dari jalan ini…"

Namun, doa itu tak pernah ku ucapkan dengan suara keras. Aku hanya bisa mengulang dalam hati, sementara di hadapan semua orang aku tetap menampilkan diri sebagai anak yang penurut.

Malam setelah lamaran, aku memberanikan diri mendekati Ibu di kamar.

"Ibu…" suaraku lirih. "Aisyah takut… Aisyah merasa tidak mampu…"

Ibu menoleh sekilas. "Takut apa? Menikah itu ibadah. Bukankah kamu ingin jadi istri sholehah? Fahri sudah dipilihkan untukmu. Jangan berandai-andai, jangan banyak protes. Semua wanita butuh suami, dan kamu sudah diberi calon yang sangat cocok buatmu."

Aku tercekat. Kata-kata itu seperti tamparan keras.

"Tapi Bu… bagaimana kalau dia tidak bisa membimbing Aisyah? Bagaimana kalau dia tidak menjaga sholatnya? Bagaimana kalau dia tidak paham syar'iat? Aisyah ingin…"

"Cukup!" potong Ibu tajam. "Kamu itu anak perempuan. Jangan sok tahu. Sudah, ikut saja. Besok-besok juga kamu akan terbiasa."

"Apalagi kalau dia belum memenuhi kriteriamu, kamu bisa bantu membimbing dia."

Aku diam. Tidak ada lagi ruang untuk bicara.

Suara hatiku terkubur di bawah dinding keinginan orang tua. Bagaimana mungkin aku membimbing seseorang yang seharusnya membimbingku?

Hari pernikahan sudah semakin dekat.

Setiap malam aku menangis dalam sujud panjang. Aku membaca Al-Qur’an, memohon kekuatan. Tapi setiap kali mengingat wajah Fahri, hatiku kecut. Ia memang tampan, berwibawa, tapi matanya kosong, tidak ada sinar iman yang pernah kubayangkan, yang seharusnya ada dalam diri seorang imam.

Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin aku salah menilai. Mungkin Allah akan membimbingku lewat pernikahan ini.

Namun, satu kalimat dari Fahri Menghantamku keras saat kami akhirnya dipertemukan dalam ta’aruf singkat.

"Aku menikah hanya karena Ayahku," ucapnya datar, tatapannya menusuk dingin. "Aku tidak punya pilihan. Jadi jangan berharap aku bisa menjadi seperti yang kamu inginkan."

Tubuhku seketika membeku. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau.

Aku hanya bisa menunduk, menahan gemetar.

Dalam hati aku berteriak, Ya Allah… ini jalan-Mu?

Malam sebelum akad nikah, aku tidak bisa tidur. Suara takbir dari masjid sekitar terasa menambah sesak dadaku. Aku takut jika malam cepat berganti siang. Aku tidak ingin cepat bertemu hari esok.

Aku menulis di buku harianku.

"Besok aku resmi menjadi istri Fahri Zidan. Lelaki yang bahkan tidak menginginkan aku, sebagaimana aku juga tidak pernah menginginkan dia. Tapi aku tidak bisa melawan. Aku tidak bisa berkata tidak. Aku hanya bisa menerima, meski hatiku hancur."

Air mataku membasahi lembaran itu.

Aku menutup mata, memeluk erat mushaf kecil di dada.

"Ya Allah… bila pernikahan ini adalah jalan menuju ridha-Mu, maka kuatkan aku. Tapi jika ini hanya jalan untuk menjerumuskan aku, lepaskanlah… bahkan bila aku harus terluka."

Aku terdiam lama. Dalam hening, aku tahu… besok hidupku tidak akan pernah sama lagi.

Aku akan menikah dengan lelaki yang bahkan tidak mencintaiku, tidak menginginkanku, dan mungkin… tidak akan pernah bisa membimbingku.

Akankah pernikahan Aisyah dan Fahri tetap berjalan semestinya? ataukah ada sesuatu yang lain?

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
7 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status