"Maafkan aku Nyonya," balas Austin. Austin terkejut, ia langsung menegakkan tubuh, merasa gugup akan kemarahan Lea. Austin sadar jika yang ia lakukan itu adalah salah, ia sudah lancang karena tak meminta izin pada sang pemilik. Lea melihat kertas yang sudah dicoret oleh Austin, matanya membola manahan amarah. Tatapan tajam serta kekecewaan terlukis di wajahnya, bahkan Austin tak kuasa menatap wajah itu. "Keluar sekarang juga! Aku menyesal tak mendengarkan perkataan Julie!" Lea mengusir Austin tanpa hormat, bahkan kelembutan yang ia tampakkan tadi hilang tertelan amarah. Austin keluar dengan langkah pasti, ia tak membalas perkataan Lea. 'Harusnya kau berterima kasih padaku, aku menemukan banyak kecurangan dalam laporan itu. Kau wanita bodoh, mudah diperdaya bawahanmu,' batin Austin. Bibirnya tersenyum sinis, kedua tangan tersimpan di dalam saku celana. Austin keluar dengan wajah penuh wibawa hingga para karyawan terpesona dengan ketampanannya. Ia tak menyesali perbuatannya, justr
"Maaf, aku menolak." Lea terkejut saat mendengar penolakan Austin, ia tak menyangka Austin mampu menolak jabatan tinggi di perusahaannya. Seketika Lea merasa cemas, ia takut Austin tak mau membantu mengembangkan perusahaannya. "Kenapa kau menolak jabatan itu? Maafkan aku jika kau tersinggung atas sikap kasarku tadi." Lea memohon sambil mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. Lea sungguh menyesali perbuatan kasarnya tadi. Ia berpikir Austin masih menaruh kesal pada sikapnya tadi. Rasa cemas melingkupi hatinya, wajah penuh permohonan pun terlukis jelas di wajahnya. "Aku akan tetap membantumu, tapi aku tak menginginkan posisi itu. Kau saja yang memegang jabatan itu," balas Austin sambil menurunkan tangan Lea. Lea terheran menatap tak percaya pada pria di hadapannya. "Kenapa seperti itu? Bukankah jika kau memiliki jabatan tinggi Julie tak akan menghinamu lagi?" Austin menggeleng, ia tersenyum menatap wajah bingung Lea. "Aku hanya ingin menjadi orang biasa, kau bisa memberiku peke
"Kenapa kau diam? Apakah sekarang kau bisu?" tanya Dora, sepupu Kenny. "Aku bekerja di sini." Dora memandang Austin dari atas hingga bawah, bibirnya menyunggingkan senyum meremehkan. Begitupun dengan teman yang ada di sebelahnya. Sorot mata Dora terlihat angkuh, tak ada kelembutan sedikit pun. "Wah... kau membuat malu keluarga Thomson saja, malang sekali Kenny menikahimu," "Berhubung kau karyawan di sini, tunjukkan barang-barang koleksi terbaru," timpal teman Dora. "Silahkan, Nona," balas Austin mempersilahkan mereka melihat produk unggulan RL. Austin tak merasa malu sedikit pun dengan pekerjaannya. Ia berkerja dengan profesional, hinaan Dora ia abaikan, berganti senyum ramah layaknya karyawan biasa. "Pasangkan ke kakiku, aku ingin lihat apakah cocok atau tidak," ucap Dora. Austin merendahkan tubuhnya, ada rasa kesal saat Dora memintanya untuk mengenakan sepatu di kakinya. Baru kali ini Austin menunduk di kaki orang lain, selama ini orang lainlah yang tunduk padanya, lantara
"Kakek!" Austin terkejut melihat Tuan Thomson berdiri di ambang pintu. Wajahnya mengeras karena mendengar perkataan putrinya. Ia berjalan dengan tongkat di tangan. Hentakan tongkat membuat suara gaduh di dalam ruangan yang tiba-tiba sunyi. Semua terdiam, bungkam melihat kemarahan Tuan Thomson. Julie menundukkan wajah tak berani menatap mata tua ayahnya, begitu pun dengan Kenny. Hanya Austin saja yang menyambut dengan senyuman. Tuan Thomson mendekat, merangkul pundak Austin. "Tak ada yang boleh merendahkannya, jika kau ingin membuangnya maka aku yang akan memungutnya kembali," ucap Tuan Thomson penuh wibawa. Kenny mengangkat kepala menatap sang Kakek, lalu beralih menatap suaminya. Rasa sayang Tuan Thomson membuat Kenny merasa heran, hanya karena ramalan tak jelas, kakeknya lebih memihak pada pria asing yang baru saja mereka temui. "Aku ke sini untuk menjemput kalian berdua. Tak ada penolakan lagi, aku mau Kenny dan Austin tinggal di kediamanku," ucap Tuan Thomson tanpa menerima ba
"Tentu saja Mommy tak mau, Mommy akan ikut kemana pun kau pergi," balas Julie. "Mana Edward?" tanya Tuan Thomson. "Biasa, di dalam sedang bermalas malasan," balas Julie acuh. Tuan Thomson menggelengkan kepala melihat sikap acuh putrinya, Tuan Thomson masuk ke dalam mengabaikan Julie. Austin menemani Tuan Thomson dengan memegangi lengan tuanya, ia berniat untuk membantu Tuan Thomson. Tapi niat itu disalah artikan oleh Julie. "Gembel pencari muka, pantas mudah sekali dia mempengaruhi pikiran Daddy," sindir Julie yang masih bisa didengar Austin dan juga Tuan Thomson. "Abaikan saja ucapannya, aku pun sebagai orangtuanya malas menanggapinya. Semoga kau tak tersinggung dengan perkataannya," ucap Tuan Thomson. "Tidak, Kek. Aku tak mengambil hati, hinaan seperti ini sudah biasa ku dengar dulu," balas Austin. Tuan Thomson menghentikan langkah, menatap wajah Austin dengan lekat. Ia terkejut Austin berkata seperti itu. Tuan Thomson sangat penasaran dengan latar belakang cucu menantu kesay
"Nanti akan aku pikirkan, Kek," balas Austin tersenyum. "Oh, iya. Aku ingin menyuruhmu untuk tinggal di gedung kedua, aku harap kau tak menolaknya," ucap Tuan Thomson pada menantunya. "Baiklah Dad, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi, apakah tak akan memancing kecemburuan bagi ipar lainnya, Dad?" tanya Edward. Edward tak masalah jika harus tinggal di gedung kedua, hanya saja ia malas berurusan dengan para iparnya. Ia tak beda jauh dengan Austin, selalu menerima hinaan jika ada pertemuan keluarga. Para ipar selalu mencari kesempatan untuk menghinanya. Beruntung Tuan Thomson berada di pihaknya, dan selalu membela. "Abaikan saja perkataan mereka, aku yang membuat keputusan siapa yang tinggal atau tidak. Aku menaruh penuh harap padamu untuk mengubah sifat Julie," balas Tuan Thomson. "Baiklah Dad, apapun yang kau inginkan." Austin, Kenny, Julie dan juga Edward bersiap untuk pindah ke kediaman Thomson. Tak banyak yang mereka bawa, hanya pakaian dan barang-barang penting lainnya. Berbe
"Baik, Nyonya." Julie membolakan mata saat mendengar Austin memanggilnya dengan sebutan Nyonya. Pandangannya teralihkan ke wajah sang Ibu, terlihat Nyonya Thomson merasa heran dengan panggilan Austin pada Ibu mertuanya. Julie menarik lengan menantunya. "Pria bodoh! Jangan memanggilku seperti itu di sini," ucap Julie berbisik. "Kau memanggilnya apa tadi, Nak?" tanya Tuan Thomson. "Mommy, Kek," balas Austin berbohong. Julie menundukkan kepala, jantungnya sudah berdetak tak menentu, takut dengan kemarahan sang Ayah. Sedangkan di sisi lain, Edward dan Kenny melihat Austin dan Julie dengan tatapan tanpa ekspresi. 'Punya suami bodoh dan Mommy terlalu tamak,' ucap Kenny dalam hati sambil bersedekap dada. "Aku belum tuli Austin! Kau panggil dia apa tadi?!" tanya Tuan Thomson membentak. Austin menagngkat wajah, menatap Tuan Thomson dengan takut. "N-nyonya, Kek," balas Austin takut. Terlihat kemarahan dalam diri Tuan Thomson, ia meremas tongkat lalu melayangkan tongkat itu padA tubuh pu
"Ke mana sofa yang biasanya di sana?" gumam Kenny. Ia sangat yakin sekali pada saat terakhir ia bermalam masih ada sofa panjang di kamarnya. Kenny menatap Austin lalu memindai kamarnya. Ia merasa bingung dengan pertanyaan Austin, ia pun tak mungkin mengizinkan Austin untuk tidur di kasurnya. "Kau tidur saja di lantai," balas Kenny. Ia berjalan melalui Austin, mengambil selimut dan bantal di ruang penyimpanan. "Kau gunakanlah ini," ucap Kenny memberikan selimut dan bantal. Austin menerima meski terpaksa, ia tak masalah mau tidur di mana pun. Suhu dingin malam tak berpengaruh pada tubuhnya, hanya saja, ia tak terbiasa tidur di lantai. Austin menatap lantai yang ditunjung Kenny, ia berjalan lalu membentangkan selimut untuk menjadi alas tidurnya. Dengan acuh Kenny kembali membaringkan tubuh di kasur dengan memunggungi suaminya. Tak ada rasa kasihan di hati saat melihat Austin merebahkan tubuh di lantai. kenny menjemput alam mimpi, tapi Austin masih terjaga. "Kenapa tak bisa tidur s