“Kenapa ada keributan di sini?” tanya wanita itu, yang tak lain dan tak bukan adalah manajer toko perhiasaan Jewellery Royal.Ulva maju satu langkah menghadap sanga manajer, “Maaf, Bu Leli. Ini semua karena pria penipu itu,” ucapnya sembari menunjuk ke arah Raja. “dia sok mau beli kalung ini … dia ngaku-ngaku punya kartu hitam Eksklusif, padahal hanya ditempeli sticker aja.”Wanita bernama Leli itu menoleh pria yang ditunjuk Ulva. Betapa terkejutnya ketika dia melihat sebuah kartu hitam ada di genggaman pria itu.Leli menatap ramah pada Raja, “Mohon maaf, Pak. Apakah Bapak tidak keberatan jika kartunya saya cek?” Tentu sebagai manajer, dia harus bersikap profesional dan melayani setiap pengunjung yang datang tanpa melihat dari penampilannya.Raja memberikan black card miliknya pada Leli, “Silahkan.”Leli mengamati dan meraba black card yang kini sudah ada di genggaman tangannya untuk mengetahui keasliannya. 'Ini asli,' pikirnya. Dia seorang pengeloksi dan pemilik toko perhiasan, dia
'Apa dia benar-benar membelinya?' Ulva masih tidak percaya bahwa pria itu adalah orang kaya. Dia pun memberanikan diri bertanya pada Leli. “Apakah dia benar-benar membeli kalung edisi terbatas di toko ini, Bu?” Pertanyaan itu terdengar ke telinga Raja, tentu hal itu membuat Leli geram dan merasa dipermalukan di depan pengunjung terhormat. Leli pun mengangkat tanda bukti pembayaran, “Lihat ini!” serunya dengan mata melotot. “kamu telah membuat kesalahan besar! Pak Raja adalah–” Raja berdehem keras untuk menghentikan Leli yang sepertinya ingin menceritakan identitas dirinya. Wanita itu pun menoleh dan mengerti maksud dari permintaan sang pewaris. Ulva membelalakkan mata, tenggorokannya tercekat dan tak kuasa menelan ludah, “Jadi, dia ….” dia tak mampu melanjutkan kalimatnya, wajahnya mulai berkeringat dingin setelah mengetahui fakta yang bagai mimpi buruk baginya. Semua pengunjung yang ada di sana pun takjub. Ternyata pria yang disangka orang miskin itu adalah orang yang sangat ka
“Berikan kalung itu pada Wati,” pinta Raja. “Ini hadiah dariku karena dia bekerja sangat profesional.” Semua orang yang mendengarnya terkesiap, tak terkecuali Wati. Wati pun menghampiri Raja dan membungkuk badan penuh hormat, “Terima kasih, Pak. Tapi, maaf … Bukannya saya menolak pemberian Bapak, tapi menurut saya tidak perlu. Tugas saya memang melayani pengunjung yang datang.” Raja terharu mendengarnya. Dia pun berkata, “Jangan menolak pemberianku. Terimalah, ini hadiah untuk orang baik sepertimu,” ucapnya lalu menoleh ke arah Leli sembari memberikan black card miliknya. “Segera proses dan berikan pada Wati.” “Harganya 190 juta. Apakah–” “Aku punya banyak urusan. Lakukan segera.” Raja menyela dengan tegas. Seketika Leli mengiyakan dan segera memproses permintaan Raja. Lagi-lagi, semua orang yang ada di sana takjub. Mereka semakin penasaran, sekaya apa pria itu sehingga memberikan hadiah pada orang asing dengan nilai yang fantastis? Sayang, mereka tidak bisa mengabadikan momen
“Katakan!” Raja merespon dengan tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Sebenarnya Raja masih perlu waktu untuk mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Ayahnya, tetapi mengingat kondisi sang Ayah yang sedang sakit parah, dia rasa perlu mendengarkan informasi yang disampaikan oleh Alexander.“Kesehatan Pak Banara saat ini semakin menurun.” Suara Alexander terdengar sendu. “Hanya itu yang ingin saya sampaikan pada Pak Raja.”Raja tak merespon, dia sudah menduga kalau Alexander ingin memberitahukan mengenai kesehatan Ayahnya. Saat ini hatinya berkecamuk, di satu sisi dia masih belum bisa melupakan kenangan pahit di masa lalu, tetapi di sisi lain dia juga tak menampik kalau dia punya hubungan darah dengan Banara.“Saya tahu Pak Raja masih belum memaafkan Pak Banara,” ucap Alexander. “Keputusan untuk menemui Pak Banara ada di tangan Pak Raja. Tugas saya hanya menyampai informasi ini pada Pak Raja.”Raja masih tak merespon, justru dia mematikan sambungan telepon sepihak.***Marcel melapor
PLAK! Ferdi tak sempat menghindar dari tamparan yang datang secara tiba-tiba. Dia terkejut bukan main karena baru pertama kali ini Tanjung berani berbuat demikian. “Bangsat!” raung Ferdi. “Aku akan membunuhmu, Tanjung!” “Aku tidak takut!” Tanjung menjawab dengan nada menantang. “Justru kamu yang akan mati jika sekali lagi berani menghina Bu Ayyara!” Tanjung justru lebih takut jika orang-orang Prince Group mendengar dirinya hanya berdiam diri saat ada orang lain menghina Ayyara. Lebih baik menampar dan bermusuhan dengan Ferdi daripada berurusan dengan keluarga Darmendhara. “Anjing!” Ferdi yang tak terima, dia langsung mengayunkan lengannya dan meraih kerah baju Tanjung. Di detik kemudian, dia mendaratkan tinju pada wajah sang direktur utama itu. BUGH! Satu pukulan keras berhasil menyapa wajah Tanjung. Sang direktur utama ACB Group pun tak mau berdiam diri, dia memberikan perlawanan dan perkelahian pun tak terhindarkan. “Hentikan!” Tiba-tiba, dari arah pintu terdengar suara teri
“Mas nggak mencuri, 'kan?” Ayyara bertanya, walaupun dalam benaknya berpikiran buruk tentang Raja. Secara logika, tidak mungkin sang suami membeli barang seharga 1,1 triliun. Suaminya baru bekerja, itu pun dia yakin perlu waktu mengumpulkan gaji seumur hidup tanpa dipotong biaya kebutuhan rumah tangga untuk bisa membeli barang triliunan rupiah.Pantas saja sang istri menatapnya curiga, Raja menyadari bahwa dia berlebihan dalam memilih hadiah. Seharusnya dia membelikan hadiah yang nilainya ratusan juta rupiah saja, bukan triliunan rupiah. Setelah menemukan alasan yang pas, Raja berkata, “Mas tidak mencuri. Seperti kamu, Mas juga mendapat rezeki.” dia menatap lembut pada sang istri. “tadi di kantor aku bertemu klien murah hati yang punya toko perhiasan. Karena kerjaku bagus, aku dihadiahi kalung tersebut. Dan kebetulan, dia pernah berjanji pada dirinya sendiri kalau bertemu dengan orang baik hati bernama Raja, dia akan memberikan hadiah senilai triliunan rupiah.” dia menceritakan ses
Raja dengan reflek melengos ke samping untuk menghindari pukulan pria yang tak lain dan tak bukan adalah Marcel. Pukulan itu pun meleset dan membentur pintu di belakangnya.Rasa sakit yang dirasakan Marcel di tangannya membuat wajahnya terlihat meringis kesakitan.“Sial!” umpat Marcel tersulut emosi. “Manusia sampah!”Ayyara menghampiri mereka, “Mas Raja!” dia spontan berteriak ketika Marcel melayangkan pukulan ke arah suaminya.Namun, kali ini Raja tidak menghindar. Dia menangkap tangan Marcel dan menghempaskannya. Dengan tatapan dingin penuh mengintimidasi, Raja berkata, “Haruskah aku kembali memukulmu agar kamu jera?”Marcel merasa gemetar di hatinya. Dia tidak ingin untuk kesekian kalinya, suami Ayyara itu menghajarnya.“Pak Marcel tidak perlu diladeni!” Tiba-tiba ada suara wanita yang menyahut di luar sana. Dia mendekat dan berdiri di samping Marcel. “Kita datang untuk membuat perhitungan padanya,” dampratnya pada Ayyara yang sudah berdiri di belakang Raja.“Bu Vega?” Ayyara ter
“Pilih, mau tidur di rumah sakit atau tidur di kuburan?” serunya sembari mengangkat tangan kiri dan kanannya secara bergantian. Tenggorokan Marcel dan Vega tercekat. Kata-kata Raja barusan tidak ada keraguan di dalamnya. Tatapan mata suami Ayyara itu memancarkan aura pembunuh. “Ra-ja Ma-mau apa kamu?” ucap Marcel terbata-bata sembari tetap melangkah mundur karena Raja masih melangkah mendekat. “Gi-gila kamu, ya? Kamu seharusnya tidak berhak ikut campur. Ini masalahku dengan istrimu.” Raja merespon dengan tatapan dingin, aura pembunuhnya dalam dirinya justru semakin terpancar jelas. Marcel dan Vega pun merasakan tubuhnya semakin bergemetar hebat dengan napas memburu hanya dengan tatapan mengerikan milik Raja. “Pak men-dingan kita cepat pergi dari sini.” Vega berkata pelan pada Marcel dengan suara bergetar dan nyaris tak terdengar. Tak ingin dirinya pulang dalam keadaan terluka, Marcel bergegas pergi bersama Vega. Namun, baru beberapa langkah, dia berhenti dan kembali memutar bada