"Ini saya, Pak, Alexander. Sudah lama Ayah Bapak mencari Bapak selama bertahun-tahun. Pulanglah, Pak!"
Raja langsung mematikan sambungan telepon sepihak dan menonaktifkan nomor ponselnya.
“Dari mana Alex dapat nomorku? Apa Alex sudah tahu keberadaanku?” tanyanya penasaran. “Aku harus ganti nomor lagi.”
Melihat langit sudah mulai gelap, Raja memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Lebih baik dia segera menyusun rencana berikutnya dibandingkan diam termenung tidak berguna seperti ini.
Setiba di rumah sewa yang ditempati, Raja langsung menuju kamar dan mengambil salep antiseptik untuk mengobati luka kecil di tangannya.
Belum sempat Raja memolesi tangannya dengan salep, ada gadis cantik yang masuk ke kamar dan menyapanya, “Mas?”
Raja menoleh dan mendapati istrinya yang mendadak pulang kerja lebih cepat, “Hei udah pulang?” tanyanya dengan segurat senyuman pada Ayyara yang berjalan menghampirinya.
Ayyara tak menjawab, raut wajahnya tampak kelelahan. Dia mendaratkan tubuh di samping Raja dengan menghembus napas berat, “Maunya apa sih si Bu Vega? Kerjaannya ngomel-ngomel gak jelas. Begini salah, begitu salah. Padahal aku mengerjakan sesuai dengan perintahnya, masih aja salah. Lama-lama kepalaku pecah.”
Raja sudah tak kaget lagi, istrinya terkadang meluapkan isi hatinya tentang masalah pekerjaan yang dihadapi.
Raja mengusap sisa keringat di wajah Ayyara, “Hemm ada apa, Sayang? Bu Vega nyuruh kamu apa?”
Ayyara sekali lagi menghembus napas berat, “Capek aku, Mas. Atasanku ngomel-ngomel terus. Kerjaanku serba salah, beliau kayak sengaja mempersulitku. Tapi aku enggak boleh nyerah. Aku harus sabar untuk mempertahankan posisiku di perusahaan, susah dapetin kerjaan di perusahaan ternama dengan gaji yang lumayan gede.”
Mendengar keluh kesah sang istri, hati Raja bergejolak. Dia ingin Ayyara berhenti bekerja, tetapi gajinya tak bisa diandalkan. Apalagi keadaannya sekarang semakin memburuk, dia sudah tak punya pekerjaan lagi. Sungguh, dia merasa menjadi suami yang tak berguna! Semestinya sebagai seorang suami, dia harus bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan keluarga, tetapi kini justru sebaliknya.
“Sabar, Sayang,” ujar Raja, berusaha menghibur istrinya. “Tunggu di sini, Mas buatkan teh dulu.”
Baru saja ingin mengiyakan, tatapan mata Ayyara tertuju pada tangan suaminya yang ada goresan luka, “Bentar dulu. Ini tangan Mas, kenapa?”
“Oh, tanganku tadi tergores pisau di dapur restoran.” Raja tidak mengaku perihal masalah yang terjadi, khawatir istrinya malah memiliki beban pikiran.
“Lain kali hati-hati, Mas.” Ayyara memperingati sembari membantu mengobati luka di tangan Raja dengan obat salep. “Mas kok tumben pulang lebih cepat dari Ara?” tanyanya sembari meniup-niup tangan Raja yang sudah diolesi obat salep.
Mendengar pertanyaan itu, Raja menelan saliva. Apa yang harus dia katakan pada istrinya? Apa dia harus berkata jujur?
Ayyara mendongak menatap wajah suaminya yang tampak menyembunyikan sesuatu, “Mas? Mas baik-baik saja, 'kan?”
Raja menghembus napas pelan, tahu cepat atau lambat harus segera berkata jujur. “Maaf, Ayyara,” ucapnya. “Sebenarnya, aku dipecat.”
Ayyara terkejut mendengarnya. Ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan terhadap Raja yang kehilangan pekerjaan. Dia sebenarnya terpaksa dan tidak kuat bekerja di bawah tekanan manajer timnya di perusahaan, tetapi dia tak punya pilihan lain. Gaji suaminya tidak cukup membiayai kebutuhan keluarga, walau hanya dengan pengeluaran super irit.
Namun, ekspresi ketidakpuasan itu perlahan hilang. Ayyara memaksakan diri untuk tersenyum, “Gapapa, sudah biasa dalam dunia pekerjaan. Besok atau lusa, Mas bisa melamar pekerjaan baru.”
***
Saat Raja dan Ayyara sedang asyik bersantai ria di kamar, tiba-tiba ponsel salah satunya berdering dan mendapati nama Kakek yang terpampang di layar ponsel.
“Hallo, Kek,” ucap Ayyara setelah mengangkat telepon itu.
“Sekarang juga kamu dan suamimu yang tak berguna itu datang ke rumah!” Suara Nugraha terdengar menggelegar di ujung telepon. “Suamimu itu harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan terhadap Radit!”
Ayyara menganga di tempat, terkejut dengan kemarahan sang Kakek yang luar biasa, “Iya, kek. Aku dan Mas Raja kesana sekarang.”
Ayyara yang kebingungan hanya bisa menuruti permintaan Nugraha.
Setelah mematikan telepon, Ayyara pun menoleh kepada Raja. “Mas, sebenarnya ini ada apa? Kenapa Kakek bilang Mas harus bertanggung jawab atas apa yang Mas lakukan pada Radit?”
Raja yang ada di samping Ayyara pun hanya bisa menghembus napas pelan. Usahanya untuk menyembunyikan perseteruannya dengan Radit dan Marcel berakhir gagal.
***
Di dalam taksi menuju kediaman kakeknya, Ayyara memandang Raja dengan wajah melongo. “Mas dipecat gara-gara memukul Radit?” Wanita itu mengulangi ucapan sang suami dengan wajah tidak percaya, raut wajahnya semakin masam ketika melihat anggukan Raja dalam diam.
Wajah Ayyara cemas mendengar jawaban Raja. Jadi itu alasan Kakeknya memanggilnya? Jelas sekali perbuatan suaminya pasti akan mendapat masalah besar dari keluarga Nugraha, terutama sang Kakek.
“Kok bisa sih, Mas? Kenapa Mas pukul Radit? Tahu gak sih Mas, kita bakalan dapat hukuman dari Kakek!” Ayyara mengomeli suaminya dengan ekspresi wajah penuh kekecewaan. “Kenapa sih Mas begitu gegabah?!”
Raja terdiam, memikirkan apa yang harus dia katakan kepada sang istri. Kalau Ayyara tahu dengan apa yang telah Marcel dan Radit ucapkan tentangnya, wanita itu pasti akan sedih dan sakit hati.
“Maaf, Ara. Aku emosi.”
Sebenarnya, Raja sudah kebal mendapat penghinaan yang hampir setiap hari menyapanya, tetapi kejadian di restoran itu sudah melewati batas. Marcel dan Radit bukan saja menghinanya, tetapi juga melecehkan istrinya. Suami mana yang hanya berdiam diri jika istrinya dilecehkan?
“Mas kok gitu sih sekarang. 'Kan Mas sendiri yang sering menasehati Ara agar tutup telinga kalau ada mulut-mulut yang nyinyir. Mas ngajarin aku kesabaran, tapi sekarang malah Mas yang gitu. Apalagi yang dipukul Mas itu Radit. Apa yang harus kita katakan pada Kakek, Mas?” Ayyara tak henti-hentinya mengkritik Raja.
Ayyara tak menyangka Raja yang super sabar bisa tersulut emosi dan memukul orang. Dia sangat gelisah karena orang yang dipukul suaminya adalah bagian dari keluarga Nugraha, seseorang yang mengangkatnya menjadi cucu. Tanpa jasa sang kakek dalam hidupnya, mungkin hidupnya sudah terlantar. Dan suaminya tahu itu!
Karena Raja tidak kunjung membalas ucapannya, Ayyara menghentikan ucapannya. Dia menatap sang suami dan menghela napas.
‘Kalau saja Mas Raja punya pekerjaan yang lebih baik atau latar belakang yang bagus, mungkin nggak semudah itu orang menghina dirinya,’ batin Ayyara, menyayangkan situasi sang suami. Tidak lagi ingin banyak berbicara, Ayyara pun berkata, “Nanti di rumah Kakek, Mas harus minta maaf kepada Kakek dan Radit.”
Sesampainya di rumah mewah Keluarga Nugraha, Ayyara dan Raja pun melangkah masuk menaiki tangga kediaman itu. Beberapa pelayan yang melihat mereka melemparkan pandangan merendahkan kepada Raja, seakan jijik dengan kehadiran pria itu di tempat tersebut.
‘Sudah cukup lama, tapi kediaman ini masih tidak berubah,’ batin Raja. ‘Tidak menyambut.’
Baru saja mendorong pintu dan masuk ke dalam ruang tamu, suara makian telah terdengar lantang dari tengah ruangan, “Datang juga kamu, menantu nggak berguna!”
Usai berkata demikian, Raja pergi begitu saja. Dia memutuskan pulang ke rumah besar Nugraha. “Sudah cukup mereka bermain-main dengan keluargaku. Waktunya sudah tiba. Aku akan menghukum semua musuh-musuhku,” gumam Raja sembari melangkahkan kakinya. Dua puluh menit kemudian, Raja tiba di rumah besar Nugraha. Dia menghampiri sang Kakek dan Ayyara yang menunggunya di ruang tengah. “Mas?” Mengerti tatapan sang istri yang mencemaskannya, Raja pun menanggapi, “Aku baik-baik saja, tidak ada luka sedikitpun di tubuhku.” Sementara, Nugraha masih mematung di tempat. Dia masih belum menyangka bahwa menantunya itu adalah putra Banara Darmendhara. “Aku sudah menyuruh Anton untuk menghukum semua orang yang berani mengganggu kebahagiaan kita, termasuk Shinta dan Kakaknya,” ucap Raja. Lalu menoleh ke arah Nugraha. “juga Marcel dan Ferdi.” Nugraha yang tidak mengerti pun bertanya, “Maksudnya?” “Sepuluh menit yang lalu Prince Group telah memutus kontrak kerja sama dengan perusahaan WNE Group.
“Malam ini juga Bagas harus menghadapiku!” seru Raja. “Aku juga akan menghukumnya!” sahut Nugraha yang tak kalah murkanya. Ayyara yang bediri di tengah-tengah mereka pun berkata, “Kakek belum sembuh total. Biarkan Mas Raja yang menanganinya.” “Tidak. Kakek mau ikut. Aku–” “Ara benar. Sebaiknya Kakek tidak perlu ikut,” potong Raja. “serahkan semua urusan ini kepadaku.” “Baiklah.” Nugraha berujung mengalah. Raja menoleh ke arah Anton, “Apakah kamu sudah merekamnya?” Anton mengangguk cepat, “Sudah, Pak.” “Kirimkan rekamannya kepadaku,” pinta Raja. *** Bagas mengetahui kalau Jamal dan teman-temannya tertangkap dan diadili. Namun, saat ini dia sama sekali tidak panik. Dia sudah memiliki rencana untuk mengantisipasinya. Bahkan di saat ini dia bermain dengan wanita jalang di sebuah kamar. Tanpa Bagas sadari, di luar sana Raja dan orang-orangnya berhasil melumpuhkan semua anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaganya. BRAK! Bagas dan wanita jalangnya spontan menoleh ke arah pintu
“Berlatih menembak,” ucap Anton. Tubuh Jamal semakin begetar hebat, “Saya mohon, Pak. Jangan jadikan saya kelinci percobaan.” Jamal tampak begitu panik melihat tangan Anton mulai terangkat dan mengarahkan pistol ke arah apel yang berada di atasnya, “Saya akan jujur. Saya akan mengatakan siapa yang telah menyuruh saya.” Sudut bibir Anton terangkat, memang ini adalah rencananya untuk memaksa Jamal mengakui segalanya. “Saya janji,” ulang Jamal mencoba meyakinkan Anton. Jamal tak punya pilihan lain. Dia tidak bisa terus-menerus mempertahankan pendiriannya jika tidak ingin nyawanya yang melayang. “Penawaran yang sangat menarik. Tapi jika sekali saja kamu berbohong, aku tidak segan-segan membunuhmu!” seru Anton sambil menempelkan moncong pistol tepat di dahi Jamal. “bukan apel lagi, tapi peluruku akan menembus kepalamu!” “Ba-ik, Pak. Saya akan jujur.” Suara Jamal nyaris tak terdengar karena diselimuti rasa takut yang membesar. “Cepat katakan, Jamal! Jangan bertele-tele!” geram Anton.
“Halo, Pak Raja … Saya sudah berhasil menjalankan tugas dari Pak Raja,” ucap Anton di seberang telepon. Nugraha yang mendengarnya pun merasa terheran-heran. Raja yang sedari tadi mengintip di balik pintu, dia pun masuk kembali dan menghampiri Nugraha. “Lakukan sesuai rencana, Anton,” ucap Raja yang sudah berdiri di samping Nugraha. “Baik, Pak,” jawab Anton, dan setelahnya telepon terputus. Nugraha yang kebingungan pun menatap Raja dengan ekspresi yang begitu serius, “Siapa kamu?” “Aku suami Ayyara, menantu Kakek,” jawab Raja. “Jawab yang jujur. Siapa kamu sebenarnya?” tanya Nugraha. “Aku Raja Elvano Darmendhara. Putra Banara Darmendhara,” jawab Raja serius. “Kamu jangan bercanda.” Raut wajah Nugraha memerah. “Mas Raja nggak bohong, Kek,” sahut Ayyara yang muncul dari luar dan berjalan mendekat. “Mas Raja adalah putra Ayah Banara Darmendhara, pemilik Darmendhara Group.” Nugraha tercengang mendengarnya, tetapi dia masih menganggap Raja dan Ayyara telah berbohong. “Candaan ka
“Siapa kamu?” tanya Nugraha.Ayyara merasa heran dengan pertanyaan Nugraha, karena pria itu tak lain dan tak bukan adalah Raja. Dia takut sang Kakek lupa ingatan.“Apa Kakek saya baik-baik saja?” tanya Ayyara kepada si perawat yang sudah berdiri di sampingnya.Si perawat itu menatap Nugraha dengan senyuman ramah, “Maaf, Pak. Nama Bapak siapa?”“Nugraha.”“Dan mereka siapa?” Perawat itu menunjuk ke arah pasangan suami-istri.“Ayyara dan Raja, menantuku,” jawab Nugraha.Ayyara tersenyum, merasa tidak ada masalah dengan ingatan Nugraha. Sementara, perawat itu memeriksa keadaan sang Kakek secara keseluruhan.“Kepala Bapak terluka. Jadi jangan banyak bergerak dulu,” ucap perawat itu setelah selesai melakukan pemeriksaan.“Terima kasih,” balas Nugraha, dan perawat itu pergi dari ruangan setelah berpamitan.Usai kepergian si perawat, Nugraha menatap Raja yang berdiri di samping Ayyara.“Raja? Jujurlah kepada Kakek. Kenapa kamu bersama dengan Pak Anton waktu menyelamatkanku?” tanya Nugraha.“
Raja dan Anton segera masuk ke mobil. Hanya memerlukan waktu kurang dari 10 menit, mereka sudah sampai di sebuah aprtemen, tempat Nugraha dibawa.Raja langsung turun dari mobil, diikuti Anton dan anak buahnya.Sementara, di dalam apartemen Jamal dan teman-temannya tampak terlihat panik bukan main. Pasalnya mereka tahu kalau orang-orangnya Nugraha sedang menuju ke tempatnya.Tak ingin celaka, mereka pun menggunakan Nugraha sebagai tameng untuk menyelamatkan diri.BRAK!Sontak semua mata menoleh ke arah pintu yang di dobrak. Jamal pun langsung menempelkan pistol ke pelipis Nugraha yang terikat tak sadarkan diri di kursi.Raja yang melihat wajah Nugraha yang dipenuhi darah, seketika aura mengerikan begitu kental menguar dari dirinya.“Jangan berani mendekat! Atau kalian akan melihat Nugraha mati di tanganku!” ancam Jamal penuh mengintimidasi, walau dia sendiri sebenarnya agak gentar menghadapi Raja dan anton beserta anak buahnya.“Kamu telah melakukan kesalahan besar, Jamal!” seru Anton